공유

4. Pria Misterius yang Menakutkan

작가: SayaNi
last update 최신 업데이트: 2025-04-01 20:04:37

Elara hanya diam, terlalu terkejut karena tiba-tiba dicecar.

“Ibu, kenapa tante itu marah-marah?” tanya Arka ketakutan.

Bu Rina mencoba menenangkan, "Bu Amanda, tolong tenang dulu—"

"Tidak, Bu Rina! Wanita miskin ini berani-beraninya menyentuh Anya!" Amanda—wali Anya itu—kembali menyerang Elara dengan kasar. "Aku tahu maksudmu! Kau mau menjilat keluarga kaya biar dapat imbalan, kan?"

Alih-alih membalas, Elara memilih menenangkan mental putranya dari orang dewasa yang berteriak kepada ibunya.

Ia menatap Arka dengan lembut. "Arka, tante itu menjadi seperti itu karena sakit dan tidak mau minum obatnya. Ssst, ayo kita pergi," bisiknya pada Arka.

Arka menatapnya dengan tatapan penuh mengerti. Jika dia sakit, maka dia harus minum obat. Kalau tidak, akan menjadi orang dewasa yang gila seperti tantenya Anya.

Di sisi lain, meski hanya sekilas, Elara sempat melihat Anya tertawa karena ucapannya barusan.

Ketika Elara berbalik untuk pergi, langkahnya mendadak berhenti dan mundur beberapa langkah.

Sosok pria bertubuh tegap berdiri di hadapannya.

Tinggi pria asing itu sekitar lebih dari 180 cm. Bahunya bidang, tubuhnya proporsional dengan garis rahang yang tegas. Pakaian formal yang ia kenakan tampak mahal, menambah aura dingin dan tak tersentuh.

Namun yang paling mencolok adalah tatapannya yang tajam, ketenangan yang misterius.

Matanya yang tidak menunjukkan sedikit pun emosi saat mengamati Elara dan Arka.

Elara menelan ludah, tubuhnya merinding. Meski pria itu tampan, tapi di mata Elara terlihat menakutkan.

"Papa!"

Anya tiba-tiba berseru girang, lalu berlari ke arah pria itu. Ia mengulurkan kedua tangannya, berharap akan digendong.

Namun, pria yang dipanggilnya papa itu hanya menatapnya sebentar sebelum meraih tangannya dengan satu genggaman kuat.

"Ayo, Anya. Kita pulang." Suaranya dalam dan berat, tetapi tidak terdengar hangat.

Amanda, yang masih kesal dengan Elara, langsung menghampiri pria itu dan berkata dengan nada tidak suka.

"Kak Ryo! Wanita miskin itu membawa Anya dan memberinya makanan sembarangan. Dia pasti bermaksud jahat!"

Ryota Kenneth, pria yang dipanggil papa oleh Anya itu langsung menghentikan langkahnya, lalu perlahan menoleh.

Tatapannya kembali jatuh pada Elara dan Arka, mengamati mereka seolah sedang memikirkan sesuatu.

Jantung Elara berdegup lebih kencang. Apa pria ini berencana melaporkannya? Menuduhnya menculik dan memberi Anya makanan yang tidak layak?

Elara refleks menarik Arka lebih dekat ke tubuhnya, menyembunyikan bocah itu di belakangnya. Darahnya terasa membeku, dan keringat dingin mulai muncul di punggungnya meskipun udara tidak panas.

Ryota memperhatikan gerak-geriknya dengan sorot mata tajam. Lalu, samar-samar, ia tersenyum miring.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia kembali berbalik, lalu membawa Anya masuk ke dalam mobil mewah yang menunggunya.

Di sudut lain, Amanda masih tampak tidak senang berjalan meninggalkan Elara. Wajahnya memerah karena tidak terima melihat Ryota yang memilih diam dan tidak melakukan apa pun terhadap Elara.

"Ibu Arka nggak apa-apa?" Suara Bu Rina terdengar khawatir. Tatapannya masih tertuju ke jalan, ke arah mobil mewah yang baru saja menghilang.

Seperti Elara, ia juga merasakan hawa dingin yang tertinggal setelah kehadiran papanya Anya, sosok misterius yang selama ini tak pernah muncul di sekolah.

Elara menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri. Ia bisa melihat kegelisahan di wajah Bu Rina.

"Saya baik-baik saja. Bu Rina sendiri?" tanyanya.

