Hinaan Dari Keluarga Suami

Hinaan Dari Keluarga Suami

last updateLast Updated : 2022-04-04
By:  Rita FebriyeniCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.9
23 ratings. 23 reviews
75Chapters
247.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

"Bu, aku bisa pinjam uang dua ratus ribu buat modal usaha?" ucapku pada ibu mertua. "Kamu hanya tamat SMP bisa apa? Sekarang ke dapur dan kerjakan semua pekerjaan rumah!" Semenjak suamiku kecelakaan dan kakinya diamputasi, kami diperlakukan terhina seperti pembantu. Kehilangan pekerjaan seperti benalu di rumah ibu kandungnya. Hinaan dari keluarga suami bagaikan makanan sehari-hari. Akan tetapi, jika terus berusaha dan belajar, tak ada yang tidak mungkin. Begitulah yang aku lakukan hingga bisa menulis novel online di beberapa aplikasi, sehingga menghasilkan banyak uang. Bagaimana sikap mereka yang menghina setelah tahu aku punya penghasilan sendiri dengan kondisi hanya tamat SMP?

View More

Chapter 1

Part 1 Hinaan

"Ini buat seminggu!" Ibu mertua melempar uang lima puluh ribu ke wajahku. Aku langsung tersentak yang sedang menyusui anak.

"Ya, Bu," jawabku sambil memungut uang itu. Terpaksa, aku sangat butuh.

"Makanya cari kerja sana!" Ia melotot seolah aku benalu di kehidupannya. Padahal aku menantunya.

"Aku sedang menyusui, Bu," lirihku.

"Jangan jadikan menyusui alasan! Kamu kira aku tak pernah kerja dan tak punya anak!"

"Jika aku kerja, gimana dengan anakku, Bu?"

"Aalah, bilang aja kamu malas dan hanya bisa mengadahkan tangan. Sudah untung kalian kutampung gratis di rumah ini. Seminggu pun kuberi uang cuma-cuma. Kalau bukan istri Bayu, sudah kuusir."

Menghela napas besar berulang kali. Aku berusaha tak mengeluarkan air mata. Jika hati terlalu sakit, untuk menangis pun rasanya tak sanggup. Kugenggam uang itu seiring menahan rasa sakit hati yang setiap hari terpendam. 

Ini seperti uang gajiku seminggu, karena melakukan semua pekerjaan rumah. Secara kasarnya, menantu sekaligus pembantu. Tak ada pilihan, karena mas Bayu sudah di PHK semenjak kaki kirinya diamputasi karena kecelakaan.

"Sabar, Rin. Ibu memang seperti itu, tapi sebenarnya hatinya baik," ucap mas Bayu melihat semua ini.

"Mas, aku ...." Ingin mengatakan 'tak sanggup' rasanya tak tega. Mas Bayu tak mampu berbuat banyak. Apa yang bisa dikerjakannya? Berdiri saja dengan satu kaki yang dibantu tongkat untuk berjalan.

"Maafkan Mas, Rin. Mas janji akan terus cari kerja."

"Ya, Mas," jawabku pilu. 

'Kerja apa, Mas? Untuk diri sendiri saja kamu tak mampu, apalagi menafkahiku,' bathinku.

Dulu, saat mas Bayu kerja, kami disanjung. Aku pun tak masalah jika gaji mas Bayu juga dijatah untuk ibu dan adiknya setiap bulan. Aku tahu itu juga kewajibannya. Lagian tak perlu dipermasalahkan karena kewajibannya sebagai suami sudah dipenuhi. 

Dan warung sembako ibu, yang ada depan rumah pun juga modal dari suamiku.

"Rina! Aku titip zilan ya, ntar kukasih dua puluh ribu." Mbak Inur menyodorkan bayinya yang masih dibedung. Ia istri mas Jaka-- kakak dari mas Bayu. Karena ia banyak menanggung biaya dapur, maka ia menantu disanjung.

"Ya, Mbak," jawabku. Tentu aku tak bisa menolak. Uang dua puluh ribu itu sangat besar bagiku saat ini. 

"Mau ke mana, Nur?" tanya ibu.

"Mau ke renuian SMA, Bu. Lumayan dapat jatah jadi panitia. Lagian nanti aku bisa bawa pulang makanan sisa acara. Lumayanlah, Buuu."

