All Chapters of Malam Panas dengan Dosen Tampan: Chapter 81 - Chapter 90

Napas mereka saling beradu dalam kamar kosan Claire yang sempit. Peluh membanjiri tubuh mereka yang kini sama-sama polos, tanpa sehelai benang. Rian berusaha berhati-hati dalam setiap gerakannya agar perut Claire tak terlalu tertekan.Lantas, Claire mendorong tubuh pria itu perlahan. Dia menarik tubuhnya dan duduk di pangkuan Rian. Kedua tangannya kembali bergelayut di leher pria itu. Pinggul Claire bergerak, memberikan kenikmatan yang luar biasa bagi Rian sampai-sampai pria itu mengerang.Dada mereka saling menempel, gerakan mereka pun semakin cepat. Kemudian, ombak kenikmatan itu menggulung, membuat keduanya memekik tertahan. Tubuh Claire langsung lunglai dalam pelukan hangat Rian.“Jangan tinggalkan aku lagi, Claire…” bisik Rian di telinga Claire. Kepala Claire menggeleng pelan. Setelah mencium pipi Claire, Rian bangkit.Claire duduk di pinggir ranjang, membiarkan pria itu berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Claire memperhatikan punggung Rian yang menjauh. Tatapanny

“Astaga,” Claire hampir melonjak kaget. “Rian? Kenapa kamu nggak nunggu di dalam saja? Kamu ke sini naik apa?” Claire menutup payungnya sambil melirik ke sekitar. Tak ada motor Rian.“Aku baru datang,” tandas Rian dingin. “Aku ke sini naik taksi. Motorku dipinjam teman. Siapa pria tadi, yang mengantarmu pulang?”“Dia supervisor baruku, Rian. Namanya Mas Randy. Oh ya, aku lolos training!” Terang Claire dengan begitu bersemangat. “Mulai Senin, aku bakal masuk sebagai karyawan probation.”Namun, ekspresi Rian tak menunjukkan kebahagiaan sama sekali. Garis bibirnya nampak datar.“Kamu… marah ya?” Claire menelengkan kepalanya. “Atau jangan-jangan… kamu cemburu sama Mas Randy??”Rian mendengus pelan. “Gimana aku nggak cemburu? Kamu bahkan nggak memakai cincin pemberianku.” Pria itu melirik ke jari manis Claire polos.“Ah, soal cincin itu… Waktu wawancara kerja, aku bilang nggak punya rencana menikah dalam waktu dekat. Jadi, aku terpaksa nggak pakai cincin itu. Udah dong, jangan ngambek,” bu

Claire memandangi layar ponselnya. Di grup chat pekerjaannya terdapat satu pengumuman penting bahwa ada rotasi agen di bawah lead yang baru. Claire meneliti namanya dan ternyata dia kini berada di tim Farah.“Yah, kita nggak satu tim lagi,” keluh Citra saat mengetahui hal itu. “Kamu harus hati-hati sama si Farah,” bisik Citra kemudian.“Memangnya kenapa?”“Masa kamu nggak perhatiin? Dia itu terkenal galak dan tanpa kompromi. Tapi anak-anak yang ada di bawa timnya memang agen-agen pilihannya, termasuk kamu,” terang Citra masih dengan nada berbisik.Claire hanya mengedikkan bahunya lalu dia menghampiri Farah, untuk memperkenalkan diri sekaligus mendiskusikan jadwal shift-nya minggu depan.“Pagi, Mbak,” sapa Claire.Farah memutar kursinya dan mendongak. Senyum kaku itu nampak menghiasi wajah perempuan 25 tahun itu. “Ada apa?”“Saya Claire, baru dirotasi ke tim Mbak,” ucap Claire sambil tersenyum ramah.“Oh, terus?” Satu alis Farah naik ke atas, memperhatikan penampilan Claire yang menge

Claire terperangah begitu melihat foto dan namanya terpampang di buletin bulanan sebagai salah satu agen terbaik bulan lalu. “Wah, selamat, Claire,” tukas Citra. “Ini sih alamat kamu udah pasti lulus probation.” Godanya lagi. “Belum tentu,” Claire merendah.Citra memutar bola matanya. “Pastilah. Dan kamu satu-satunya anak probation yang jadi agen terbaik! Keren, Claire. Kuharap aku juga lulus probation soalnya kalau sudah jadi karyawan kontrak gaji kita naik dua kali lipat.”“Kamu pasti lulus, Cit,” ucap Claire, memberi semangat. “Anak-anak di batch kita kan nggak ada yang bermasalah.”Citra mengangguk. “Kurahap sih begitu.” Lantas, Citra menyadari ekspresi Claire yang sedikit muram. “Kamu kenapa? Seharusnya kamu senang dengan pencapaian ini, Claire. Atau ada masalah lain?”Rambut Claire bergerak-gerak. “Nggak apa-apa.”Mereka lalu berjalan berdampingan menuju kubikel masing-masing. Begitu Claire hendak log in, dia merasa ada sebuah bayangan yang mendekat dari balik punggungnya. Wan

Stasiun kereta api pagi itu nampak sibuk. Pengumuman keberangkatan kereta terdengar berkali-kali. Orang-orang lalu-lalang membawa barang-barang mereka.Sementara itu di luar stasiun, Rian melepas pelukannya dari Mitha. “Tolong jaga Claire ya, kehamilannya semakin besar,” pinta Rian pada adiknya.“Jangan mengkhawatirkanku berlebihan seperti itu,” sela Claire. “Kamu nggak perlu menjagaku, Mitha,” Claire menoleh ke adiknya Rian yang berdiri di sampingnya. Mitha hanya mengedikkan bahunya santai.“Mas,” Mitha menatap kakaknya. “Salam buat ibu dan Mila ya. Jangan lupa, bilang keripik itu oleh-oleh dariku.”“Iya, tenang saja. Aku nggak akan mengklaim oleh-oleh keripik ini kok,” goda Rian sambil mengacak-acak rambut Mitha. “Kuliah yang bener,” titah pria itu. “Dan Claire, jaga kesehatanmu, oke?”Kedua perempuan itu mengangguk lalu melambai ke arah Rian saat pria itu berada di depan petugas tiket.Lantas, Claire dan Mitha saling bertatapan canggung. Sejak peristiwa itu, mereka jadi tak sedeka