Bu Rina menoleh dan tersenyum kecil, meski masih terlihat canggung. "Saya juga baik... cuma agak kaget."

"Ibu... Ibu nggak apa-apa?" rengek Arka tiba-tiba menyela, matanya penuh kecemasan setelah mendengar Bu Rina mengkhawatirkan ibunya.

Elara tersenyum, mengusap rambut putranya dengan lembut. "Ibu baik-baik aja, Sayang.”

Arka menatap ibunya ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan.

"Kami pamit dulu, Bu Rina. Assalamu'alaikum. Terima kasih." Elara menggamit tangan Arka, lalu menoleh ke putranya. "Ayo, Sayang, salam dulu ke Bu Rina."

Sementara itu, di dalam mobil hitam mewah yang melaju tenang di jalanan kota, Ryota Kenneth membiarkan Anya mencoret-coret telapak tangannya dengan spidol warna-warni.

Meski tampak tak peduli, pikirannya masih dipenuhi kekesalan.

Tadinya, dia tengah mengikuti rapat yang sangat penting. Semua berjalan sesuai rencana sampai tiba-tiba ponselnya bergetar, nama Amanda muncul di layar ponselnya.

Ia hampir mengabaikannya. Amanda bukan tipe orang yang menghubunginya tanpa alasan mendesak.

Begitu mendengar kabar dari Amanda, ia langsung meninggalkan rapat tanpa pikir panjang.

Sekarang, di dalam mobil yang tengah melaju, pikirannya masih berputar. Matanya beralih dari layar tablet ke Erol, pria tegap bak algojo yang setia menjadi asistennya selama bertahun-tahun.

"Pastikan guru itu diam," perintahnya pada Erol. Identitas Anya sebagai putrinya harus tetap tersembunyi.

"Baik,"

"Dan, cari tahu tentang perempuan yang membawa Anya," lanjutnya.

Erol, yang sama dinginnya dengan tuannya, mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut.

"Tante itu ibunya Arka," sela suara kecil terdengar dari sampingnya. Anya masih sibuk dengan coretan-coretannya.

Ryota mengangkat sebelah alisnya. Nama yang tidak asing di telinganya. Teman sekelas yang sering dijadikan bahan cerita oleh putrinya.

"Arka?"

"Iya, Pa, bocah cengeng di sekolah," jawab Anya datar. Gadis kecil yang tidak mengakui jika dirinya juga seorang bocah.

"Anya, jika Anya menghilang lagi, Papa tidak akan datang. Jadi jangan lakukan itu di sekolah yang baru."

Tangan kecil Anya langsung berhenti menggambar. Gadis itu menunduk, bibirnya mengerucut.

Dalam diam, dia perlahan berpindah posisi, menjauh dari Ryota, menunjukkan penolakannya.

Ia hanya ingin Papanya memperhatikannya. Setiap hari, ia melihat teman-temannya dijemput oleh ayah dan ibu mereka, tertawa bersama, pulang bersama.

Anya juga punya Papa, tapi pria itu selalu jauh, selalu sibuk, dan jarang bermain bersamanya.

Ryota melirik sekilas ke arah putrinya, namun tak mengatakan apa-apa.

Dia membiarkan gadis kecil itu dengan kekecewaannya sendiri. Baginya, kedisiplinan lebih penting. Ia tidak ingin Anya tumbuh menjadi anak yang manja.

***

Malam itu, saat Elara sedang menemani Arka membaca sebuah buku cerita sebelum tidur, suara mobil Daris terdengar memasuki halaman rumah.

Seperti biasa, suaminya pulang larut malam. Sudah dua tahun belakangan, Daris sering tak pulang dengan alasan pekerjaan di luar kota.

Dulu, Elara pernah menanyakan pekerjaan macam apa yang selalu membuat suaminya harus bepergian jauh begitu sering.

Tapi jawaban Daris selalu saja ketus.

“Untuk apa kau tahu? Diberitahu pun kau tidak akan paham!”

Sejak itu, Elara berhenti bertanya. Mungkin memang benar, dia tak akan paham.

Langkah tenang Daris melangkah masuk, melewati dirinya dan Arka tanpa menyapa. Namun, tiba-tiba dia berhenti.

"Ada sesuatu untukmu di mobil, aku lupa membawanya turun," katanya singkat.

Elara menoleh. "Sebentar ya, Sayang," bisiknya kepada Arka.

Elara beranjak pergi mengambil barang yang dimaksudkan oleh Daris. Mungkin sesuatu untuk rumah, seperti bahan makanan atau kebutuhan dapur.

