Share

PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU
PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU
Author: QIEV

BAB 1. LUKA LAMA

Author: QIEV
last update Last Updated: 2025-06-23 13:53:47

"Nona, mari ikut kami.”

Qale menghentakkan kakinya, berdiri tegak menghadapi dua pria bertato yang baru saja menghadang di depan motor ojek online yang ditumpanginya.

Dia baru saja keluar dari kosan, hendak ke tempat kerjanya.

“Suruhan Ayah? Minggir,” jawabnya dingin, menahan amarah. Entah mengapa ayahnya kumat lagi, ikut campur di hidupnya setelah sekian tahun.

Salah satu pria itu menahan stang motor. “Jangan melawan.”

“Berani sentuh aku, dan aku bakal teriak!”

Tangan kasar mereka mencengkeram lengan Qale. Ia meronta, berusaha melepaskan diri. Ojol motor yang dipesannya tadi langsung kabur melihat keributan.

“Lepas!” pekik Qale sambil menyikut perut lelaki itu.

Pria itu meringis, tapi temannya sudah menarik tubuh Qale lebih kuat lagi. Gadis itu melawan, menendang keras lutut lawannya. Dalam kekacauan itu, Qale berhasil lolos.

Ia berlari di antara kendaraan, menyelinap masuk ke dalam gang kecil. Langkah cepatnya nyaris membuat terpeleset, tapi ia terus berlari tanpa menoleh. Napasnya pun ikut memburu.

Beberapa menit kemudian, ia berhenti di depan halte dan naik kendaraan umum. Tak lama Qale tiba di sebuah toko kue kecil. Tempat kerjanya. Napasnya belum stabil saat ia masuk ke dalam ruang ganti.

Dia melihat dua orang preman tadi dari kaca dalam toko. Mereka takkan berani mengganggu di sini, pikirnya. Meski mungil, toko kue yang dia sewa dengan sahabatnya ini lumayan ramai.

Toko ~Anak Lipat spesialisasi menjual croissant berbagai isian dengan harga terjangkau. Rasa nikmat dan tidak pasaran, membuat menu andalan mereka selalu diburu pelanggan.

Beberapa jam kemudian, hari mulai gelap. Qale menutup tokonya, sang kawan sedang sakit sehingga ia sendirian hari ini.

Malam ini Qale terpaksa pulang. Penasaran dengan keinginan ayahnya. Dia kini berdiri kaku di depan meja makan rumahnya. Tak ada suara. Hanya detik jam dinding yang terdengar, berdetak pelan tapi menyayat.

Sang ayah duduk di seberangnya. Matanya tajam, mengamati Qale tanpa berkedip.

“Masih demen ngelawan. Sejak kapan dagangan bodohmu itu lebih penting dari Ayah?”

Qale menegakkan dagunya. Matanya menatap dingin. “Aku kerja karena aku ingin hidup, Yah. Aku nggak minta uang dari Ayah. Jadi jangan hina kerjaanku,” tegasnya sambil mengepal jari di sisi tubuh.

“Tukang kue! Bikin malu! ... Pekan depan ada kerabat lama mau liat kamu. Mereka nagih janji konyol yang dibuat ibumu itu," ucap Ayah Qale sinis.

“Kenapa aku?” suara Qale pecah. “Bukannya kakak yang akan menikahinya?" sanggahnya menatap nanar. Drama apalagi ini?

Hening. Sang ayah hanya memandangi Qale tanpa berkedip, membuat Qale seolah memiliki kekuatan membantah lagi.

"Aku nggak mau. Kakak saja!"

"Dia akan menikah dengan kekasihnya."

Qale menyeringai, melihat sekeliling, merasa lucu dengan kalimat ayahnya. "Lalu aku yang dikorbankan? ... Kakak itu bisa melakukan banyak hal, Yah! Percaya padaku sekali ini saja!"

Qale masih ingat, dia selalu menjadi tertuduh atas segala kekacauan. Dia sering melihat kejanggalan bahwa kakaknya seolah berpura-pura menjadi gadis cacat.

Sempat menyelidiki tapi entah mengapa dirinya selalu sial, entah karena sang kakak selalu dibela ayah atau ada setan yang membantunya.

"Dia cacat, Qale!" sentak sang ayah. "Siapa yang mau menikahi kakakmu jika bukan kekasihnya? Yang kondisinya serupa!"

Qale terdiam. Dari dulu, sejak kejadian itu, sang ayah tak pernah percaya padanya. "Ayah bahkan nggak pernah mau dengerin aku!”

Sebuah napas berat terdengar dari seberang meja.

Tapi tak ada jawaban. Hanya keheningan. Dinginnya malam seolah menelannya.

Qale berbalik. Melangkah ke kamar, menutup pintu tanpa suara. Tapi tubuhnya roboh begitu begitu pintunya terkunci. Ia terduduk di lantai. Isaknya pecah dengan tangan yang membungkam mulutnya sendiri.

["Tuhan, kalau beneran aku bawa sial dan hanya duri di hidup Ayah. Utuslah Izrail, tapi aku pengen mati di toko sambil ngopi dan makan croissant dulu."] batinnya lelah.

Tapi malam itu, seperti biasa, tak ada pelukan. Tak ada jawaban.

Qale terbangun, dia tertidur di tempat tadi. Wajahnya setengah basah. Dan dia menangis lagi. Dadanya masih terasa sesak. Seperti ada yang menghimpit.

Kepalanya mulai berdenyut. Ingatan lamanya kembali datang. Dia bangkit perlahan, meraih foto ibunya di nakas. Mengusapnya getir.

"Ibu kenapa mati konyol sih?" lirih Qale.

["Ada bangkai di sini!"]

["Nyonya ditemukan!"]

Itu saja yang bisa ia ingat. Tapi tak ada yang pernah menjelaskan. Ayahnya selalu bungkam. Selalu dingin.

Qale lalu berwudhu. Ia duduk di sisi ranjang, membuka mushaf milik ibunya dan mulai membaca perlahan.

Keesokan pagi, dia mencari sang ayah, hendak pamit pulang ke kos. Meski satu kota, semenjak lulus SMK, Qale memilih tinggal terpisah.

Berbekal keterampilan dan resep andalan ibunya, dia dipercaya oleh orang tua sahabatnya membuka toko kue. Dari sana, dia bisa kuliah meski di universitas terbuka di akhir pekan.

"Sudah 4 tahun berlalu, masih saja begini." Qale akhirnya pergi tanpa pamit. "Gimana kalau aku wisuda? Masa mau sewa ortu palsu sih? ... Padahal aku pengen viral, diantar wisuda naik sapi," kekehnya saat ojol pesanannya datang.

Keseharian Qale berkutat membuat adonan pastry di toko yang diberi nama "Anak lipat" bagai kisah hidupnya yang terlipat-lipat oleh harapan dan tekanan keluarga.

Menu di toko mereka kebanyakan nyeleneh, hasil pemikiran Qale dari adaptasi hidupnya. Membuat toko kecil itu seketika trending di kalangan teman-temannya, dari satu kampus ke kampus lain.

Malam itu, toko sudah sepi. Qale duduk di lantai belakang sebelum pulang, memeluk lututnya sambil menatap layar ponsel. Notifikasi terus berdentang.

Grup alumni, grup kampus, DM Instagram—semuanya ramai. Temannya dari jurusan Marketing mengirim pesan :

“Qale... kamu kuat, ya?”

Disusul link video pendek.

Tangannya gemetar saat menekan tautan. Video itu bukan sembarang video. Rekaman kabur dari tahun-tahun lalu. Seorang wanita ditemukan tergeletak, tubuhnya setengah tenggelam di kolam dekat rumah lama mereka. Orang-orang berteriak.

["Ada bangkai di sini!"]

["Nyonya ditemukan!"]

Suara-suara itu menghantam dadanya. Ingatan samar berkelebat—air, teriakan, kain putih, dan tangan ayahnya yang menariknya menjauh waktu itu.

Caption video:

[“Anak durhaka yang menyebabkan ibunya bunuh diri? Kini jualan croissant nyeleneh. Aib keluarga!”]

Qale membeku.

“Siapa yang nyebarin ini?” gumamnya, matanya memerah.

Ia membuka komentar. Ratusan. Ribuan. Beberapa membela, tapi lebih banyak yang menyalahkan.

“Cocok, muka pembawa sial.”

