Dia kembali bukan untuk rakyat, tapi kembali untuk keluarganya. Dia tidak akan lagi sebaik dan polos seperti sebelumnya, melainkan dengan kecerdasan, kekejaman dan kesombongan. Putri yang akan menyatakan perang terhadap Kaisar. "JIKA ADA KEHIDUPAN SELANJUTNYA. AKU, CASTARICA GENE LESLIE, AKAN MEMBALAS SEMUANYA. UNTUK KELUARGA GENE LESLIE," teriak Castarica Gene Leslie pada langit.
Lihat lebih banyakSuara kecipak dari tubuh Virna dan Tiger yang bertabrakan terdengar memenuhi kamar hotel yang mereka habiskan selama seminggu terakhir di kota Seoul, Korea Selatan. Decitan serta getaran tempat tidur pun mengiringi bulan madu mereka yang seakan tak berujung.
Napas mereka memburu, dan desahan serta erangan keduanya saling bersahutan. Terdengar mesra dan kenikmatan yang dirasakan setiap kali Tiger menghujamkan dirinya ke dalam mulut rahim Virna membuat perempuan itu semakin tak berdaya. Lelah, namun setiap gesekan yang ditimbulkan terasa nikmat luar biasa. Di atas tempat tidur, Tiger memang tak pernah mengecewakan.
Sejak menikah hingga usia kehamilan Tara memasuki usia sembilan bulan dan mendekati hari-hari kelahiran si jabang bayi, mereka berdua berkeliling dunia mulai dari benu Amerika, Afrika dan Asia.
Tentu saja perjalanan ini bukan sepenuhnya bulan madu melainkan sudah menjadi tugas Tiger sebagai wakil pimpinan Eternal untuk mengembangkan bisnis di seantero jagad raya karena Raymond setelah perjalanannya terakhir kali dari Mesir, ia memutuskan untuk menjadi full time husband yang mendedikasikan dirinya sebagai suami sekaligus sebagai calon ayah yang baik. Setiap hari yang dilakukanya hanya menemani istrinya. Mulai dari berbelanja, mendekorasi kamar, dan juga mengikuti kelas yoga sebagai persiapan sebelum melahirkan.
"Sweethart!" teriak Tiger ketika gerakan bokongnya yang liat dipercepat lalu tubuhnya mengejang dan semua cairan miliknya tertumpah ruah di dalam rahim milik Virna. Tubuhnya langsung jatuh di atas Virna yang sudah mengalami betapa indah sekaligus melelahkanya malam ini. Suaminya membuat dia berkali-kali berada di awan atas nikmat yang diberikan. Dan malam ini, sudah ketiga kalinya bagi Tiger. Sedangkan untuk Virna, tak terhitung lagi berapa kali tubuhnya gemetar ketika Tiger mencumbunya, menyentuh setiap lekuk tubuhnya yang molek.
"Aku mencintaimu." Tiger berkata lembut kemudian menjatuhkan dirinya ke samping. Diambilnya selimut untuk menutupi tubuh Virna yang tak mampu lagi bergerak. Napasnya tersengal dan pandangan matanya sayu.
"Jika aku mandul, apa kamu tetap mencintaiku?" tanya Virna dengan air mata yang mengambang di pelupuk netranya lalu berpaling membelakangi suami yang sudah dinikahi lebih dari setengah tahun.
Pernikahannya dengan Tiger adalah hal luar biasa dalam hidup Virna. Pria itu, meskipun memiliki usia yang lebih muda darinya, dalam banyak hal, Tiger menunjukkan sikapnya sebagi suami yang bertanggung jawab.
"Ssstttt! Jangan bicarakan itu lagi. Aku akan tetap mencintaimu dengan atau tanpa anak!" Tiger membalikkan tubuh Virna kemudian mengecup kedua matanya yang telah basah. Dia tahu kesedihan Virna karena sampai sekarang, istrinya tak kunjung hamil. "Kau yang terbaik, sweethart!" ucap Tiger lagi kemudian mendekap istrinya dalam-dalam.
"Bukankah kamu menginginkan banyak anak?" tanya Virna sesenggukan dan dengan suara yang serak. Jauh di dalam hatinya, Virna takut kalau rumah tangganya akan kandas lagi untuk yang kedua kalinya.
"Sekarang aku tidak peduli. Aku hanya membutuhkan dan menginginkanmu. Berjanjilah padaku jangan membicarakan lagi tentang anak!" ucap Tiger tegas sembari mengelus rambut istrinya istrinya yang basah oleh keringat.