Namun, saat membuka pintu mobil, sesuatu yang tak terduga menyambutnya.

Sebuah paper bag yang berisikan baju terusan berwarna pastel, lengkap dengan hijab yang senada, ada di kursi penumpang.

Elara terdiam. Tangannya menyentuh kain lembut itu, dan tanpa sadar, senyumnya mengembang.

Sejak kapan Daris mulai memikirkan sesuatu untuknya? Apakah mungkin suaminya sudah mulai menyimpan sedikit perhatian untuk dirinya?

Namun, sebelum perasaan senang itu benar-benar mengakar, sesuatu yang berkilauan di bawah cahaya lampu mobil menarik perhatiannya.

Wanita yang tidak pernah berias pun tahu jika itu adalah sebuah lipstik.

Tangan Elara terulur, mengambil benda kecil itu. Jarinya yang terbiasa kasar oleh pekerjaan rumah tangga menyentuh permukaannya yang halus.

Elara menatap botol lipstik itu dalam diam. Cairan merah masih tersisa di ujung aplikatornya.

Benda itu jelas bukan miliknya.

“Lipstik siapa ini?” pikir Elara bingung.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   87. Ulat bulu nemui Elara

    Setelah makan siang bersama, Ryota langsung pergi.'Sepertinya dia memang sangat sibuk,' pikir Elara sambil berdiri sejenak di depan pintu akses menuju lift, memperhatikan belakang mobil suaminya yang perlahan menghilang di tikungan ramp menuju pintu keluar. Mobil miliknya sendiri sudah terparkir tak jauh. Orang kepercayaan Ryota yang mengantarnya ke sana. Pria itu sempat menyarankannya agar diantar oleh pak sopir, khawatir ia masih terguncang setelah insiden dengan Pak Dekan. Tapi Elara menolak dengan halus.Ia bersikeras pergi sendiri. Menjemput Anya.Bukan karena keras kepala, tapi karena ia tak ingin terlihat rapuh.Elara masuk ke mobilnya, menarik napas sejenak sebelum menyalakan mesin. Mobil itu melaju tenang, menuju sekolah Anya.Elara memarkir mobilnya perlahan, mematikan mesin, lalu turun dengan tenang.Baru saja ia hendak berjalan ke arah lobi sekolah, sebuah suara pelan terdengar dari belakang.“Elara…”Suaranya tak asing. Tapi tak diharapkan.Perlahan, Elara menoleh.Wan

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   86. Vanessa Ngajak Kepo

    Sebuah pesan masuk di ponsel Ryota. Ia tersenyum tipis. "Putramu baik baik saja," katanya pada Elara yang tengah mengaduk sup ikannya. "Benarkah?" dengan mata berbinar, lekas lekas Elara menoleh ke arah Ryota. Ryota memberikan ponselnya dengan layar yang menyala. "Apakah kau sudah bisa tidur nyenyak sekarang?" Elara menerimanya dengan semangat. Layar ponsel Ryota menampilkan dokumen resmi dari Dinas Perlindungan Anak. Ia mulai membaca. Rumah tempat Arka tinggal disebutkan dalam kondisi layak. Nyaman. Bersih. Ruangan cukup. Ventilasi dan pencahayaan dinilai baik. Ada kamar untuk Arka, dengan tempat tidur sendiri, dan mainan seperlunya. Neneknya disebut sebagai pengasuh utama. Wawancara menunjukkan ia cukup perhatian—menyiapkan makanan, menemani tidur, mengantar sekolah. Tidak ditemukan keluhan serius. Tidak juga ada kekurangan yang bisa dijadikan alasan intervensi. Elara menggulir ke bawah. Bagian berikutnya membuat napasnya pelan-pelan menurun. Kondisi fisik: normal.

