Nala dan Mas Juragan
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Nala diminta oleh keluarganya untuk pulang ke kampung halaman dan tidak perlu bersusah payah mencari pekerjaan di ibu kota. Namun, Nala menolak dengan alasan tidak ingin menyia-nyiakan gelar di belakang namanya. Ia bersikeras ingin mencari pengalaman kerja selama satu tahun terlebih dahulu sebelum benar-benar menetap di kampung. Keluarganya akhirnya menyetujui, dengan satu syarat: Nala hanya boleh bekerja selama satu tahun, tidak lebih.
Sayangnya, baru tiga bulan bekerja di salah satu perusahaan ternama, Nala menyerah. Tekanan pekerjaan yang tinggi dan lingkungan kantor yang tidak sesuai dengan ekspektasinya membuatnya kehilangan semangat. Ia pun memutuskan untuk mengundurkan diri dan berdiam diri di kosan, tanpa keberanian untuk memberi tahu keluarganya.
Raras—ibu Nala—yang kemudian mengetahui anak bungsunya sudah tidak bekerja lagi, segera mendesaknya untuk pulang. Sebelum Nala sempat menolak, Raras lebih dulu mengancam tidak akan lagi mengirimkan uang bulanan. Terpojok dan kehabisan pilihan, Nala akhirnya menyerah. Ia berkemas dan pulang ke kampung halamannya.
Namun siapa sangka, kepulangannya justru membuka babak baru dalam hidupnya. Di desa, ia bertemu dengan Hanggara—juragan muda berusia 31 tahun yang terkenal karena kesuksesannya mengelola sawah dan peternakan keluarga. Bersama ayahnya, Hanggara berhasil memperluas lahan pertanian dan mengembangkan usaha mereka hingga dikenal di beberapa daerah sekitar.
Hanggara adalah sosok yang jauh dari gambaran pria kota yang dulu diidamkan Nala. Kulitnya kecoklatan, tangannya kasar karena terbiasa bekerja di bawah terik matahari, dan tutur katanya tegas tanpa basa-basi. Tapi di balik ketegasannya, ada sesuatu yang membuat Nala sulit memalingkan pandangan—ketulusan dan ketenangan yang jarang ia temui di kota.
Hari-hari Nala di kampung yang awalnya terasa membosankan, perlahan berubah sejak kehadiran Hanggara. Ia mulai belajar bahwa kesuksesan tidak selalu berarti bekerja di gedung tinggi dengan gaji besar. Kadang, kesuksesan justru berarti menemukan tempat di mana hati bisa merasa pulang.