Tiger melepaskan pelukannya lalu menatap langsung ke dalam bola mata Virna dan menunggu jawaban darinya. Sebagai pria, yang diinginkan Tiger hanya kebahagiaan istrinya, bukan yang lain. Kalaupun memang Virna mandul, ia akan mengadopsi anak sebanyak-banyaknya. Dia tak ingin orang yang dikasihi terbebani oleh hal sepele. Ya, bagi Tiger anak adalah nomor dua karena yang nomor satu adalah istrinya.
"Janji," balas Virna lirih namun tak yakin dengan apa yang barusan keluar dari mulutnya sendiri. Ia takut tak akan sanggup menepatinya.
*****
"Tarik napas perlahan dan dorong. Dua lagi, Tara. Kamu pasti bisa! Kepalanya sudah mulai terlihat," instruksi Hilma yang membantu Tara melahirkan. Untunglah persalinan Tara termasuk lancar karena sejak awal keadaan jabang bayi sehat dan tidak ada masalah. Selain itu, fisik Tara yang kuat tidak menghalangi untuk melahirkan normal.
"Kau pasti bisa, sayang!" ucap Raymond yang menggenggam erat tangan istrinya. Sesekali ia juga mengelap keringat di dahi Tara. Raymond tak henti-hentinya menjaga istrinya apalagi ketika kehamilan menginjak usia sembilan bulan. Dia menjadi suami yang cerewet dan over protective.
"Kalau tahu akan sakit begini, harusnya kamu saja melahirkan!" balas Tara terengah-engah. Ia menarik napas panjang dan berusaha mendorong bayinya agar cepat keluar. "Setelah ini, aku tidak mau hamil lagi!" protes Tara lagi yang membuat perawat dan dokter yang ada di ruangan itu tertawa.
"Aaaaa! Ya Tuhan!" teriak Tara yang merasa sakit luar biasa dan seperti ingin buang air besar untuk ketiga kalinya. Dia tidak menyangka bahwa tugas seorang ibu sangat berat seperti ini. Rasa sakit dan lelahnya bahkan tak sebanding pada saat ia berlari mengelilingi stadiun saat SMA dulu.
"Kamu pasti bisa, sayang. Aku yakin kau kuat."
"Aaaa! Ini semua salahmu! Kalau bukan karena perbuatanmu aku pasti tidak akan hamil!!"
"Memang salahku ...," balas Raymond mendekap kepala istrinya yang sedang mengambil napas dan bersiap lagi untuk mendorong keluar bayinya. Di dalam hatinya, ia tak ingin lagi istrinya hamil. Cukup sekali saja. Melihat betapa sakit istrinya yang berjuang demi anak-anaknya, hatinya terasa ngilu dan perih.
Hampir lima menit Tara berjuang di dunia peperangan, kepala bayi mungil itu mulai terlihat dan Tara pun bisa merasakannya. Tara mengambil napas lagi dan mendorongnya kuat-kuat. Vulva pun seketika itu terbuka serta perineum meregang hingga akhirnya suara tangis bayi yang ke-tiga pun terdengar.
Tidak hanya bayi itu saja yang menangis, tetapi Tara dan Raymond yang sedang berpelukan tak mau kalah. Rasa haru dan kebahagiaan bercampur menjadi satu.
"Jagoan lagi! Sehat dan montok!" ucap Hilma yang baru saja selesai memotong tali pusar dan menaruh Raymond junior di dada ibunya yang sedang bertelanjang. Tara langsung menciumnya, mengelus tubuhnya yang rapuh dan kemerahan. Ia memegang tangannya yang mungil dan bibirnya yang kemerahan. Tampan, persis seperti ayahnya. Sementara Raymond tak berhenti mengelus kepala istrinya dan memandangi jagoan ciliknya yang ketiga. Dadanya seperti ingin meledak ketika menyentuh kulit bayinya yang halus. Inikah rasanya menjadi seorang ayah?
"Terima kasih, sayang telah berusaha dengan keras," ucap Raymond pelan sesaat sebelum Tara merasakan kontraksi lagi. Perawat buru-buru mengambil bayi yang ada dalam gendongannya dan Tara mulai mengambil napas lagi. Tangannya menggenggam erat tangan suaminya yang sudah lama menantikan kelahiran anak-anak mereka. Pria itu lah yang paling was-was ketika usia kehamilan istrinya makin bertambah.