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   85. Waktu Berharga Ryota

    TING! Lift terbuka. Di hadapan mereka berdiri seorang gadis berambut lurus dengan setelan kasual. Elara langsung mengenalinya. Gadis yang semalam di lift... Yang membicarakan suaminya sambil tertawa kecil di telepon. “Selamat siang, Pak,” sapa Tania. Sopan. Tapi sorot matanya menyiratkan keterkejutan kecil yang tak sempat ia sembunyikan. Wajah Ryota mengeras. Datar. Ia mengangguk singkat, lalu tersenyum tipis—dingin. Tangannya terulur, menekan tombol tutup di panel lift. “Kau seharusnya tidak ada di lift ini,” tegasnya. Tania langsung mundur setengah langkah. “Baik, Pak.” Tapi sebelum pintu lift benar-benar tertutup, ia sempatkan matanya melirik ke dalam. Di belakang Ryota, berdiri seorang gadis muda. Diam. Hampir tersembunyi. Hanya setengah terlihat dari balik bahu presdirnya. Lalu... Matanya jatuh ke kantong belanja yang dibawa sang Presdir, tepat sebelum pintu lift tertutup. Warna pink. Bergambar Maruko Chan. Tania hampir tertawa kecil dalam hati. P

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   84. Kasmaran

    “Kau menjalankan tugasmu dengan baik,” suara Ryota terdengar datar, samar-samar terasa bahaya di setiap katanya. Di seberang, Leona membeku sejenak. Ia tidak menduga sosok yang berada di atas Erol akan bicara langsung padanya. Apalagi dengan nada yang terdengar seperti pujian... tapi juga bisa berubah jadi hukuman.“Suatu kehormatan mendapat pengakuan langsung dari Anda, Tuan,” ucapnya hati-hati.“Sepertinya wanitaku terlalu rendah hati di kampusnya,” ujar Ryota—sarkastik, tanpa intonasi.Ia menduga ada yang terjadi.Segala yang melekat pada Elara—seharusnya cukup untuk menunjukkan status sosialnya. Bukan orang yang mudah disentuh. Apalagi diintimidasi.Jika masih ada yang berani menyentuhnya, maka hanya ada dua kemungkinan, terlalu bodoh... atau memang sedang cari mati.Di ujung sambungan, Leona kembali terdiam.Jika ia menyebutkan rumor buruk yang beredar tentang Elara sekarang, pria di balik sambungan telepon ini mungkin akan murka—karena informasi itu tak pernah ia laporkan seja

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   83. Patah Remuk

    Pintu ruangan tiba-tiba terbuka cepat oleh Leona. Tanpa berkata sepatah kata, ia menghantam Pak Dekan yang tengah membekap Elara.“Krak!”Pak Dekan terpelanting, menghantam tepi meja, lalu jatuh ke lantai dengan suara berat. Wajahnya berdarah. Rahangnya tampak tidak simetris.Ia menggeliat, membuka mulutnya seakan ingin bicara—namun yang keluar hanya rintihan serak dan liur bercampur darah.Tubuhnya gemetar pelan, antara kesakitan dan syok.Leona tidak langsung menghampiri Elara. Ia menutup pintu, dan memeriksa ruangan dengan cepat—mata elangnya menyapu setiap sudut.Kamera kecil di rak buku. Masih menyala. Leona mendekat, mencabut memorinya dan memasukkan ke saku celananya. Baru setelah semua aman, ia berjongkok di sisi Elara.“Anda terluka?”Elara menggeleng lemah, masih limbung.Leona mengangguk. Satu tangan mengambil ponselnya, dan menghubungi Erol. “E secured. Hostile injured—level three trauma. Site clear," lapornya. Leona menatap Elara sekali lagi setelah memutuskan sambunga

  • Bukan Pilihan Suami, Tapi Jadi Idaman Presdir   82. Rumor Kampus Berbahaya

    "Baik, saya akan merayu kamu," ucap Elara pelan. Ia tidak yakin. Tangannya menyentuh dada Ryota, dan memberi dorongan kecil yang canggung. "Maaf, bisakah kamu mundur sedikit?" pintanya kemudian. Hah? Ryota mengernyit. "Oke," Suara yang keluar dari mulut Ryota. Ia pun mundur satu-dua langkah, diam, matanya tak lepas dari wajah Elara.Elara menarik napas dalam-dalam. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya kembali. Tatapannya tidak terlalu memohon. Biasa saja. "Kalau kamu tidak bisa bantu saya… saya cari bantuan di tempat lain dulu. Nanti kalau tidak ada yang bisa… saya balik lagi ke kamu," katanya, dan berjalan melewati Ryota tanpa ragu. Ryota mengernyit, dan berbalik menatap punggung Elara dengan heran. "Kau menolak untuk merayuku?" tanyanya hampir tak percaya. Sekarang dia main tarik ulur? pikir Ryota. Elara berhenti. Tubuhnya memutar seperempat lingkaran, menoleh ke arah Ryota. Ekspresinya polos, tak ada senyum, tapi ada sedikit kerut di keningnya, ciri khasnya saat se

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status