"Diandra apa yang kamu lakukan?!" Zayn ingin menarik diri, namun Diandra malah mengeratkan dekapannya. "Biasanya pelukan dariku bisa membuat kamu lebih rileks dan gak badmood lagi kan?" ucapnya lirih. "Makanya aku mau coba apa trik itu akan berhasil setelah kamu menikah?" Zayn terdiam. Otot-otot tubuhnya menegang saat tangan Diandra melingkari tubuhnya dari belakang. Tapi ia tidak bergerak. Tidak juga langsung melepaskannya. Diandra tersenyum samar. Ia tahu… sentuhannya masih punya efek. "Tenanglah sebentar, Zayn! Kamu terlalu keras pada diri sendiri," bisik Diandra pelan di dekat telinga pria itu. Zayn menarik napas panjang, matanya terpejam sesaat. Dalam diamnya, ia seperti menimbang banyak hal. Emosi, logika, masa lalu, dan entah apa lagi yang berseliweran di pikirannya. “Aku cuma pengen bantu,” lanjut Diandra. “Seenggaknya kamu harus tau, kalau masih ada yang ngerti kamu. Yang peduli sama kamu.” Zayn tetap diam. Tapi kali ini tubuhnya sedikit condong ke belakang. Sedikit, s
Sekitar satu jam kemudian Zayn sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit. Dia sudah rapi dengan kacamata minus dan kemeja hitam yang ditekuk sesiku.Sementara Qiana berdiri sambil memegang bekal yang baru ia rapikan di kotak makan. Ia menyodorkannya pada Zayn yang sudah berdiri di depan pintu.“Ini bekal buat makan siang. Aku bikin ayam teriyaki sama salad,” ucapnya sambil di iringi senyum manisnya yang khas.Zayn menerimanya dengan satu anggukan. “Hm.”Ia baru melangkah ke luar pintu saat tiba-tiba Rhea muncul mendekati mereka. "Serius kalian cuma gini aja pas pamitan?"Pasutri itu langsung menoleh. "Terus kita harus ngapain? Salto dulu?" sahut Zayn setengah mencibir."Ya ampun, Kak. Kissnya mana? Pelukannya mana? Kalian itu pengantin baru loh, masa gak ada romantis-romantisnya sama sekali?"“Apaan sih Rhe!" Pipi Qiana memerah. "Jangan aneh-aneh! Kak Zayn mana mau skin ship kayak gitu," lirih anak tunggal keluarga Wijaya itu sembari melirik suaminya. Padahal kalau dia yang ditanya, j
Suasana di ruang tamu berubah drastis. Teh yang masih hangat di atas meja dibiarkan tak tersentuh. Jus jeruk di tangan Rhea bahkan mulai mencair, tapi gadis itu tak bergeming—terlalu fokus mendengar dari kursi makan, menatap adegan seperti drama langsung di depannya.Di sofa, Bu Atmaja duduk di tengah. Sementara Qiana dan Zayn duduk berdampingan seperti terdakwa.Bu Atmaja bersedekap, matanya menatap Zayn dalam-dalam. “Mama cuma tanya satu hal. Sejak kapan kalian pisah kamar?”Zayn menunduk sebentar, lalu menghela napas.“Sejak awal menikah,” jawabnya datar.Qiana melirik sekilas, rahangnya mengencang. Ia ingin menjelaskan, tapi ia juga tak ingin menyela.Bu Atmaja terdiam beberapa detik. Sorot matanya tajam, tapi tidak marah. Ia lebih terlihat seperti sedang menahan kecewa.“Sejak awal nikah?" Bu Atmaja melotot syok. "Itu berarti selama sebulan ini kalian tidak—" Wanita itu memijat pelipisnya, tak berani melanjutkan kalimatnya. "Apa yang kalian pikirkan sih?"Zayn tak menjawab. Qiana
“Kak Zayn…”Zayn menoleh sedikit, hanya setengah badan. “Aku tidur duluan.”Kemudian terdengar klik kecil tanda pintu kamar sudah tertutup.Qiana masih berdiri di tempat yang sama. Tatapannya kosong. Hatinya perih. Plester di pergelangan tangannya seperti berdenyut kembali.“…iya, tidur aja sendiri. Peluk aja guling sampai hamil,” gumamnya pelan. Rafa frustasi.Perlahan ia berjalan ke sudut ruang makan, lalu duduk di lantai sambil memeluk lutut.“Gak apa-apa Qia… ini emang udah takdir kamu,” bisiknya ke diri sendiri dengan suara gemetar. “Dikelilingi cowok-cowok absurd. Yang satu obsesif psikopat, yang satu… es batu.”Dia menarik napas panjang dan mulai menghitung di jari, “Vero: toxic. Kak Zayn: dingin. Dosen pembimbing skripsi: ghosting. Cowok yang nge-chat dari DM Instagram: ternyata MLM.”Ia mendongak ke langit-langit apartemen, ekspresinya kocak tapi nelangsa. “Astaga Tuhaaan, aku sadar sekarang. Aku kayaknya bukan ditakdirin buat dicintai cowok nyata. Udah paling bener jadi Wifu
“Selamat datang, Kak Zayn!” sapanya riang. Ia bersiap menerjang Zayn dengan pelukan selamat datang. Tapi—Zayn malah menyodorkan tas kecil berisi bekas wadah makanan yang tadi Qiana bawakan. “Ini, makasih ya,” ucapnya datar, lalu bergegas menuju kamar tanpa menunggu respon.Qiana yang masih memasang pose ingin memeluk sempat dibuat loading beberapa detik. Sebelum akhirnya ia sadar dan menerima tas itu dengan agak linglung."Aku mau mandi." Tanpa melihat ke arah Qiana, Zayn bergegas melangkah masuk ke kamarnya. Dan langsung menutup pintunya tanpa sempat memberikan Qiana waktu untuk bicara.Qiana masih berdiri di ruang tengah, memandangi pintu yang tertutup rapat. Senyumnya perlahan-lahan memudar. Kotak bekal itu masih ia genggam, dan dalam diam, ia menatapnya sambil bergumam lirih:“Kamu suka makanannya gak sih…?” Suaranya nyaris seperti bisikan.Ia tahu Zayn bilang ‘terima kasih’. Tapi tak ada kalimat lain. Tak ada pujian. Tak ada komentar soal rasa masakannya. Tak ada… sapaan hangat
“Sakit, Vero! Lepasin!!” Qiana mencoba menarik tangannya dengan sekuat tenaga, tapi cengkeraman Vero justru makin erat. Matanya liar, nafasnya tak beraturan. Wajahnya penuh obsesi yang menakutkan.“Kamu milikku, Qiana! Hubungan kita gak pernah selesai! Aku gak pernah nyetujuin kita putus, dan aku GAK AKAN BIARIN kamu bahagia sama laki-laki lain!”Qiana menatap pria itu dengan sorot tak percaya. “Kamu gila!”Vero mendengus. “Gak. Aku cuma... gak bisa hidup tanpa kamu.”“Dengar ya!” suara Qiana bergetar, tapi sorot matanya tajam dan penuh amarah. “Hubungan kita udah mati sejak kamu tidur sama Maya! Sejak kamu ngerusak semua yang pernah aku percaya!”“Qiana—”“Kalau kamu pikir aku masih punya perasaan buat kamu, kamu salah besar. Aku muak! MUAK BANGET SAMA KAMU!" bentaknya, mencoba melepaskan tangannya sekali lagi.Tapi Vero justru mendekat. Terlalu dekat. Napasnya hampir menyentuh wajah Qiana. “Kalau kamu gak bisa sama aku, kamu juga gak bisa sama pria lain!"Qiana membelalak. “Vero—”“