Dengan langkah tegap dan tatap mata yang tak berpaling, Kenzo menghampiri Desti. Di hadapan Rayhan, tanpa ragu, dia meraih tangan Desti dan menggenggamnya erat. Desti terkejut, tapi tak menarik diri, ia siap untuk mengikuti sandiwara Kenzo.
“Aku harap Om Rayhan tidak lagi mengganggu hubungan kami. Yang perlu Om Rayhan ketahui, pernikahan kami dilandasi oleh cinta,” ucap Kenzo tegas, matanya menatap lurus ke arah sang paman.
Rayhan mendengus sinis, menyandarkan tubuh ke sofa dengan tawa pelan yang penuh ejekan.
“Cinta? Siapa yang ingin kau bohongi, Kenzo?” tanya Rayhan dengan nada dingin.
Kenzo tak menjawab. Hanya menggenggam tangan Desti lebih kuat. Entah untuk meyakinkan hati Desti, atau sebuah bentuk intimidasi.
Desti pun merasakan suasana yang semakin tegang. Dia tiak menduga akan berdiri di tengah perdebatan sengit antara Kenzo dan pamannya.
“Dengan pernikahan ini, kalian hanya sedang membohongi diri sendiri,” lanjut Rayhan, dengan suara yang meninggi.
“Om Rayhan terlalu banyak ikut campur dalam urusan pribadi saya. Daripada Om Rayhan capek-capek mengurusi kehidupan pribadi saya, sebaiknya Om Rayhan bersiap-siap untuk membuat surat pengunduran diri dari perusahaan.”
“Apa maksudmu?” Rayhan bangkit dari duduknya, ucapan Kenzo terdengar seperti ancaman baginya.
Kedua orang tua Kenzo telah meninggal sejak dia masih kecil. Sejak saat itu, Rayhan lah yang memegang kendali perusahaan. Setelah Kenzo dewasa, Rayhan merasa tidak terima saat keponakannya itu mulai mengambil alih kembali perusahaan milik orang tuanya.
Rayhan merasa dia memiliki hak yang sama dengan Kenzo, atau mungkin seharusnya mendapat bagian yang lebih banyak, karena dia lah yang telah bekerja keras hingga perusahaan itu tetap berdiri hingga sekarang.
“Om Rayhan tidak bisa menghalangi investigasi yang sedang berlangsung di perusahaan, dan juga… pernikahan saya. Tanpa perlu saya jelaskan panjang lebar, saya yakin Om Rayhan sudah tahu bagaimana Nasib Om Rayhan akan bermuara.”
“Kau tidak bisa menyingkirkan aku begitu saja, Ken.” Rayhan tersenyum menyeringai, seolah ingin menunjukkan jika dia masih memiliki senjata andalan yang belum dia keluarkan.
Kenzo tak bergeming. “Kita lihat saja, Om. Tapi untuk saat ini, silakan keluar dari rumah saya.”
Rayhan menatap Kenzo dan Desti silih berganti. Lalu, dengan gerakan kasar, ia mengambil jasnya dan berjalan menuju pintu, meninggalkan ruang itu dengan langkah berat dan dada membara.
Kenzo dan Desti berdiri membisu menatap pintu yang baru saja dibanting oleh Rayhan. Suasana rumah yang megah itu tiba-tiba terasa sesak. Tak ada suara selain desah napas yang tertahan.
Setelah beberapa saat, Kenzo menggeser pandangannya ke arah Desti. Suaranya tenang tapi tajam, “Apa saja yang Om Rayhan katakan padamu?”
Desti sempat terdiam, menunduk, jari-jarinya saling menggenggam gelisah. “Tidak ada hal penting,” ujarnya pelan.
Kenzo mengangkat alis, menatap tajam. “Katakan!” Satu kata yang penuh penekanan dan ancaman.
Desti menggigit bibirnya, lalu menarik napas dalam. Akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, ia berkata, “Dia bilang… kau menikahiku hanya untuk menutupi aib. Bahwa kau… gay.”
Sejenak keheningan menggantung. Wajah Kenzo tak menunjukkan reaksi apa pun. Lalu ia berkata pelan namun penuh tekanan, “Dan kau percaya itu?”
Desti terdiam, otaknya berpikir keras merangkai kalimat.
“Apa kau akan menbatalkan rencana pernikahan kita?” tanya Kenzo lagi.
Desti menggeleng, pelan namun pasti. Bukan karena dia tidak percaya jika Kenzo memiliki orientasi seksual yang menyimpang, tapi lebih pada ketakutannya jika sampai dia membatalkan rencana pernikahan mereka, maka Kenzo akan meminta ganti semua biaya pengobatan Bayu.
Kenzo menghela napas, lalu bertanya lirih namun dalam, “Kau butuh bukti, Desti?”
Desti menoleh, terkejut.
Sebelum ia sempat menjawab, Kenzo melangkah lebih dekat, menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya sulit diterjemahkan.
“Sekarang… atau saat malam pertama kita nanti?”
Tubuh Desti menegang, lidahnya terasa kelu.
Tapi sebelum ia sempat memberi jawaban, suara tangis Bayu terdengar dari lantai atas. Tangis itu lirih, tapi cukup jelas untuk mengoyak ketegangan di antara mereka.
Desti seolah mendapat alasan untuk melarikan diri.
“Itu Bayu!” ucap Desti cepat dan terlihat gugup, lalu berbalik dan melangkah tergesa ke arah kamar tamu tempat Bayu beristirahat.
Namun baru saja ia membuka pintu kamar, ia sadar langkah kaki Kenzo mengikuti di belakangnya.
Desti menoleh, matanya melebar. “Kau….”
“Aku hanya ingin tahu kenapa dia menangis,” potong Kenzo cepat.
Desti berdiri canggung di dekat ranjang tempat Bayu terbaring. Tangis sang bayi perlahan mereda dalam pelukannya, tapi kehadiran Kenzo membuat suasana di kamar terasa janggal. Apalagi saat pria itu masih berdiri di ambang pintu, tidak menunjukkan niat untuk keluar.
“Pak Kenzo, bisakah kau keluar sebentar? Aku mau menyusui Bayu,” ucap Desti pelan, nyaris berbisik.
Kenzo hanya menatap tanpa menjawab, lalu dengan langkah santai justru masuk lebih dalam dan duduk di sofa yang berada di pojok kamar. Ia menyilangkan kaki, bersandar santai, dan berkata, “Aku sudah pernah melihatnya, kau tidak perlu malu.”
Desti merasa risih dan tak nyaman. Tapi bagaimana ia bisa mengusir Kenzo dari rumahnya sendiri? Ia bukan siapa-siapa. Belum. Bahkan sebentar lagi pun, jika mereka sah menikah, ia tetap merasa tak pantas.
Akhirnya, dengan ragu-ragu, Desti duduk di ranjang membelakangi Kenzo. Tangannya gemetar saat membuka kancing bajunya perlahan, lalu menyusui Bayu dengan hati gelisah.
Bayu, seolah tak peduli pada ketegangan yang menggantung di udara, menyusu dengan tenang dalam pelukan hangat ibunya. Desti menunduk, memejamkan mata sejenak, berusaha melupakan kenyataan bahwa seorang pria asing, sedang berada di ruangan yang sama, mengawasinya diam-diam.
Sementara itu Kenzo merasa kecewa, niat hati ingin mencicil menatap sebelum nantinya menikmati sepuasnya.
"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga