All Chapters of Suami Melarat yang Kunikahi, Ternyata Konglomerat!: Chapter 1 - Chapter 10

"Apa susahnya nikah? Nih, aku sudah nikah! Puas sekarang?" Nayla menegakkan dagunya dengan sikap menantang di depan orang tuanya, lalu memperkenalkan, "Ini Kei Wibisana, 27 tahun, orang Kota Jibera."Begitu mendengar "orang Kota Jibera", mata ayah dan ibu Nayla langsung berbinar. Itu adalah kota paling makmur. Orang-orang di sana semuanya kaya raya, harga satu rumah saja bisa puluhan miliar. Pasti uang mahar bisa diminta sampai belasan miliar!Melihat cap di akta pernikahan, Narek langsung girang bukan main. "Kamu harusnya bilang dari awal kalau sudah punya pacar, jadi nggak bikin aku sama ibumu khawatir! Kei, keluargamu kerja apa? Mahar sudah siap berapa?"Dia mencoba menyelidiki latar belakang Kei.Kei menatap Nayla dengan bingung. Dia tidak paham apa itu "mahar", apalagi bagaimana menjawab.Nayla pun sebenarnya tidak tahu apa pun tentang pria ini. Dia hanya tahu dari logatnya bahwa dia orang Kota Jibera, jadi tadi sembarang saja memberi identitas itu. Sekarang dia berbohong tanpa ra

Pagi berikutnya, Nayla mengucek matanya yang masih mengantuk, lalu membuka tirai dan turun dari tempat tidur.Begitu matanya melirik ke arah Kei yang sedang tidur di atas tikar bambu di depan ranjang, rasa kantuknya langsung hilang setengah!Celana tidur pria bodoh itu ... tampak aneh.Nayla terkejut, lalu buru-buru kembali berbaring. Wajahnya seketika memerah!Meskipun Kei tidak sepenuhnya waras, tetap saja ini situasi canggung. Pria dan wanita berduaan di rumah dan muncul hal seperti ini ....Dia menahan napas, turun dari tempat tidur untuk mencuci muka. Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat Kei sedang menggulung tikar bambu dan merapikannya.Begitu melihat Nayla, wajah Kei seketika memerah. Dengan panik, dia mengambil tirai untuk menutupi dirinya.Sekilas saja, Nayla sudah tahu apa yang terjadi. Dia tertegun. Anak ini tahu malu? Benar-benar bodoh atau pura-pura bodoh?Dia berdeham pelan, berusaha terdengar tenang saat berkata, "Kei, kasihkan tikarnya ke aku."Kei menggeleng, mas

Kei yang memeluk kipas angin itu terlihat agak lucu. Nayla tertawa sambil berkata, "Kamu ini konyol banget. Kita 'kan bukan pasangan sungguhan, cuma pura-pura saja!"Kei menggeleng keras. "Sungguhan. Kamu yang bilang, ada aktanya."Kemarin Nayla memang sudah berulang kali menekankan padanya. Tidak peduli siapa yang bertanya, dia harus bilang bahwa mereka adalah pasangan suami istri. Tak disangka, Kei ternyata menanggapi itu dengan begitu serius.Nayla malas menjelaskan lebih jauh. "Iya, iya, sungguhan."Setelah mandi, Nayla duduk bersila di sofa sambil melihat Kei menggelar tikar bambu. "Kei, kamu masih ingat nggak rumahmu di mana?"Kei menghentikan gerakannya, menoleh padanya, lalu menggeleng.Nayla bertanya lagi, "Apa rumahmu di daerah ini?"Kei kembali menggeleng. "Aku jatuh ke air, keluar banyak darah, kepala sakit banget. Nggak ingat apa-apa lagi."Tangannya refleks mengusap kepala sendiri.Di Kabupaten Liya memang ada sungai besar yang melintasi beberapa wilayah. Kadang kapal wis

"Harga sewa naik?" Nayla langsung panik. Sewa toko kecil ini sudah tidak murah, bahkan sudah menjadi pengeluaran terbesar. Kalau naik lagi, bagaimana bisa bertahan?"Kak Puri, kita 'kan sudah tanda tangan kontrak. Waktu itu kamu bilang tiga tahun nggak akan naik." Menghadapi sang pemilik, meskipun tak puas, Nayla tetap memaksa tersenyum.Wajah Puri datar, sama sekali tak peduli. "Kamu tanya orang lain saja, tempat mana yang nggak naik? Aku kasih kamu waktu dua bulan, itu sudah cukup baik. Mau lanjut sewa atau nggak, terserah kamu."Selesai berbicara, dia langsung berbalik dan pergi.Nayla berdiri di depan pintu toko dengan wajah muram. Dia tahu Puri berani melanggar kontrak karena yakin Nayla tidak mungkin pindah.Renovasi toko ini sudah menghabiskan banyak uang. Kalau pindah dan buka yang baru, biaya yang keluar akan jauh lebih besar daripada tambahan dua juta sewa per bulan. Lagi pula, pelanggan tetap baru saja mulai stabil. Kalau pindah sekarang, berarti harus mulai semuanya dari no

Hujan di hari berikutnya masih belum berhenti. Pagi itu, toko Nayla hanya kedatangan dua pelanggan. Penghasilan hari itu bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya sewa.Menjelang sore, hujan turun semakin deras. Nayla tahu hari ini sudah tidak ada harapan lagi, jadi sekitar pukul 5 sore, dia memutuskan menutup toko dan pulang.Dalam perjalanan menuju kantor polisi, dia menerima telepon dari bibi keduanya. "Nayla, uang 40 juta yang Bibi pinjamkan waktu itu harus kamu kembalikan bulan depan ya."Begitu mendengar soal uang, hati Nayla langsung mencelos. Dia berhenti melangkah sambil memegangi payung, memaksa senyuman di wajahnya. "Bibi, bukannya kita sudah sepakat aku balikkan di akhir tahun? Apa keluarga lagi butuh uang?"Bibi itu terdengar canggung. "Sepupumu pacaran dan mau tunangan. Perlu keluar uang lumayan banyak."Tunangan memang urusan besar. Nayla tidak bisa menolak. Dia hanya bisa memaksakan diri, lalu berkata, "Wah, selamat ya, Bibi. Kalau begitu, bulan depan pasti aku kirim. Ter