"Oooh, itu baru mantu pintar, nggak seperti itu tuuu." Ibu menunjukku dengan meruncingkan bibirnya ke arahku. Sudah biasa dibandingkan, tapi tetap saja bikin sesak.

"Bu, aku minta jajan dong." Tiba-tiba Stela keluar dari kamar. Lalu mengadahkan tangan ke ibu mertua.

"Baru kemaren di kasih seratus, kok minta lagi?" tanggapan ibu.

"Kan udah habis beli quota internet, Bu. Minta setengahnya aja ya?" ucap Stela manja. 

Lalu ibu mengeluarkan dompet. 

"Nih." Uang lima puluh ribu diberikan ke Stela.

Ibu sepertinya banyak uang. Aku butuh uang buat buka nomor rekening bank. Karena cerbung yang aku diposting di dua aplikasi prabayar, sudah menghasilkan sekitar sembilan belas juta rupiah. Hanya saja, pembayaran harus melalui rekening.

"Bu, aku bisa pinjam uang dua ratus ribu buat modal jualan online?" Bicara jujur sepertinya tak perlu. Paling mereka akan menghinaku lagi.

"Mau jualan apa? Paling nggak laris, kamu tu cuma tamat SMP, cocoknya jadi babu, beda sama Stela yang sedang kuliah S1, ha ha ha."

Ia memperbandingkan pendidikan putrinya dengan pendidikanku. Dan mereka berdua tertawa mencemooh seolah aku tak bisa apa-apa.

"Iya, Mbak. Bagusan nyuci baju aja karna udah numpuk." Entengnya Stela memerintahku. 

Mas Bayu langsung menggeleng pelan menanggapi seolah tak setuju dengan sikapku meminjam uang ke ibunya. Aku pun tak cerita kenapa mau pinjam uang. Sengaja kurahasiakan agar bisa mengumpulkan uang buat usaha buka warung dan cari kontrakkan. Cita-citaku dari dulu ingin punya rumah makan padang, modalnya besar dan saat ini belum sanggup menggapainya. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa.

Tuhan, kenapa aku baru menyadari sikap buruk mereka setelah mas Bayu di PHK. Sekarang kondisiku pun sedang menyusui anak. Tak punya kerjaan dan setiap hari mendengar ocehan mertua dan ipar. Sebenarnya aku menantu atau pembantu mereka? 

Hanya ponselku ini tempat curhat. Ibarat diary yang kuketik di aplikasi catatan k**p. Ini ponselku dan sudah hampir setahun kumiliki.

Apakah tamat SMP seperti orang tak berpendidikan? Bukan aku tak mau sekolah, tapi kondisinya orang tua tak mampu membiayai. Dan akhirnya, aku kerja di rumah makan Padang. Awalnya hanya sebagai tukang cuci piring, terakhir sebelum mengundurkan diri karena menikah, jadi tukang masak. Dari sanalah pertemuanku dengan mas Bayu, ia sering makan siang di tempatku bekerja.

"Jangan banyak berharap, sudah sana lanjutkan nyuci, biar Raka dan zilan kujaga di kamar. Nanti kalau menangis akan kupanggil," ujar mas Bayu pelan.

"Ya, Mas."

Aku harus cari pinjaman ke yang lain.

***

Dua hari berlalu.

"Rina! Rina!" Tiba-tiba ibu mertua memanggil. Seperti biasa, jam segini aku harus masak makan malam. 

"Tuh Ibu nyuruh masak, Mbak," ucap Stela.

"Mas, tolong jagain Raka. Aku mau masak."

"Aduh, Rin. Aku juga mau nyuci motor Mas Jaka. Lumayan dapat upahnya dari pada dibawa ke tempat cucian," tolak mas Bayu.

"Oh, ya, Mas."

Kugendong anakku ke dapur. Di sana, ibu sedang mengeluarkan sayuran dari kantong kresek. 

"Lama amat, kerongkonganku sakit teriak-teriak. Cepat masak! Goreng ayam itu dan bikin sambal terasi." Ibu mertua terlihat kesal. Sebenarnya ini sudah biasa kuterima, tapi tetap saja hati ini sakit saat ucapan itu dilontarkan dengan nada tak enak di telinga.

"Ya, Bu," jawabku pelan. Lalu meletakkan Raka di lantai dapur dan diberi kerupuk agar ia tak ke mana-mana. Raka sedang lincahnya karena baru satu bulan ini bisa berjalan.

"Kamu tu beruntung tinggal di sini. Tak keluarin uang banyak buat biaya makan. Listrik dan air tak perlu mikir," ujar ibu mertua sambil mencuci tangan.

"Ya, Bu," jawabku, lagi menahan.

"Mana uang dapurmu?" Ibu mengadahkan tangan.

"Ini, Bu." Kusodorkan uang lima puluh ribu padanya. Itu uang yang ia berikan dua hari yang lewat.

Satu hari aku dijatah uang seribu lima ratus rupiah. Satu minggu total sepuluh ribu lima ratus rupiah. Kata ibu mertua aku tak perlu mikirkan tentang makan lagi karena ia yang bantu. Uang lima puluh ribu yang diberinya, kuberikan lagi.

Biasanya, sepuluh ribu lima ratus rupiah itulah kugunakan untuk membeli quota internet. Karena dapat uang dua puluh ribu dari mbak Inur, uang lima puluh ribu itu masih utuh kupegang.

"Ini kusisakan seperti biasa." Ibu menyodorkan uang sepuluh ribu lima ratus rupiah padaku. Lalu ia berlalu ke luar  membiarkan aku memasak sendiri.

Keadaan ini sudah biasa kualami. Ibarat pembantu, semuanya aku yang kerjakan. Mau pergi dari sini, aku tak punya tempat tujuan selain rumah orang tua. Tak mungkin aku pulang karena kondisi ibu bapak juga serba kekurangan. Seharusnya aku yang membantu mereka. Tapi itu hanya dulu.

Setiap malam aku curhat ke seorang penulis. Memberanikan messenger dan Alhamdulillah tanggapannya baik dan ramah. Sebenarnya aku tertarik membaca cerbungnya yang tak jauh dari kondisi rumah tanggaku. Jujur, aku merasa tercerahkan. Dan rasa kasihannya menyuruhku mencoba menulis cerbung. 

Awalnya aku tak percaya diri. Mana mungkin tamat SMP seperti aku bisa menulis seperti Author top yang sukses di beberapa aplikasi baca novel. Hasilnya, satu minggu aku belajar menulis darinya secara diam-diam, dan sekarang kuberanikan menposting di dua aplikasi prabayar. Alhamdulillah, aku sudah punya pendapatan kurang lebih dua puluh tiga juta rupiah. Hanya saja uang itu besok atau lusa baru kuterima.

"Rina! Rina!"

Astagfirullah'alaziim, aku mengucap saat mendengar ibu mertua berteriak memanggil.

"Rina! Sini cepat!"

Ya Tuhan, aku melakukan kesalahan apa? Kali ini teriakkan mas Bayu memanggil. Dari nadanya terdengar sangat marah.

"Ya, Mas!" sahutku sambil mematikan kompor.

"Cepat sini!" Ibu mertua seperti tak sabar ingin memarahiku. Ya Tuhan, ada apa ini?

"Iya, Bu," jawabku sambil menggendong Raka.

Jantungku berdegup tak enak. Ini bukan karena aku merasa bersalah, tapi suara ibu dan suamiku terdengar lantang. 

"Ya, Bu," jawabku sudah berdiri di depan mereka. Mereka yang kumaksud ada mbak Inur, mas Jaka, Stela, ibu mertua dan suamiku. Tapi kok ada mbak Leha? Jangan-jangan ....

"Sudah untung kamu kutampung di rumah ini!" tukas ibu mertua.

"Sadar diri dong, Bayu cacat dan hanya bisa mengadahkan tangan," timpal mas Jaka.

"Ya paling kalau mau mengadahkan tangan di lampu merah, pasti dapat uang." Stela berucap tak menghargai kakaknya. Padahal ia bisa tamat D3 adalah biaya dari mas Bayu.

"Sini!"

Mas Bayu tiba-tiba marah. Raka dalam gendongan langsung menangis.

"A-apa salahku, Mas?" lirihku, mas Bayu terlihat sangat marah.

"Berani kamu pinjam uang! Bayar pakai apa? Lihat kondisiku!" Mas Bayu berucap lantang. Aku tahu ia merasa terhina dengan ucapan ibu dan saudaranya.

"Sabar, Bayu. Lagian ini urusanku dengan Rina. Jangan gitu dong, kasihan istrimu sudah kurus kok dimarahi?" Terlihat mbak Leha menatap prihatin.

"Biar aja, Leha! Toh ia salah kok. Tak punya uang sok minjam," tukas mbak Inur.

"Hey! Kamu tu punya ot*k nggak sih? Beraninya minjam uang ke Leha. Bisa bayar nggak?" Ibu melotot sambil mencubit lenganku. Sakit, tapi hatiku lebih sakit.

"Mana bisa, Bu. Lah kerjanya hanya mengadahkan tangan aja, lagian Mas Bayu bisa apa?" timpal Stela yang membuat diriku semakin terpojok.

Ya, aku minjam uang dua ratus ribu ke mbak Leha buat buka nomor rekening. Gunanya untuk tranfer hasil dari menulis. Itulah kenapa aku berani meminjam uang. Namun, uang itu lupa kutarik via Atm karena kondisi Raka rewel saat berada di bank. Lagian aku takut dimarahi ibu, jika belum kunjung pulang. Itulah kenapa hari ini mbak Leha datang menagih hutang.

Aku hanya terdiam. Raka rewel dan segera kususui sambil berdiri. Lagi, tak ada air mata yang tumpah. Mungkin aku sudah kebal.

"Kenapa diam aja! Jangan kamu kira aku yang akan membayar hutangmu. Sepersen pun aku tak sudi!" Ucapan lantang ibu mertua seolah aku ini bukan menantunya.

Amarah mereka kuterima dalam diam. Sambil berkata di hati, "Sebentar lagi apakah kalian akan meremehkan aku? Tamat SMP saja, bukan berarti aku bodoh."

"Mbak Leha, maaf ya, uangnya besok atau tiga hari lagi kuganti, aku janji akan melebihkan seratus ribu karena telat bayar," kataku yakin.

"Apa? Hey! Mau bayar pake apa. Kamu sedang mimpi punya uang banyak?" 

"Mungkin dapat warisan dari orang tuanya kali, Bu. Tapi boong, ha ha ha." Ucapan Stela disambut yang lain tertawa menghina. Kecuali suamiku yang hanya terpana. Entah apa yang ia pikirkan. Aku tahu ia tak terima jika aku dihina. Hanya saja ia tak bisa melawan.

Bersambung

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
96%(22)
9
0%(0)
8
4%(1)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
9.9 / 10.0
23 ratings · 23 reviews
Write a review
user avatar
gandhes kamandharu
cerita nya sangat menyentuh.. top pkonya..
2023-06-10 22:37:09
0
user avatar
Vie Le
Ceritanya Bagus, berbeda dengan tema umum novel2. Rekomendasi ...
2023-02-05 08:59:38
0
user avatar
Cha Yoka
Maaf, saya pernah baca novel ini di aplikasi lain. Apakah penulisnya sama ya.
2022-10-26 00:54:34
2
user avatar
Herna Wy
sangat bagus crta nya ... trmksh ...
2022-10-02 07:53:31
0
user avatar
Desri Marifa
untuk stelan dan ibunya tragis sekali cerita nya.. untuk Rina,, ini sangat menginspirasi.. klo boleh tau apakah ini sesuai dengan kehidupan nyatanya penulis atau gimana..? jadi penasaran kok ada mertua sama ipar kek gitu ya.
2022-08-13 02:29:56
2
user avatar
Nescia Cabral Guterres
ceritanya bagus ttng kehidupan sehari-hari....dan menarik .......... tetapi koinnya mahal sekali ......
2022-08-06 00:28:08
3
user avatar
dewi sri rahayu
Kisahnya begitu menyentuh hati.
2022-07-15 02:48:11
2
default avatar
lastvaldo
aku suka yg seperti ini.
2022-06-28 14:55:36
2
user avatar
Nur Cahaya
bagus,,, ini buku ke 2 yg ceritanya ga ngebosenin
2022-06-11 22:41:07
1
user avatar
Dedira Sedayu
ceritanya bagus
2022-05-28 20:54:54
2
user avatar
Enny Kusumastuti
ceritanya bagus
2022-05-28 15:31:14
1
user avatar
Rangga Dewi
Semangat thor
2022-05-09 14:53:44
1
user avatar
Aljufri Nasuha Rit
jangan cuma 2 bab 1 hari dong.!!!!
2022-05-05 11:50:08
1
user avatar
Aljufri Nasuha Rit
cerita yg menarik
2022-05-05 11:48:55
1
user avatar
Rois Tia
sangat mengispirasi
2022-04-30 22:22:40
1
  • 1
  • 2
75 Chapters
Part 1 Hinaan
"Ini buat seminggu!" Ibu mertua melempar uang lima puluh ribu ke wajahku. Aku langsung tersentak yang sedang menyusui anak."Ya, Bu," jawabku sambil memungut uang itu. Terpaksa, aku sangat butuh."Makanya cari kerja sana!" Ia melotot seolah aku benalu di kehidupannya. Padahal aku menantunya."Aku sedang menyusui, Bu," lirihku."Jangan jadikan menyusui alasan! Kamu kira aku tak pernah kerja dan tak punya anak!""Jika aku kerja, gimana dengan anakku, Bu?""Aalah, bilang aja kamu malas dan hanya bisa mengadahkan tangan. Sudah untung kalian kutampung gratis di rumah ini. Seminggu pun kuberi uang cuma-cuma. Kalau bukan istri Bayu, sudah kuusir."Menghela napas besar berulang kali. Aku berusaha tak mengeluarkan air mata. Jika hati terlalu sakit, untuk menangis pun rasanya tak sanggup. Kugenggam uang itu seiring menahan rasa sakit hati yang setiap hari terpendam. Ini seperti uang gajiku seminggu, karena melakukan semua pekerjaan
last updateLast Updated : 2022-03-31
Read more
Part 2 SMS Banking
Saat mereka tertawa menghina. Aku masih bersabar untuk diam. Biar mereka puas dulu dan nanti akan kutampar dengan tiba-tiba punya uang banyak. Uang yang lebih dari dua puluh juta rupiah adalah nominal yang seumur hidup tak pernah kupegang. Dan ini seperti mimpi aku bisa memilikinya. Dan itu nominal akan cair, belum yang pending."Hey! Mantu terkaya, kepalanya nggak terbentur kan? Atau perlu kubawa ke rumah sakit jiwa?" "Ha ha ha, Ibu nih. Emang mantu terkaya ibu rada iniii?" Stela memiringkan telunjuknya di kening memberi isyarat jika aku menantu gil*."Aduh, Stela, jangan gitu dong, gimana pun juga Rina tetap kakak iparmu, kalau yang yang kamu ucapin jadi kenyataan gimana? Ha ha ha." Mbak Inur pun ikut bersuara. Bukan membela justru ia ikut menanggapi lelucon menghinaku."Tunggu dulu, Bu Ida. Maaf, bukan ingin ikut campur. Sepertinya aku salah waktu menagih hutang." Mbak Leha seperti merasa bersalah melihat raut wajahku, saat menatap mereka sedang
last updateLast Updated : 2022-03-31
Read more
Part 3 Belanja
Kali ini aku membantah karena sudah punya kekuatan berdiri sendiri. Meskipun belum seberapa bagi sebagian orang, tapi bagiku bisa menyelamatkan hidup dari hinaan. Akan kucari kontrakkan sambil buka warung nasi Padang. Belum rumah makan Padang karena uangku belum cukup untuk mengontrak ruko.Alhamdulillah ... Alhamdulillah, tak henti-hentinya mengucap syukur atas rezeki ini. Usaha yang menghasilkan. Hinaan mereka cambuk bagiku agar terus kuat dan tak berhenti berusaha dan belajar menulis cerbung. "Hari masih pagi, jangan bercanda karena aku tak level bercanda denganmu, Rin." Mbak Inur sempat juga menyelipkan hinaan dari setiap kata-kata yang dilontarkan padaku."Atau jangan-jangan sakit sarafnya kumat dan ia benaran gi*a, ha ha ha." Aku diam sambil tersenyum manis menatap mereka. Sepasang suami istri menghina dan itu masih kata-kata cacian dari kemarin. Terdiamku karena ingin melihat apa saja yang akan diucapkan lagi. Ekspresi tertawa cemooh me
last updateLast Updated : 2022-03-31
Read more
Part 4 Sedikit Perlawanan
"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu mertua. Matanya membulat sempurna menujuk jariku. Begitupun mbak Inur agak sedikit mangap. 'Makanya, jangan remehkan aku yang hanya tamat SMP,' bathinku. Pura-pura tak dengar."Rina! Ibu nanya kok malah diam. Itu cincin dari mana dapatnya?" Mbak Inur kesal karena kuabaikan."Apa?""Apa apa apa! Ini kamu dapat uang dari mana belanja? Sini lihat cincin itu!" Ibu ingin menggapai jariku."Iiih! Apaan sih?" Kujauhkan tanganku dari ibu."Sini lihat!" Ibu masih kukuh agar aku memberikan cincin ini. Oh, tidak bisa! Emangnya apa urusanmu."Kenapa Ibu memaksaku agar memberikan cincin ini? Toh bukan punya Ibu kan?" "A-apa? Kamu sudah bisa melawan sekarang?" Bahuku kananku sedikit di dorong."Iih! Bisa nggak tangannya dijauhkan dari aku?" Alisku bertaut menatapnya. Tentu aku tak bisa diam seperti biasa. "Hah? Bisa melawan ia sekarang, Bu." Si tukang kompor
last updateLast Updated : 2022-03-31
Read more
Part 5 Mereka Mentertawakan Aku
"Aku kecewa padamu, Mas. Raka disakiti kamu hanya diam!" Duduk di tepi ranjang, kupandangi Raka sedang tertidur.Sudah tak tahan ingin mengucapkanya. Ia seorang bapak, meskipun dengan keadaan fisik kaki satu, tapi bukan berarti diam melihat anak disakiti. Sekilas merasakan, akulah yang mengendalikan semua keadaan tanpa ada tempat mengadu dan berlindung.Tuhan, maaf jika sering hinggap dengan sebuah rasa lelah. Tapi aku hanya perempuan biasa yang juga butuh perlindungan. Tapi kenyataanya ..., Astagfirullah'alaziim, kenapa aku mengeluh di saat keadaan mas Bayu seperti ini. "Aku tidak lihat, Rin. Hanya sebentar kutinggal karena Ibu minta bersihkan genangan air hujan di teras. Lagian jika dibiarkan takutnya yang lewat terjatuh.""Tapi bukan berarti kamu diam kalau tau dia mencubit anakku!" Ibu mana yang rela jika anaknya disakiti orang lain. Apalagi Raka baru satu tahun."Aku tidak tau, Rin. Tiba-tiba Raka menangis dan kudekati, Mbak
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Part 6 Karena Mbak Leha Mereka Berubah
"Jangan teriak-teriak! Emang kamu siapa memerintah aku? Urus saja istrimu agar mulutnya juga berpendidikan." Aku tak akan tinggal diam lagi. Selama ini diam dan diam. Ia lelaki tapi mulutnya seperti ....Seketika mata mas Jaka membelalak. "Kamu!" Mas Jaka menujukku. "Iya, Mas. Mulut istrimu sudah sangat keterlaluan menghina kami. Termasuk kalian semuanya!" Ya Tuhan, kali ini mas Bayu berani menjawab lantang, sebelum mas Jaka memperpanjang ucapannya. Hingga ia beralih melotot ke suamiku."Berani kamu berteriak padaku!" Mas Jaka membalas menghardik suamiku."Iya, lagian jika kami tak bersaudara dengan kalian tak masalah. Toh persaudaraan ini seperti tuan dan majikan." Kuperjelas dengan nada kesal."Tuh! lihat sendiri, Mas. Baru punya duit har*m aja sudah sok." Inur mengompori suaminya."Memalukan, aku yang punya uang tapi kok kamu yang sewot?" Tentu kuucapkan sambil tersenyum sungging. Berusaha tenang agar
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Part 7 Miskin Bukan Berarti Bodoh
 "Lagian rumah ini cukup kamar, kok, Rin. Lagian jika kalian ngontrak pasti keluarin duit banyak. Lah di sini nggak usah bayar." Ibu berusaha merayuku agar tak jadi pergi."Nanti aku carikan usaha buat Bayu yang cocok dengan kondisi kakinya. Mungkin buka counter jual pulsa atau token listrik. Itu kan nggak repot amat." Mas Jaka menimpali seperti ia punya solusi, seolah sangat pintar. Lagian kenapa tidak dari dulu saja ide itu.Kuhela nafas besar. Menyimak sambil membaca maksud ucapan mereka. Sedikit pun aku tak tertarik. Cukup hinaan yang diterima selama ini."Rina! Rin!" Mas Bayu memanggil dari tepi jalan."Iya, Mas!" sahutku."Bayu! Sini!" Wajah ibu terlihat bersahabat memanggil putranya. Hanya saja tumben kok kelihatan baik. Biasanya mas Bayu seperti beban dalam hidupnya, terutama di hari tuanya, itulah yang sering dilontarkan di saat marah."Bayu, sini!" Kali ini kakak suamiku ikut memanggil. Wuih! Baik sekali cara memanggil
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Part 8 Pov Bu Ida
 Pov Bu Ida (mertua) Setelah membicarakan tentang Rina dan Bayu, akhirnya kami mendapat kesepakatan. Mereka harus kembali ke rumah ini. Jika Rina punya bakat menulis yang nenghasilkan uang, tentu aku harus merayu Bayu agar bisa membantu biaya kuliah Stela.  Semenjak Bayu tak lagi bekerja, aku harus banting tulang mencari uang di usaha warung. Sementara Jaka hanya membantu biaya dapur delapan puluh persen, ditambah seratus persen biaya listrik. Tapi tetap saja tak mencukupi. Pengeluaran untuk Stela besar, bahkan sehari menghabiskan uang seratus ribu. "Jadi gimana, Bay. Mau kan balik lagi ke rumah kita?" ajakku. Tentu aku harus membuat putraku menurut, lah ia lahir dari rahimku. Bayu justru melihat ke Rina. Seketika mereka beradu pandang. Entah apa yang dipikirkan. Hanya saja aku harus gigih agar mereka setuj
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Part 9 Maaf, Aku Bukan Pembantu
 "Ini teh telor, Mas. Semoga semangat kerjanya." Kuletakkan tiga gelas teh telur. Ini ciri khas minuman di daerahku. Kuning telur ayam kampung yang dikocok dengan gula, setelah itu disiram dengan air teh mendidih. Baru dikasih susu kental manis dan sedikit irisan jahe. Minuman ini hampir setiap hari kuminum diam-diam saat berada di rumah ibu mertua. Gunanya agar aku lebih bertenaga jika mengangkat beban berat. Ya maklumlah, air galon atau pun pasang gas, aku yang kerjakan. Belum lagi mengangkat tiga ember besar cucian. Tak sarapan pun masih kuat bertenaga. "Iya, Rin, nanti kuminum, tanggung nih." Mas Bayu tetap melanjutkan kerjanya memaku kaki meja yang hampir sembilan puluh persen selesai. Mas Bayu tampak semangat bekerja. Berhenti pun jika makan atau ke kamar kecil. Begitu pun dengan Bapak, membantu tukang bangunan memanjat menyelesaikan atap war
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Part 10 Hal Tak Terduga Melihat Suamiku
 Bukan aku tak menghargai ibu mertua, tapi semua ada batasnya. Apa yang ia katakan itulah yang dikembalikan. Jika sekarang ia bersikap baik lantaran ada maunya, tak perlu basa basi dan cukup jawab intinya saja tanpa paksaan. "Rina, tunggu." Inur memanggil hingga langkahku terhenti. "Ya, Mbak." "Tolong jangan perpanjang masalah, Ibu sedang sakit dan butuh bantuan. Hanya kita berdua mantu di rumah ini, kenapa tak saling berbagi?" Astaga, enak sekali berkata seolah hatiku terbuat dari batu. Mereka menghinaku. Bukan sekali atau dua kali, bahkan sering. Ucapan mereka mencemooh jika aku gil* hingga sekarang masih menusuk hati.  "Kita? Maaf ya, di rumah ini hanya kamu mantu yang seatap dengan Ibu, jadi jika ada masalah ya itu bukan urusanku. Lagian aku sudah berbagi kok, lumaya
last updateLast Updated : 2022-04-01
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status