“Lagi viral, nih. Anak lipat, lipat dosa juga.”

Nafasnya memburu. Ia bangkit mengintip dari celah jendela toko yang tertutup. Memastikan tidak ada yang menguntitnya.

“Kenapa baru muncul sekarang?” desisnya.

Di tengah kekalutan, ponselnya berdering. Nomor tak dikenal. Ia angkat, berharap seseorang akan menjelaskan. Tapi yang terdengar hanya suara berat dan pelan. Seolah bicara dari balik kain basah.

"Nikmati satu per satu karmamu."

Klik.

Sambungan terputus...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
QIEV
Mamaciiiiiihhh Ayangkuuuuuuu.... Mangats ...
goodnovel comment avatar
ani nur meilan
Hadir.. Mom Qale.. kamu Pasti kuat.. senang Bisa Baca Karya Mommy lagi.. Semangaaattttt Mom
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 14.

    Qale menatap boneka itu. Tenggorokannya tercekat. Wajah boneka itu telah memudar, bajunya kusut dan lapuk, benang-benangnya terburai. Tapi bentuk tubuhnya—bulat di kepala, kaki pendek, dan tangan kaku—sama persis seperti dalam foto lama bersama ibunya.Satu matanya bolong. Cuma tersisa lubang bening.Dia mengangkat boneka itu perlahan dari dalam buffet. Jantungnya berdebar pelan—menekan, dalam dan dalam.“Aku ingat kamu…” bisiknya. Napas Qale pendek-pendek, menyelip di antara pangkal tenggorokan.Lalu, di bawah tempat boneka itu tergeletak tadi—selembar kertas, menggulung lembut di pinggirannya. Qale menyentuh permukaannya dengan jari gemetar. Sempat menahan napas saat membukanya perlahan.Lukisan itu menggambarkan kolam alami di tengah tanah lapang, pohon besar di sudut kanan, dan jejeran kandang kayu tua yang menghitam di sisi kiri, tempat sapi ayahnya dimandikan.Tatapannya melembut. “Aku ingat tempat ini,” suara Qale sangat lirih.Belum sempat mengatur napas, terdengar suara dari

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 13.

    Qale dipaksa masuk ke kamar oleh ART Wafa karena sudah jelang tengah malam.“Kalau Non masih bingung, coba ajak Den Wafa bicara pelan-pelan … tapi jangan bilang ini dari saya ya,” bisiknya, matanya bergerak gelisah ke arah kamar majikannya.Qale hanya mengangguk, meski rasa penasarannya masih tinggi.Esok pagi, aroma tanah dan dedaunan basah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar. Membuat Qale menggeliat dan membuka mata. Bibirnya mengulas senyum tipis, rasanya nyaman sekali tidur di kamar ini. Dia masih bergelung ketika wangi yang dikenalnya tercium dari balik pintu.Qale gegas bangkit, membersihkan diri lalu keluar kamar. Ruangan terasa teduh meski jendela terbuka lebar. Sepi, membuatnya terasa damai.Qale melangkah ke pintu belakang yang terbuka dan menemukan Wafa sudah duduk di teras, ditemani teh hangat dan sepiring nasi putih lengkap dengan telur ceplok, tempe mendoan dan sambal kecap.Di sudut halaman, sopir Wafa tampak memanen kelengkeng dan sawo dari pohon. Suasana pag

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 12.

    Qale diseret Hasan Sasmita sampai masuk ke kamar."Ayah! Lepasin akuuuuuu!" teriak Qale, menggedor pintu kamarnya berulang kali malam itu.Dia tidak diizinkan keluar kamar sejak malam itu. Bahkan ponselnya disita. Pintu biliknya terkunci dari luar. Hanya ART lain yang sesekali mengantarkan makanan, tapi tanpa sepatah kata.Sejak kemarin Qale hanya diam. Malam ini, dia menangis, lalu diam lagi. Kepalanya nyeri, pikirannya riuh. Di luar, tak ada tanda-tanda keberadaan Lea atau sang ayah. Dia betul-betul ditinggalkan.Sementara di toko. Karyawannya bingung sebab Qale tidak muncul nyaris dua hari. Bahan baku toko menipis dan dia tak punya kuasa untuk restock meskipun ada uang penjualan.Tak lama, Wafa mendatangi toko setelah beberapa hari terakhir melihat Qale. Dia heran, etalase kosong, hanya ada karyawan baru di sana yang tampak kebingungan."Malam, Kak," sapanya ketika Wafa masuk."Qale mana?" tanya Wafa langsung.Dia ragu-ragu. Tapi mendengar nama Qale disebut, gadis itu yakin bahwa p

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 11.

