Malam itu, Qale bermimpi.
Dia sedang menggambar di lantai rumah lamanya. Crayon berserakan. Ibunya mendorong kursi roda kosong ke sebuah kamar di ujung lorong. Samar, terdengar suara sang ibu dari dalam, membujuk agar seseorang mau makan dan minum obat. "Ayo ... sedikit saja. Ini bubur kesukaanmu." Kemudian ibunya keluar, menghampiri Qale. "Ayo, kita pulang." Sang ibu menarik paksa putrinya. "Tapi crayonku ... (ketinggalan)." Ibunya hanya tersenyum samar. Pelan-pelan, dunia berubah menjadi kabut. Qale terbangun dengan napas berat. Tangannya masih meraba bawah bantal, seperti mencari sesuatu yang hilang. Crayon itu … crayon merah yang patah. Warnanya memudar. Ia meraihnya, tapi selalu menghilang tepat saat jarinya menyentuh. “Nanti kita cari bareng, ya,” suara ibunya terdengar seperti gema dari masa yang sudah mati. Crayon itu masih belum ia temukan. Bahkan setelah ibunya tiada. *** Hari-hari Qale kian sepi. Karena diskors, berita video viral, sehingga toko "Anak Lipat" nyaris kosong. Tak ada pelanggan. Aroma croissant tak mampu menggoda siapa pun masuk. Hanya tagihan yang datang satu per satu seperti ibu-ibu antri PKH. Uang di meja kasir cuma buat belanja stok bahan beberapa hari ke depan. Qale duduk termenung di meja pesanan, memutar ulang strategi. Haruskah dia menjual rugi? Atau membuat promo? Tapi bagaimana caranya jika media sosial toko masih dipenuhi komentar nyinyir dan sarkas? Tiba-tiba, pintu depan terbuka. Seketika wajah Qale cerah, bahagia seperti habis suntik botox. Kawannya Mya, datang, tapi dengan wajah kaku. Dan tanpa banyak basa-basi, Mya menyerahkan map. "Papa minta aku narik semua modal. Maaf, Qale," ujarnya pelan menunduk. Tak sanggup menatap Qale. “Aku … nggak tahu harus gimana. Papa bahkan mau laporin kamu ke polisi kalau aku nggak narik dananya.” Qale diam mematung. "Gitu ya? ... tapi kita kan rintis ini bareng." Mya memberanikan mendongak. "Aku tahu. Tapi Papa nggak mau terseret. Toko ini ... milikmu sekarang. Resmi." Resmi, tapi nyaris bangkrut. Qale menatap sahabatnya ini, tapi Mya bergeming membuat Qale mengeluarkan ponselnya dan mentransfer modal milik Mya. Tabungannya ludes. "Makasih, maafin aku," kata Mya datar. Setelah Mya pergi, Qale berdiri lemah ... lama di depan etalase. Dia menatap croissant sisa hari kemarin. Lalu, ide muncul. Dia olah ulang semuanya. Ditambah topping baru. Diberi nama menu "Nyeleneh" ala Qale. Dia mengeluarkan papan promo, menulis menu dengan nama tak biasa dan isian menggugah selera. Variasi asin, manis dan pedas. Menyulap pastry satu ini bukan cuma cocok untuk teman ngemil tapi sebagai makanan berat ala warga +62, yang gampang fomo. Croissayang, Crosslips, Croissantrik dan Croissandra. Dia berteriak memakai toa, menjelaskan isi jualannya. Satu per satu pembeli datang. Qale berdiri di depan tokonya, bolak-balik merangkap semua pekerjaan. Hanya tersisa dua croissant gosong di baki. Peluhnya menetes puas tepat adzan Maghrib. Separuh tagihan akhirnya tertutup. Tapi bahan baku habis total. Belum sempat ia bersyukur, teriakan dari pasar dekat ruko mengejutkannya. Kerusuhan. "Ibuuuuuuuuuu!" pekik Qale, langsung berlari dan bersembunyi di bawah meja orderan. Wajah memucat tapi bibir komat-kamit baca doa. Entah sebab apa. Orang-orang berlarian. Kaca toko pecah dilempar batu entah dari mana. Kursi dan papan promo ditendang. Beberapa preman bahkan menjarah barang di tokonya. Qale menutup telinga di bawah meja, tubuhnya gemetar. Dia ingin menangis, tapi tak ada air mata. Terlalu shock. Tak lama