"Bagus, Tara ... anak perempuanmu seperti tak sabar lagi ingin keluar," kata Hilma yang melihat kepala bayi mulai muncul dari garba disusul tubuh dan kakinya. Bayi yang cantik dan suara tangisnya pun memenuhi ruang bersalin khusus yang Raymond siapkan untuknya.
"Hmm ... baguslah, Hilma. Dia tahu kalau ibunya sudah kelelahan," jawab Tara lemah sesaat sebelum dia kehabisan tenaga dan mulai memejamkan mata perlahan dibarengi darah yang tiba-tiba keluar begitu banyak dan seketika itu Hilma menjadi panik. Diserahkannya bayi yang ada di tangannya pada perawat dan mulai mengambi tindakan. Sedangkan Raymond, cemas bukan main melihat istrinya tiba-tiba pingsan.
"Sayang ... sayang ... bangunlah." Raymond mengecupi pipi istrinya, membelai rambut dan mengelap keringat di dahinya namun Tara sama sekali tidak menyahut. Dia kehilangan kesadaran.
"Pak, Ray. Tolong keluar dari ruangan," pinta seorang dokter lain yang sejak tadi ada di belakangnya. Sedangkan perawat dan Hilma mulai sibuk memeriksa Tara dan berusaha menghentikan pendarahan yang terjadi.
Dengan berat hati Raymond meninggalkan istrinya dan hanya mondar-mandir di depan ruang persalinan. Mama dan Papa serta Bibi tak hentinya berdoa karena takut terjadi sesuatu. Dari semua kasus kematian saat melahirkan, pendarahan pasca melahirkan adalah menyumbang kematian yang cukup banyak yaitu sebesar dua puluh tujuh persen kemudian disusul oleh tekanan darah tinggi dan preeklampsia, Pulmonary Embolism (darah beku di paru-paru).
"Duduklah, Ray. Istrimu pasti baik-baik, saja," kata Mama lembut berusaha menenangkan menantunya meski ia sendiri pun merasa cemas. Dia takut kalau terjadi sesuatu pada anaknya. Lalu, bagaimana nasib ke-empat bayinya yang baru saja menghirup udara di dunia yang fana ini?
*Pastikan komen dan masukkan novel ini ke rak buku kalian.
"Putri, kenapa Anda terlihat begitu puas telah membuat Duke Erick marah?" Anne menatap Castarica khawatir. Dia mengerti arti tatapan Castarica saat ini. Tampak sekali sedang bahagia. Padahal, baru beberapa waktu yang lalu Castarica telah membuat suasana terasa menegangkan. Tentu menegangkan sebab Castarica baru saja membuat Duke Erick marah. Ya, memang Duke Erick tidak menunjukkan kemarahannya, tapi aura gelap yang keluar dari tubuhnya, semua pun bisa tahu jika Duke Erick sedang marah. Castarica tersenyum tipis, lalu menjawab tanpa mengalihkan pandangannya yang sedang menatap kepergian Duke Erick. "Puas? Masih belum, Anne. Aku masih belum puas." Anne tersentak. "Putri ... Anda tidak sedang berniat membuat kekacauan 'kan?" Entah kenapa Anne bisa merasakan ada aura tidak baik dari ucapan Castarica tadi. Dan kemungkinan saja akan berakibat pada kerajaan Cahaya. "Kekacauan?" Castarica beralih menatap Anne dengan alis terangkat sebelah. Lalu tiba-tiba saja
"Jadi apakah ini maksudnya, Putri?" Erick menatap Castarica datar. "Tidak ada maksud apapun," balas Castarica santai. Lalu menyeruput air teh dengan tenang. Alis Erick sedikit berkerut, dia tidak percaya dengan ucapan Castarica. Meski pun gelagat Castarica terlihat tenang, seperti tidak berbohong. "Sekarang Anda bahkan terlihat tidak seperti sebelumnya? Apakah Anda menganggap semua tadi hanya sebagai permainan? Jika memang begitu, maka cari lah teman main yang lain, saya tidak berniat mengikuti permainan Anda, Putri Castarica." Erick beranjak dari kursi, tidak lagi berniat berbincang dengan Castarica. Semua sudah cukup jelas, ia tidak ingin ambil pusing memainkan peran yang tidak berguna. Melihat Erick beranjak, lekas Castarica menaruh cangkir teh ke meja. "Tunggu dulu, Duke Erick!" panggil Castarica sembari ikut beranjak, mengejar Erick yang mulai menjauh. Erick berhenti berjalan, kemudian berbalik menatap Castarica dengan
