Pagi datang perlahan di tepi pantai itu, membawa cahaya keemasan yang menembus tirai kamar Naira. Ia membuka mata, mendengar suara burung camar dari kejauhan, disusul dengan aroma kopi yang samar-samar masuk dari dapur. Entah mengapa, hari itu terasa berbeda — tidak lagi sepi, tapi juga belum benar-benar ramai. Seperti hati yang mulai belajar berdetak kembali.Raka sudah di sana ketika ia turun ke dapur. Pria itu mengenakan kemeja biru muda, lengan digulung sampai siku, sedang menuang kopi ke dua cangkir.“Kau bangun juga,” katanya tanpa menoleh, suaranya hangat tapi tenang. “Kupikir kau masih ingin bersembunyi di balik selimut.”Naira tersenyum kecil. “Kalau tahu ada kopi buatanmu, siapa yang mau bersembunyi?”Raka tertawa kecil, memutar badan. “Jadi, kau akhirnya mengakui keahlianku?”“Baru kali ini,” balas Naira sambil menerima cangkir itu. “Tapi jangan terlalu bangga dulu.”Mereka duduk di teras rumah, di bawah pohon kelapa yang bergoyang pelan. Laut di depan sana tenang, memantul
Última atualização : 2025-10-08 Ler mais