kemudian, suara kegaduhan itu mereda. Qale masih duduk menekuk lututnya. Takut, lemas jadi satu. Tiba-tiba seseorang terdengar masuk. Qale waspada lagi. Tapi dia tak mendengar langkah kaki melainkan kursi roda yang berderak pelan di atas pecahan kaca. "Qale," panggil pria itu. Ia duduk santai sambil melihat kekacauan di sekeliling toko. "Kamu aman bila bersamaku." Qale perlahan nongol, tapi tak menjawab. Tubuhnya masih sedikit gemetar. "Pikirkan tawaranku," lanjut si pria, menatap langsung ke mata Qale. “Kamu mungkin nggak minta tolong … tapi doamu terlalu keras.” "Maaf, aku udah masuk keranjang kuning dan baru aja di checkout seseorang," gumam Qale lirih. Satu-satunya lelucon yang bisa ia ucapkan agar tetap waras. Pria itu hanya mengulas senyum sebelum pergi melewati pintu toko anak lipat. Tapi semuanya tak berakhir di situ. Beberapa menit kemudian, Ayahnya datang malam itu. Bukannya simpati dan menolong Qale, sang ayah malah duduk santai sambil mencibir. "Karma anak pembangkang," ucapnya dingin, melihat sekeliling. Qale menghela napas, melanjutkan bebenah seolah ayahnya tak ada di situ. Hasan lantas menyerahkan brosur bridal dan salon. Dia menerima dengan malas, tak langsung membukanya. Tatapannya pun hampa. Qale lelah jiwa raga. "Besok siang, kamu menikah di hotel. Pilih baju sederhana saja. Jangan mencolok." Qale hanya terdiam. "Jangan ngarepin resepsi. Ayah tahu kamu malu menikahi pria itu," kekeh Hasan sambil bangkit dan melenggang pergi. Huft. Qale menghempas napas berat beberapa kali. Hari ini begitu berat, sepertinya tinggal di toko bukan pilihan buruk. Besok dia akan membersihkan gudang samping dapur, pindah dari kosnya. "Ngirit, Leeee." Malam bergulir cepat menyapa mentari pagi. Qale gegas ke salon, meski hati dan langkahnya gamang. Namun dia tak bisa mundur lagi . Qale datang ke hotel dengan hati terlipat. Wajahnya muram, tak ada binar semangat di matanya, meski dirinya sangat cantik mengenakan kebaya modern warna putih. Hanya riasan sederhana, hair piece perak tersemat di rambut pendek coklat tua itu, membuatnya tampil manis. Tok. Tok. Qale mengetuk pintu kamar yang dituju. "Masuk," sapa sang ayah begitu panel terbuka. Deg. Pandangan Qale bertemu dengan seseorang yang sudah duduk menunggu di depan penghulu. Pria itu... yang kemarin datang ke toko, kini bersama mereka di kamar hotel. Memakai pakaian senada dengannya. Glek. Qale menelan ludah dan duduk di sisi ranjang. Mendengarkan pria itu mengucap ijab qobul dengan restu sang ayah. Di nakas hanya ada dua cangkir teh dan sepotong kue lapis. Gaun yang ia pakai ternyata sewa setengah hari, harus dikembalikan sebelum pukul 4 sore. Tak ada percakapan di antara mereka. Qale menandatangani dokumen pernikahan, foto sebentar, setelah itu dia langsung pamit pergi. Saat mencapai lobby hotel, tatapannya tertumpu pada papan display bertuliskan engagement "Lea & Dani". Qale penasaran mengintip dari pintu hall. Dia melihat kakak dan ayahnya di sana, tersenyum bahagia dalam ruangan mewah. "Ckck, ke aku bilang malu ... taunya ayah malu punya anak kek aku," gumam Qale. Ada sekelebat perih menusuk hatinya. Dia berjalan menunduk, dan mendengar seseorang bicara dari belakang. "Kutunggu di rumah, Sya," ucapnya pelan. Sya. Panggilan kecilnya. Panggilan khas ibu untuknya. Yang nyaris lupa bagaimana nadanya. Air mata Qale jatuh. Tapi bukan karena lelah. Karena akhirnya, hidup menuntutnya untuk berdiri meski remuk. Qale menyentuh dada kirinya pelan. Rasa rindu itu mengakar, menyesakkan dada. “Kangen," bisiknya, nyaris tenggelam oleh napasnya sendiri. . .Qale menatap boneka itu. Tenggorokannya tercekat. Wajah boneka itu telah memudar, bajunya kusut dan lapuk, benang-benangnya terburai. Tapi bentuk tubuhnya—bulat di kepala, kaki pendek, dan tangan kaku—sama persis seperti dalam foto lama bersama ibunya.Satu matanya bolong. Cuma tersisa lubang bening.Dia mengangkat boneka itu perlahan dari dalam buffet. Jantungnya berdebar pelan—menekan, dalam dan dalam.