Castarica berjalan cukup cepat, jelas sekali ia sedang terburu-buru, bahkan Anne yang mengikutinya tertinggal jauh di belakang, sebab saking cepatnya Castarica berjalan. Seperti sedang mengejar sesuatu. Tentu. Tentu saja Castarica sedang mengejar sesuatu, dia sedang mengejar Duke Erick yang keberadaannya sekarang entah di mana, cepat sekali hilangnya. Sembari mencari keberadaan Duke muda itu, Castarica mencoba menebak di mana kiranya Erick berada. 'Jika aku tidak salah ingat, dia datang ke kerajaan untuk melaporkan kunjungannya dari kerajaan Isaac. Mungkinkah dia mengunjungi kediaman Ayah?' Castarica terdiam sejenak, sampai akhirnya ia memutuskan memutar balik arah menuju kediaman Ayahnya, istana utama. Sepanjang jalan, raut wajah Castarica terus berkerut serius. Bagaimana mungkin tidak? Jika sudah berhubungan dengan keluarganya dan kerajaannya, Castarica pasti akan bersikap serius, apalagi jika menyangkut masa depan ke dua hal tersebut. Sekali la
Erick telah memasuki kediaman Felix atau yang lebih akrab dengan sebutan 'Pangeran Mahkota'. Tidak lagi bersama Penasihat Rodney sebab pria banyak bicara itu sudah kembali ke istana setelah mendapat panggilan mendadak dari prajurit kiriman. Kata prajurit itu, Menteri Pembangunan ingin bertemu dengannya. Trang! "Khiat! Khiat! Khiat!" Baru saja masuk, Erick sudah disuguhkan dengan pemandangan menarik. Pemuda berstatus Pangeran Mahkota yang juga merupakan sahabat dekatnya itu tengah asik beradu pedang dengan ksatria terbaik kerajaan Cahaya. Tidak ingin mengganggu pertarungan antara murid dan guru itu, Erick memilih diam di tempatnya berdiri. Juga memerintahkan pelayan di sana untuk tidak memberitahukan kedatangannya pada majikan mereka. "Kekuatan dan ketangkasan Anda semakin meningkat, Pangeran Mahkota. Saya rasa Anda bisa memenangi pertarungan nanti," puji Lyon di tengah-tengah pertarungan. Tangannya terus bergerak cepat menangkis-balas serangan ped
'Meski pun begitu, tetap saja sikap, Putri, aneh.' Anne menatap Castarica lekat, masih belum sepenuhnya percaya Castarica membatalkan kunjungannya ke barak pelatihan. Bukannya Anne tidak senang dengan sikap Castarica sekarang, hanya saja, tetap terasa aneh baginya jika Castarica seperti ini, sekali lagi seperti bukan Castarica saja. "Kue?" Castarica menatap dua pelayan di belakang Anne, memberikan kode agar dua pelayan itu segera menghidangkan kue yang mereka bawah. "Ah, kue?" Anne tertegun, lantas memerintahkan dua pelayan di belakangnya menghidangkan kue pai yang mereka bawa ke meja. Perlahan perasaan Castarica mencair, melihat kue pai kesukaannya berada di depannya. Seketika dia melupakan semua tentang balas dendamnya, menghayati rasa manis asam dari kue pai yang selalu bisa memperbaiki perasaannya. 'Kue pai memang selalu bisa menghibur.' Sesuap demi sesuap terus masuk, begitu lahapnya Castarica memakan kue pai tersebut tanpa memedu
"Anne, aku menginginkan kue pai lagi, bisakah kau mengambilkannya untukku?" Castarica menatap Anne berbinar, terlihat sangat berharap. Entah kenapa, setelah memikirkan rencana membalas dendam terhadap keluarga Qimberly membuatnya lapar, bahkan perutnya bergejolak cukup kuat, seperti tidak pernah makan selama beberapa hari, padahal baru beberapa menit yang lalu dua piring kue pai telah habis dia lahap. Anne mengiyakan perintah Castarica, memerintah dua pelayan di belakangnya mengambil kue pai keinginan Castarica. "Kalian, ambil kue pai lagi untuk, Putri." "Baik, Anne." Serempak dua pelayan itu menjawab, membungkuk sejenak lalu pergi menjalankan tugas mereka. Anne berbalik, kembali menatap Castarica yang sedang termenung, seperti awal gadis itu datang ke taman ini, diam dan kembali memikirkan sesuatu. Sebenarnya sikap Castarica hari cukup aneh, sejak tiba di taman, Castarica lebih cenderung diam dan merenung, seperti ada masalah ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen