Beranda / Rumah Tangga / Hinaan Dari Keluarga Suami / Part 4 Sedikit Perlawanan

Share

Part 4 Sedikit Perlawanan

Penulis: Rita Febriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-03-31 11:57:03

"I-itu cincin emas benaran?" tanya ibu mertua. Matanya membulat sempurna menujuk jariku. Begitupun mbak Inur agak sedikit mangap. 

'Makanya, jangan remehkan aku yang hanya tamat SMP,' bathinku. Pura-pura tak dengar.

"Rina! Ibu nanya kok malah diam. Itu cincin dari mana dapatnya?" Mbak Inur kesal karena kuabaikan.

"Apa?"

"Apa apa apa! Ini kamu dapat uang dari mana belanja? Sini lihat cincin itu!" Ibu ingin menggapai jariku.

"Iiih! Apaan sih?" Kujauhkan tanganku dari ibu.

"Sini lihat!" Ibu masih kukuh agar aku memberikan cincin ini. 

Oh, tidak bisa! Emangnya apa urusanmu.

"Kenapa Ibu memaksaku agar memberikan cincin ini? Toh bukan punya Ibu kan?" 

"A-apa? Kamu sudah bisa melawan sekarang?" Bahuku kananku sedikit di dorong.

"Iih! Bisa nggak tangannya dijauhkan dari aku?" Alisku bertaut menatapnya. Tentu aku tak bisa diam seperti biasa. 

"Hah? Bisa melawan ia sekarang, Bu." Si tukang kompor juga ikut memanasi ibu. Silahkan saja.

"Ya! Dan kamu apa urusannya dengan hidupku, urus urusanmu sendiri! Aku mau punya emas asli atau palsu, lagian nggak pakek duit kamu, kok!" Suaraku lantang sambil menujuk mbak Inur. Rasa sakit hati karena hinaan mereka selalu membayangiku setiap hari. Dan tertahan.

"Udah pulang, Rin?" Tiba-tiba mas Bayu muncul dari pintu kamar.

"Iya, Mas. Ini kubawakan nasi bungkus. Aku yakin kamu belum sarapan apalagi makan siang," jawabku sambil mengambil kantong belanjaan di meja, lalu melangkah mendekati mas Bayu.

"Kok belanja banyak? Dapat uang banyak, Rin?"

"Iya, Mas. Alhamdulillah aku juga bisa beli ini." Kuulurkan tangan kananku memperlihatkan cincin yang melingkar di jari.

"Hah? I-ini ..., loh, kok banyak?" Mas Bayu pun ikut terkejut melihat cincinku.

"Bukan itu aja, Mas. Dua hari lagi aku akan beli kalung," jawabku disengaja agar ibu mertua dan mbak Inur dengar.

"Loh, kok?"

"Sudahlah, Mas. Nanti kujelaskan dari mana dapat uang. Oh ya, Raka mana?" 

"Tapi, Rin ...."

"Mas, jangan banyak mikir. Aku juga beli baju baru buat Raka. Baju untukmu juga, Mas." Lalu aku berlalu masuk kamar.

Akan tetapi mas Bayu tak mengikutiku. Ia terpaku seperti shock. 

"Bay, coba tanya dari mana istrimu dapat uang sebanyak itu, baru juga setengah hari keluar rumah." Terdengar suara ibu bertanya ke suamiku. Tidak kulihat ekspresi mereka karena pintu kamar tertutup tirai.

"Iya, tapi aku nggak yakin itu emas asli," sanggah mbak Inur.

"Tapi uang belanjaanya dari mana, Nur?"

"Atau jangan-janan pesugihan?" 

"Astagfirullah'alaziim, Mbak. Rina bukan seperti itu," bela mas Bayu.

Itulah contoh manusia berburuk sangka.

"Ya mana tau aja, toh apa yang bisa diperbuat wanita tak berpendidikan dan juga nggak kerja. Aneh, kan?"

