/ Rumah Tangga / Menikahi Ayah Temanku / 002. Sentuhan Pertama

공유

002. Sentuhan Pertama

작가: Juni Rev
last update 최신 업데이트: 2024-02-02 11:15:01

Sofia menatap Wira ketakutan. “K-karena aku harus pakai baju.”

“Pakai saja.”

“T-tapi Om gak boleh lihat.”

“Om lagi!” keluh Wira menggaruk kepalanya gusar.

Sofia menunduk. Ia ingin berlari keluar kamar, dan bersembunyi di balik punggung orangtuanya seperti biasa ia lakukan setiap kali dimarahi oleh ajudan Juragan Wira saat menghalangi jalan sang juragan yang tengah keliling kampung kala tengah bermain.

“Sofia, aku ini suamimu. Jangankan cuma lihat, aku bahkan berhak atas seluruh tubuh kamu.” Wira balik badan, dan kembali naik ke atas ranjang tidur Sofia yang berkeriut lemah ketika tubuh tegap Wira merebah.

Wira menepuk ruang kosong di sisinya, dan tersenyum. “Kemarilah, Sofia, berbaring di sisiku.”

Sofia semakin merapat ke daun pintu, berharap bisa menembus ke baliknya.

“A-aku … belum siap, Om, maksudku … Bang.”

Wira berdecak tidak sabar.

“Sofia, aku akan melakukannya dengan lembut. Kemari, Sayang.”

“Nggak mau.”

“Kok nggak mau? Itu kewajiban kamu!” suara Wira kembali meninggi, persis seperti yang biasa Sofia dengar saat Wira memarahi warga kampung.

Sofia menunduk takut. Ia masih mencengkram balutan handuk dengan tangan gemetar.

“Baiklah, aku akan beri kamu waktu. Malam ini, kita pulang ke rumahku, dan kita akan melakukannya di sana.” Wira bangkit dari ranjang, dan mendekat ke arah pintu.

Sofia mengerut di tempat, terlebih saat Wira memajukan tubuh begitu dekat hingga Sofia bisa menghidu aroma maskulin yang menguar dari lehernya.

Wira mencium puncak kepala Sofia, dan berbisik lembut, “Menyingkirlah, aku tidak bisa membuka pintu kalau kamu nangkring terus di situ!”

***

“Aduh! Hati-hati, hey! Budak baong! (anak nakal!)”

Lagi-lagi umpatan yang hanya berani digumamkan warga, terdengar malam itu. Kelebatan segerombol remaja di atas sepeda downhill, saling melesat menuruni lereng curam menuju kaki bukit.

Beberapa di antaranya tidak sengaja menyenggol warga yang tengah panen hasil kebun, dan para pedagang kaki lima. Namun semua orang tahu, siapa yang tengah mereka hadapi. Tidak ada yang berani dengan lantang menegur para pembalap sepeda tersebut.

Brian Mahesa memacu pedal sepeda menuruni jalan terjal yang terus melandai. Keringatnya turun ke pelipis, dan kering seketika tersapu angin malam.

Ia melepas amarah yang sejak pagi mangkal di hati. Saat ia tiba di kaki bukit, Brian dengan lihai melompati gundukan tanah dan mengerem sepeda tepat waktu, menyisakan cipratan lumpur ke sisi jurang.

“Keren, Yan!” seru teman-temannya yang tak lama datang menyusul.

Brian membanting sepeda di tanah, dan melepas helm. Ia menyambut kepalan tangan teman-temannya yang adu tos sebagai apresiasi satu sama lain.

“Ayahmu menikah hari ini, kan, Yan? Kok kamu malah keluyuran turun gunung sama kita?” tanya Haris, teman baiknya.

“Iya, Yan,” timpal teman-temannya yang lain.

Brian cemberut. Ia menghempaskan diri di tanah dan mendengus kuat-kuat.

“Yang nikah kan dia, bukan aku!”

“Kamu kan anaknya. Kok nggak hadir?” Haris ikut duduk di sisi Brian, tidak menyadari roman kesal di wajah Brian.

“Bukan urusan kamu,” ucap Brian mengkal. Ia kembali naik ke sepedanya dan menatap Haris kesal.

“Aku nginap di rumahmu ya malam ini.”

“Hah? Menginap? Emang dibolehin sama papamu?”

Brian mengedikan bahu. “Dia nggak akan tahu aku nggak pulang.” Brian membayangkan sang ayah tengah asik bermesraan dengan istri barunya.

Haris mengangguk ringan. “Nggak masalah,” katanya sambil ikut naik ke atas sepeda.

Mereka bersepeda santai menuju jalan pulang. Langit temaram membuat kumpulan pembalap sepeda itu harus memasang senter di bagian stang sepeda agar tidak terperosok masuk jurang.

“Omong-omong, keren juga papamu bisa menikahi Sofia. Dia gadis paling cantik di kampung kita, kan.” Haris yang lagi-lagi tidak peka akan rasa marah Brian, berceloteh riang. Mereka sengaja melambatkan laju sepeda, membuat keduanya terpisah jauh dari sisa rombongan.

“Keren apanya! Sofia itu anak petani miskin!” ejek Brian keji. Ia tidak senang dengan kenyataan bahwa ayahnya menikahi gadis belia seusia dirinya.

“Tapi kamu sempat suka, kan, sama dia?” Haris cekikikan.

Dengan marah, Brian menendang sepeda Haris hingga kawannya itu terjatuh.

“Kamu sudah bosan jadi temanku, ya!” hardik Brian berang.

Haris mengusap sikutnya yang tergores. “Eh, sorry, Yan, tapi memang kamu pernah suka sama dia, kan?”

“Haris! Nggak ada yang tahu aku pernah suka sama Sofia, kecuali kamu!”

Haris terkekeh. “Iya, deh … sorry!”

“Jangan pernah ungkit hal ini sama siapapun, ya! Terutama di depan Papa!” ancam Brian sungguh-sungguh.

Haris mengangguk, tapi tak yakin Brian bisa melihatnya karena keadaan sekitar sudah sangat gelap.

“Lebih baik kita ngebut, Yan, langit sudah sangat gelap,” ucap Haris khawatir. Ia kembali naik ke atas sepeda, dan melaju cepat menyusul Brian yang sudah lebih dulu meluncur ke lereng bukit.

***

Sofia membiarkan Wira menyeret kopernya keluar kamar. Pria dewasa yang tampan itu berpamitan pada kedua orangtua Sofia.

“Saya akan bawa Sofia ke rumah, Bu,” ucap Wira seraya mencium tangan Dasimah. Sungguh pemandangan sulit dipercaya, mengingat Wira dikenal sebagai sosok angkuh dan tak tersentuh.

Dasimah tidak bisa menahan cengirannya saat sang juragan tanah membungkuk hormat di hadapannya.

“Hati-hati, ya, Den Juragan, maaf sudah merepotkan,” kata Dasimah ceria. Ia tidak tampak seperti orang yang terpaksa menyerahkan anak gadisnya demi membayar tunggakan utang.

Wira mengangguk, dan bergantian menyalami Susanto. Ayah Sofia terlihat jauh lebih murung ketimbang istrinya.

“Saya pergi dulu, Pak.” Wira mencium punggung tangan keriput Susanto yang legam terbakar matahari.

Susanto hanya mengangguk.

Giliran Sofia berpamitan. Ia memeluk Dasimah, berharap orangtuanya akan menahan kepergian Sofia.

“Bu, Fia pamit.”

“Jangan nakal, turuti perintah suamimu! Jaga diri baik-baik,” ucap Dasimah memberi petuah.

Susanto melepas Sofia dengan satu dekapan erat dan sepenggal kata maaf. Sofia menangis dalam pelukan sang ayah.

“Fia nggak mau pergi, Pak,” rengek Sofia serak.

Susanto menggosok punggung Sofia yang terguncang.

“Maafkan Bapak, Nak.”

“Sudah, sudah! Jangan menangis, nggak enak sama Den Juragan!” Dasimah menarik bahu Sofia dan mendorongnya ke sisi Wira yang menunggu tanpa kata.

Wira melingkarkan tangan di bahu Sofia dan menyeretnya pergi. Mobil gunung mewah milik Wira telah siap di halaman depan rumah. Sopir sekaligus ajudan pribadi Wira, membuka pintu belakang mobil dan mempersilakan tuannya masuk.

“Masuk,” perintah Wira sambil menepi, memberi ruang untuk Sofia memanjat naik ke dalam mobil.

Sofia menghela napas sebelum menuruti perintah suaminya. Namun sebuah panggilan menghentikan langkah Sofia.

“Fia? Fia!”

Sofia menoleh, dan mendapati kekasihnya berlari cepat ke halaman rumah.

“Rean!”

Wira yang tidak senang akan kehadiran Rean, memberi isyarat pada sang ajudan agar menindaklanjuti kehadiran tak diinginkan tersebut.

Dengan sigap, ajudan itu menghadang Rean di muka gerbang rumah, dan memperingatinya tajam.

“Jangan masuk, ini ranah pribadi.”

“Saya hanya ingin bertemu Sofia, Pak,” ucap Rean yang masih mengenakan pakaian koko selepas pengajian bada Isya.

“Juragan tidak mengizinkannya,” ucap ajudan dengan wajah kaku.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Menikahi Ayah Temanku   025. Di Balik Jeruji Hati

    Sofia menatap Brian tanpa berkedip. Degup jantungnya seperti genderang perang, keras dan tak beraturan. Tatapan pemuda itu terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menangkap ibu tirinya mengintip rahasia suci sang ayah.“Kau tahu tentang ini semua?” tanya Sofia, suaranya pelan, nyaris tidak terdengar.Brian menyandarkan bahunya ke kusen pintu. “Sudah lama.”“Dan kau diam saja?”Brian tertawa pendek, tanpa humor. “Aku belajar dari Papa. Diam lebih aman. Diam itu kekuasaan.”Sofia mengepalkan jemarinya. “Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?”“Lebih baik kamu nggak tahu,” ucap Brian. “Karena begitu tahu, kamu nggak akan bisa balik jadi Sofia yang dulu.”Sofia melangkah maju, menembus jarak di antara mereka. “Aku sudah bukan Sofia yang dulu sejak aku masuk rumah ini. Sejak aku dinikahkan dengan lelaki sepertinya.”Brian mendongak, menatap wajah Sofia yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. “Kamu berani ngomong kayak gitu ke dia?”“Kalau perlu, ya.”Brian mencibir, tapi ada ke

  • Menikahi Ayah Temanku   024. Luka yang Disembunyikan Malam

    Sofia meninggalkan ingar-bingar drama pengusiran dan melangkah lunglai ke dalam rumah. Ditatapnya tumpukan sate dan nasi yang sudah dingin.Selera makannya sudah sirna terganti mual di ulu hati. Teriakan dan tangis warga seolah telah meninjunya berulang kali hingga nuraninya babak belur.“Maaf, makan malam kita jadi terganggu.” Tiba-tiba Wira muncul dari balik punggung Sofia. Pria itu membelai bahu isterinya sejenak sebelum kembali duduk.Wajahnya masih merah, dan senyumannya tidak segera memudarkan amarah yang tadi merajai.Dari sekian besar ganjalan hatinya, yang keluar dari bibir mungil Sofia adalah sebuah senyuman hambar. Ia ikut duduk berhadapan dengan suaminya dan menuang nasi tanpa emosi sama sekali.Mereka makan dalam diam bak diorama nan indah namun menyimpan sejuta kepedihan. Denting alat makan mewah membawa butir-butir pertanyaan ke dalam benak Sofia.Apa ia sudah mulai tidak peduli dengan ketidak-adilan yang terjadi di kampung? Apa dirinya mulai terbiasa melihat penindasan

  • Menikahi Ayah Temanku   023. Kue Keju, Susu, dan Taman Bacaan

    “Aku bisa bantu bicara sama papamu soal jurusan yang kamu nggak suka itu,” Sofia mundur beberapa langkah agar bisa melihat wajah Brian dengan baik.Lelaki itu bengong sesaat sebelum kemudian berdecak dan tertawa mengejek. “Mana mungkin bisa! Aku sudah rayu papa jauh sebelum ini. Dia tetap ingin aku kuliah peternakan. Kamu tahu sendiri alasannya.”Sofia mengedikkan bahu. “Ya, siapa tahu.”Brian menepis udara sebelum kembali melanjutkan langkahnya menuju gedung administrasi fakultas.Sementara Brian sibuk mengurus keperluan semester, Sofia berjalan-jalan di sekitar gedung fakultas peternakan.Gedung itu masih mempertahankan arsitektur zaman dahulu. Lorong-lorongnya punya langit-langit tinggi dari bebatuan. Pepohonan rindang memagari sekeliling fakultas. Sofia menyukai anginnya, hawa sejuknya, suara gemerisik dedaunan yang saling beradu, suara cericit burung yang riang, dan kepingan sinar matahari yang jatuh dari antara kanopi dahan-dahan pohon.“Sofia!” Brian berseru dari lobi fakultas.

  • Menikahi Ayah Temanku   022. Jalan Bareng

    “Mamamu ingin ikut lihat-lihat kampus, Nak. Ajaklah sekalian kamu urus administrasi hari ini.”“Aduh,” Brian mengeluh keras-keras, membuat Sofia semakin mengerut di kursinya. “Ada-ada aja, deh. Ngapain, sih, ngikutin aku ke kampus? Kayak nggak ada kerjaan aja!”“Iya, lebih baik aku nggak jadi ikut, deh, Bang.” Sofia buru-buru mengamini. “Masih banyak pekerjaan rumah yang bisa aku kerjakan.”“Apa itu?” Kening Wira mengerut dalam. “Kamu tidak boleh menyentuh pekerjaan rumah lagi, Sofia, kamu ini aku nikahi untuk kujadikan isteri, bukan pembantu! Brian, ajak mamamu ke kampus hari ini. Lagipula, tahun depan kalian kuliah di kampus yang sama, bahkan satu jurusan. Kalian harus terbiasa saling membantu, karena di kemudian hari, kalian akan bekerja sama memajukan sektor peternakan kampung kita.”Brian berdecak sebal. Ia sudah tak berselera menghabiskan sarapannya yang tinggal beberapa suap saja.Dengan wajah masam, Brian menyambar tasnya lalu pergi. “Aku tunggu di mobil! Lima menit nggak ada,

  • Menikahi Ayah Temanku   021. Silih Asuh

    Sofia membiarkan kulit tangannya dingin di bawah kucuran air keran sejak setengah jam lalu. Tak banyak piring kotor yang bisa ia cuci, tapi ia tidak beranjak dari tempat pencucian.Seharian penuh gadis itu tidak beranjak dari dapur. Ia memasak, mencuci, menyapu, melakukan banyak hal hingga membuat Wira bosan melarang.“Kalau begini, si Mbak bisa makan gaji buta gara-gara semua pekerjaannya kamu kerjakan,” keluh Wira sambil meneguk habis jus jeruknya yang disediakan Sofia pagi tadi.“Tidak apa-apa, aku senang melakukan semua pekerjaan ini.” Sofia tersenyum hambar. “Aku sudah terbiasa bergerak, jadi kalau tidak ada kerjaan badanku sakit semua.”“Masa, sih.” Wira meneliti gerak gerik isterinya yang kini sibuk memotong bawang dan sayur. “Kalau cuma harus bergerak, nggak mesti mengerjakan pekerjaan rumah, kan?”Sofia mengalihkan pandang sejenak dari potongan sayurnya lalu tersenyum. “Benar. Tapi nggak ada hal lain yang bisa aku lakukan.”Kening Wira mengerut. “Sudah Abang bilang, kalau per

  • Menikahi Ayah Temanku   020. Distraksi

    “Jika lima menit ke depan Rean tidak datang, maka, kemenangan mutlak menjadi milik Brian. Anak itu harus angkat kaki dari kampung ini!” Suara menggelegar Wira memantul ke lereng-lereng bukit yang disesaki para warga kampung.Semua orang saling berbisik. Kaki bukit itu senyap tapi tidak dengan hati Sofia yang bergemuruh. Badai petir menyambar-nyambar hingga telinganya tuli. Bahkan ia tak bisa lagi mendengar ucapan suaminya sendiri.Tangan gagah Wira yang melingkari pinggangnya bertengger begitu saja tanpa mengaitkan perasaan seperti biasa. tanah yang dipijak seolah bergoyang, tidak teguh.Sofia ingin menangis tapi air matanya tertahan rasa takut. Dan saat dilihatnya sosok tinggi kurus nan familiar melangkah tegar bersama sepeda kumbangnya yang menyedihkan, air mata itu leleh juga.“Saya di sini, Juragan.” Rean tersenyum lepas. “Maklumlah, sepeda tua. Tadi rantainya copot lagi dalam perjalanan ke sini. Nah, saya tidak terlambat, kan?”Wira membalas senyuman itu dengan sebuah cengiran pi

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status