    Satu jam setelah rekaman itu, Qale masih duduk diam di ruang terapi. Tangisnya telah reda, tapi tubuhnya terasa kosong. Bibirnya kering, matanya sembap. Seolah semua suara dan rasa sudah tumpah, menyisakan sunyi di dada.Konselor menyodorkan selembar kertas kosong dan sekotak pensil warna. "Coba gambar suasana hatimu," katanya pelan.Qale menatap kertas itu lama. Tangannya bergerak pelan, menggambar garis-garis tak tentu arah. Mirip bayangan. Mirip benang kusut. Dan di sudut kanan, tanpa sadar, dia menulis sesuatu — namanya.Dia berhenti. Jantungnya berdegup pelan tapi tajam."Kenapa aku mesti lupa, Dok?" Suaranya lirih. Tatapannya kosong, seperti menembus kabut.Konselor tidak langsung menjawab. Dia hanya membuka slide tablet di pangkuannya — menampilkan dokumentasi konseling lama. Ada foto-foto, coretan, bahkan catatan tulisan tangan Qale kecil. Semua terasa asing sekaligus familiar."Apa ... ibu yang nyuruh?" Qale bertanya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. "Siapa yang minta ka

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 10.

    Mbak Mun—si ART, nyaris kabur. Tapi pergelangan tangannya dicekal Qale. Sorot matanya ketakutan, tubuh senja itu sedikit gemetar. "Mau kemana, Mbak!" Suaranya pelan tapi sinis. "Non Qale nggak nakal, kok. Nggak ngerti apa-apa. Buat saya, Non Qale nggak salah..." suaranya tercekat, takut oleh tatapan tajam Qale. "Saya cuma—" "Qale! Ngapain kamu di situ?!" Suara Hasan Sasmita meletup. Ia muncul dari balik pintu dapur setelah menutup teleponnya. Tatapannya menyapu mereka berdua dengan curiga. Mbak Mun makin terlonjak. Keringat dinginnya muncul. Hasan maju cepat, menyelip di antara mereka. "Lepasin. Dia mau bersihin kamar Lea. Kakakmu nanti sakit kalau banyak debu, dia mau nikah, Qale," sergah sang ayah, menepuk lengan putrinya beberapa kali. Dengan terpaksa, Qale melepaskan cekalannya. "Bereskan kamar Lea," perintah Hasan dingin, membuat Mbak Mun menunduk ketakutan. Dia pun gegas pergi. Qale menarik napas berat. Ikut melangkah masuk begtu saja, dia malas ribut dengan ayahnya.

  • PESONA SUAMIKU YANG TAK PERNAH MEMILIHKU    BAB 9.

    Pagi itu, Qale duduk di dapur toko sendirian, hanya ditemani suara kipas angin yang menderu pelan. Uap kopi naik dari cangkir mungil di hadapannya, tapi dibiarkan dingin begitu saja. Matanya kosong menatap sisa croissant kemarin yang belum dikreasi ulang. Semalam, Wafa sempat menatapnya lekat dan bertanya, [“Apa yang kamu lakukan kalau ingatanmu kembali utuh?”] Dan Qale tak langsung menjawab ... karena takut. Takut kalau dia menemukan kenyataan bahwa semua luka, justru karena dirinya sendiri. ["Kalau aku ... sumber semuanya? Kalau aku pernah nyakitin orang yang paling aku sayang ... lalu lupa ini sebagai hukumannya?"] Pikirannya masih berkelana. Di depan toko, langit sudah mulai cerah, tapi dadanya tetap mendung. Dia mengepalkan adonan terlalu keras—croissantnya gagal mengembang. Bentuknya keriput, seperti hatinya pagi ini.” Karyawan barunya datang sambil membawa loyang kosong. “Kak, ini batch pertama habis....” Dia berhenti melihat bentuk croissant Qale, yang baru kel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status