"Heran, deh, Mbak sama Ibu tak pernah berpikir baik pada istriku. Yang penting Rina tidak meminta, kenapa kamu bilang gitu, Mbak?"

"Kamu tersinggung? Ntar kubilang Mas Jaka nggak usah pakai jasamu buat cuci motor. Cari kerja sana!"

Ow ow ow, mengancam dia. Iiih, si Inur keterlaluan. Ia mengancam suamiku tapi ibu mertua hanya diam saja. Sebenarnya anak kandungnya mas Bayu atau si Inur, sih?

Aku ingin ke luar kamar. Untung Raka tertidur jadi tak masalah kutinggal. Akan tetapi ..., loh, kok betis anakku membiru?

Kupegang betis Raka, ini seperti bekas cubitan atau kekerasan. Apa mungkin terjatuh seperti ini? Baru setengah hari kutinggal, tapi mas Bayu lalai menjaga putra kami. Tapi biasanya ia juga menjaga Raka saat cucianku banyak, hanya saja tak pernah seperti ini.

Aku keluar dari kamar.

"Mas, betis Raka kok membiru?" Aku tak sabaran ingin tahu.

"Itu ...."

"Itu karena kucubit! Lah salah sendiri kenapa kamu pergi hingga acaraku batal. Karena anakmu terus nangis bikin aku pusing, dan lagian aku juga sedang kesal!" Tanpa rasa bersalah ataupun kasihan, Si Inur berucap seolah ia bukan seorang ibu.

Kutarik nafas panjang untuk mengumpulkan tenaga.

"Mas Bayu, jangan pernah mencuci motor suaminya lagi. Dan aku pun menolak mengurus bayinya. Jika keberatan dan Ibu marah, tak masalah. Hari ini juga kita akan keluar dari rumah ini." Kupertegas ucapanku agar mereka tahu siapa aku.

"A-apa? Kalian mau meninggalkan rumah ini?" 

"Ha ha ha, tuh mimpi lagi, Bu."

"Iya, Bu. Biar tak ada beban bagi kalian yang menganggap kami ini hanya numpang makan," jawabku.

"Ada apa sih? Rame amat." Tiba-tiba Stela baru datang. Seperti tuan putri saja, kerjanya hanya kuliah dan dandan.

"Ini, kakak ipar terkayamu lagi banyak duit. Belanja dan beli emas, Stel," jawab mbak Inur seperti mencari pembelasn agar aku tambah tersudutkan.

"Hah? Masak iya sih, Mbak?" Stela melihatku. Tentu ia tak pernah melihat baik semenjak mas Bayu di PHK.

"Tuh lihat, ia punya cincin, Stel," tukas ibu masih menatap jariku.

Lalu mata Stela terfokus ke jariku. Tak lama kemudian. "Ha ha ha, jadi itu masalahnya." Ia tertawa besar.

"Ih." Ibu menepuk lengannya. Seketika Stela terdiam seperti menahan tawa.

"Aduh! Sakit, Buuu. Lagian kenapa percaya dia, kita tau siapa dia. Orang tuanya cuma ngulung sampah, sedangkan adiknya sekolah sambil jadi babu di laundry. Terus apa hebatnya? Bodoh dipelihara, sih!"

Lagi, ia menghinaku dan bahkan keluargaku pun ikut terbawa.

"Stela! Ngomong dijaga, kamu itu seorang gadis," tegur mas Bayu ke adiknya.

"Trus kalau aku masih gadis kenapa? Nggak dapat jodoh gitu? Eh, Mas, lihat aku cantik dan berpendidikan. Justru adek iparmu yang susah dapat jodoh, kerja di laundry dan belum tentu tamat SMA." Dengan bangganya Stela berucap dan secara langsung membandingkan dirinya dengan Yana.

"Stela!" Mas Bayu menghardiknya.

"Sudah, Mas. Nggak usah diladenin. Toh mereka akan menghina kita juga. Aku heran sebenarnya kamu anak kandung atau anak tiri sih? Ibu dan saudaramu seperti majikan bagimu. Memerintah tanpa rasa kasihan apalagi hormat. Kita akan balik ke rumah ibuku, di sana aku yakin kamu diperlakukan baik dari pada di keluargamu sendiri."

"Kamu menghasut Bayu untuk memusuhiku!" Ibu mertua meradang.

"Ini kenyataan. Di saat mas Bayu kerja, kalian sangat baik. Tapi setelah ia tak mampu bekerja karena musibah justru kamu ibu kandungnya menghina bahkan tak segan bicara tentang mengemis di lampu merah. Tenang saja, aku akan bawa suamiku dari kehidupan kalian. Hari ini kami akan pergi!"

"Aku yakin cuma gertakkan. Itu hanya cincin emas palsu. Aku nggak yakin kamu punya uang banyak. Jangan mimpi kami menghargai dan mempercayai wanita gil* sepertimu."

Plak!

Kutampar Stela. Sebutan wanita gil* sudah sering kudengar. 

"Kamu menamparku!" Matanya melotot sambil memegang pipinya. 

"Astaga, ia benar-benar kambuh, Bu," ucap si Inur.

Plak!

Plak!

Kali ini Inur juga tak luput dari tamparanku. Bahkan dua kali.

"Berani kamu menamparku!" Ia mendorongku. Tapi aku bisa menahan tubuh agar tidak terjatuh. Dan ....

"Ugh!" Ia balik kudorong hingga terduduk di lantai. Tentu tenagaku masih kuat. Mengangkat galon atau seember cucian sudah biasa kulakukan. Biar kurus mungkin aku lebih bertenaga darinya.

"Ibu ..., aaak." Inur ingin bangkit berdiri. Tapi tidak sampai di situ, aku pun mendorong kepalanya dengan rasa kesal, sering ia bicara jika aku sakit saraf. Dan ini juga balasan karena mencubit anakku.

"Aak!"

"Itu karena kamu bilang aku wanita gil*, akan kuperlihatkan bagaimana wanita gil* akan menghajarmu," geramku sambil mendorong kepalanya berulang kali, seperti melempar bola dari tangan kanan ke tangan kiri.

"Aaak, tolong Ibu!" jeritnya tak bisa melawan. Tentu ia kalah, kerjanya hanya bisa dandan saja. Sama seperti Stela.

"Ugh! Ini karena kamu mencubit anakku!" Kujambak rambutnya. Jika ia bisa meninggalkan jejak di betis Raka, maka kutarik rambutnya hingga rontok.

"Aaaak, sakiiit! Ibuuuu!"

"Pegangin tanganya, Bu!" teriak Stela. Entah kenapa ia tak bertindak, hanya memerintah ibunya.

"Jangan, Rin! Kasihan Inur, ia masih menyusui. Jangan, Rina!" Tiba-tiba ibu menahan tanganku.

"Ugh!" Kulepas rambutnya seiring mendorong kasar kepala Inur.

"Lepaskan tanganku, Bu!" bentaku. Kutantang matanya yang selama ini tak berani kulakukan. Ibu langsung melepaskan.

"Ri-Rina, mm kasihan Inur." Ibu mertua tergagap. Sepertinya aku berhasil membuat nyalinya menciut.

"Apa Ibu tak kasihan ke Raka saat ia dicubit hingga betisnya membiru!"

"Ibu tak lihat itu, Ibu sibuk di warung, Rin."

Akan tetapi mas Bayu hanya terpana melihat. Tak ada sepatah kata pun melarang. Hanya saja aku kecewa, ia tak bisa melindungi putra kami. Ini bukan seperti seorang mas Bayu yang kukenal.

"Ibu, lihat pipiku sakit. Wanita gil* ini harus diberi pelajaran!" Stela mengangakat tangannya ingin menamparku. Seketika kutangkis tangannya, lalu kupelintir.

"Aaak, sakit! Aaa!" Ia kesakitan. 

"Kamu bilang aku wanita gil*? Sini kutunjukkan kegilaanku."

"Aduh! Sakit!"

"Apa kamu tak bisa menghargai kakakmu? Tidakkah kamu sadar jika dulu bisa tamat D3 dari hasil keringat Mas Bayu? Dan sekarang saat ia tak bisa bekerja seenak hatimu menghinanya. Kamu seperti ular, setelah dipelihara langsung membunuh. Sepertinya aku juga akan buat tanganmu cacat biar seimbang," ancamku belum melepaskan tangannya.

"Aaak! Sakit!"

"Bayu, tolong adikmu, tangan Stela bisa patah, Bayu!" Ibu mertua terdengar sangat khawatir.

"Lepaskan, Rina!"

Aku tak memperdulikan ucapan mas Bayu.

"Rina!"

"Biarkan saja, Mas. Biar ia juga cacat agar tau rasanya dihina!"

"Cukup, Rina! Aku tidak mau melihatmu dipenjara ulah mereka!"

Seketika kulepaskan tangan Stela. Menghela nafas besar, aku sedikit puas.

"Aduh, aduh ...." Stela mengernyit kesakitan sambil mengelus tanganya.

"Anakku menangis." Tiba-tiba Inur berlari ke kamarnya. Padahal tak terdengar, sudah pasti ia takut.

"Ibu, ia bikin tanganku sakit," rengek Stela.

"Jaka akan pulang dan kamu, Rina, akan dapatkan balasannya!" Lalu Ibu menarik Stela menjauhiku.

Aku menanggapi tersenyum sinis. Akan kutunggu apa yang bisa dilakukan putra pertamanya. 

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 75 Tamat

    Mas Bayu menelepon memberitahukan tentang kematian Stela. Innalillahi, tak menyangka jika umur Stela sependek ini. Bahkan yang lebih parahnya, Stela pendarahan hebat karena ingin menggugurkan kandungannya. Pemikiran yang pendek hingga gadis seperti Stela mau melakukan hal yang membuat ia kehilangan nyawa. Teringat bagaimana dengan angkuh, ia menghina dan membanggakan pendidikannya. Hanya saja pendidikan belum tentu membuat seseorang berpemikiran panjang. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa Stela, Aamiin."Kamu penyebab anakku mati! Kamu yang membunuh anakku! Kamu pembawa sial!"Baru menginjakkan kaki di sini, mataku langsung disuguhkan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Ibu mas Bayu menyalahkan Inur di depan para pelayat. Sebuah alasan yang tak berlogika, kenapa Inur disalahkan atas kematian Stela. Astagfirullah'alazim ... Astagfirullah'alazim.

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 74 Duniaku Terasa Mau Runtuh

    Pov Bu IdaRasanya duaniaku mau runtuh. Siang ini ada seseorang datangkerumah memberi kabar tentang Stela. Dan yang membuat rasanya hampir berhentibernafas, Stela pendarahan di sebuah rumah seorang wanita, yang diketahui bahwawanita itu adalah dukun beranak. Ya Tuhan, jangan renggut anakku.Tadinya aku sudah sangat senang melihat Stela tidak lagimurung. Ia berdandan cantik seperti biasa ke kampus. Bahkan saat minta izin,terlihat senyum mengambang di bibirnya. Ia putriku yang cantik danberpendidikan.Berbagai cara telah dilakukan untuk menutupi kehamilanStela. Namun setelah kedatangan Leha, ia semakin terpuruk karena para tetanggamengetahui kehamilannya. Putri yang dibanggakan dengan berpendidikan, dimanjadan bahkan semua kemauannya selalu dipenuhi semaksimal kemampuanku, akhirnyabernasib seperti ini. &

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 73 Stela

    Pov BayuMungkin saat ini Rina sudah mendapatkan apa yang ia mau.Surat cerai. Tak ingin larut dalam kesedihan akan rasa kehilangan, setiappulang kerja aku menyibukkan diri berkebun. Maksudnya berkebun dengan polybagdi halaman rumah. Dan kini, rumah terlihat hijau dengan sayuran yang mulaimenampakkan banyak daunnya. Sebuah hobi yang juga menghasilakan uang meskipuntak banyak.“Ini kopinya, Bay.”Kupalingkan muka ke teras, ibu meletakkan secangkir kopi dimeja. Tanpa diminta, ibu selalu melakukannya. Kadang sepiring pisang gorengjuga menemani memanjakan lidah. Hidangan sederhana yang mengingatkan aku padaRina. Dulu ia yang sering menghidangkan itu. Rina ..., rindu ini hanya untukmu.Setelah mencuci tangan, aku duduk di teras. Menikmatisuasana sore yang akan

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 72 Maaf

    Rasanya tak menyangka jika Inur akan seperti ini. Kulitwajah mulus, putih dan glowing sudah tak terlihat. Yang ada hanya seseorangyang mepunyai kulit bekas melepuh karena terbakar. Tapi hanya di bagian pipisebelah kanan, namun tetap saja terlihat mengerikan. Astagfirullah’alaziim.“Ka-kamu bukan Inur, tidak mungkin.” Jaka mungkin syokdengan apa yang dilihatnya. Dan mungkin semua orang di ruangan ini juga sepertiitu.“Mas, aku Inur istrimu,” lirih Inur berusaha mendekati Jaka.“Jangan mendekat! Aku takut melihatmu.”“Apa kamu tak bisa lihat jika Jaka takut melihatmu?” ketusibu mas Bayu. Dari cara bicaranya, bisa dipastikan jika ia tak menyukai Inur.“Bu, aku istri Mas Jak

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 71 Bertemu Jaka Dan Inur

    “Kita jalan-jalan ke mana, Rin?” tanya Ibu sambil memasukanmakanan ke rantang.“Ke danau aja, Bu. Di sana pemandangannya bagus.”“Nggak apa-apa rumah makan ditinggal?” tanya bapak sepertienggan pergi. Tentu saja bapak merasa senang dengan usaha rumah makan ini. Kamibisa makan enak dan menghasilkan uang. Dari penghasilan rumah makan, tak lupa disisihkanuang buat biaya kuliah Yana. Dan ini lebih baik dari dulu saat bapak menjadipemulung.“Sekali-sekali apa salahnya kita refreshing, Pak. Lagian adaDoni yang ngurusin rumah makan kita. Kita percayakan saja, toh ia orangnyajujur kok.”“Bukan itu masalahnya, hanya saja Bapak merasa nyamanmengurus usaha ini.”“Iih, Bapak.

  • Hinaan Dari Keluarga Suami   Part 70 Berita Datang

    Pov Bu Ida“Wah, banyak sekali belanjaanmu, Stel.”“Iya dong, Bu. Kapan lagi aku menikmati hidup kalau bukansekarang.” Stela duduk sambil meletakkan semua belanjaanya di meja. “Ini untukIbu.” Stela menyodorkan sebuah kantong belajaanya padaku.“Ini buat Ibu ya?” Senang sekali Stela membelikan akusesuatu. Segera aku buka kantong itu.“Iyaaa. Semoga cocok sama Ibu.”“Waaah, gamisnya bagus sekali, Stel. Trus ini sendalnya ...,astaga, harganya mahal sekali.” Baru kali ini aku punya sendal mahal. Palingamahal yang pernah aku punya hanya sekitar sembilan puluh ribu. Mendadak merasajadi orang kaya deh.“Kapan Bagas ke sini lagi? Trus kapan ia membelikan mobildan rumah?”Dari setelah menikah hanya janji yang ada. Bagas hanyasekali ke sini setelah menikah. Stelah itu tak muncul lagi. Aku tahu Stelatidak mempermasalahakan itu, yang penting uangnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status