“Aku ingat kamu…” bisiknya. Napas Qale pendek-pendek, menyelip di antara pangkal tenggorokan.Lalu, di bawah tempat boneka itu tergeletak tadi—selembar kertas, menggulung lembut di pinggirannya. Qale menyentuh permukaannya dengan jari gemetar. Sempat menahan napas saat membukanya perlahan.Lukisan itu menggambarkan kolam alami di tengah tanah lapang, pohon besar di sudut kanan, dan jejeran kandang kayu tua yang menghitam di sisi kiri, tempat sapi ayahnya dimandikan.Tatapannya melembut. “Aku ingat tempat ini,” suara Qale sangat lirih.Belum sempat mengatur napas, terdengar suara dari
Qale dipaksa masuk ke kamar oleh ART Wafa karena sudah jelang tengah malam.“Kalau Non masih bingung, coba ajak Den Wafa bicara pelan-pelan … tapi jangan bilang ini dari saya ya,” bisiknya, matanya bergerak gelisah ke arah kamar majikannya.Qale hanya mengangguk, meski rasa penasarannya masih tinggi.Esok pagi, aroma tanah dan dedaunan basah menyelinap masuk melalui celah jendela kamar. Membuat Qale menggeliat dan membuka mata. Bibirnya mengulas senyum tipis, rasanya nyaman sekali tidur di kamar ini. Dia masih bergelung ketika wangi yang dikenalnya tercium dari balik pintu.Qale gegas bangkit, membersihkan diri lalu keluar kamar. Ruangan terasa teduh meski jendela terbuka lebar. Sepi, membuatnya terasa damai.Qale melangkah ke pintu belakang yang terbuka dan menemukan Wafa sudah duduk di teras, ditemani teh hangat dan sepiring nasi putih lengkap dengan telur ceplok, tempe mendoan dan sambal kecap.Di sudut halaman, sopir Wafa tampak memanen kelengkeng dan sawo dari pohon. Suasana pag
Qale diseret Hasan Sasmita sampai masuk ke kamar."Ayah! Lepasin akuuuuuu!" teriak Qale, menggedor pintu kamarnya berulang kali malam itu.Dia tidak diizinkan keluar kamar sejak malam itu. Bahkan ponselnya disita. Pintu biliknya terkunci dari luar. Hanya ART lain yang sesekali mengantarkan makanan, tapi tanpa sepatah kata.Sejak kemarin Qale hanya diam. Malam ini, dia menangis, lalu diam lagi. Kepalanya nyeri, pikirannya riuh. Di luar, tak ada tanda-tanda keberadaan Lea atau sang ayah. Dia betul-betul ditinggalkan.Sementara di toko. Karyawannya bingung sebab Qale tidak muncul nyaris dua hari. Bahan baku toko menipis dan dia tak punya kuasa untuk restock meskipun ada uang penjualan.Tak lama, Wafa mendatangi toko setelah beberapa hari terakhir melihat Qale. Dia heran, etalase kosong, hanya ada karyawan baru di sana yang tampak kebingungan."Malam, Kak," sapanya ketika Wafa masuk."Qale mana?" tanya Wafa langsung.Dia ragu-ragu. Tapi mendengar nama Qale disebut, gadis itu yakin bahwa p
Satu jam setelah rekaman itu, Qale masih duduk diam di ruang terapi. Tangisnya telah reda, tapi tubuhnya terasa kosong. Bibirnya kering, matanya sembap. Seolah semua suara dan rasa sudah tumpah, menyisakan sunyi di dada.Konselor menyodorkan selembar kertas kosong dan sekotak pensil warna. "Coba gambar suasana hatimu," katanya pelan.Qale menatap kertas itu lama. Tangannya bergerak pelan, menggambar garis-garis tak tentu arah. Mirip bayangan. Mirip benang kusut. Dan di sudut kanan, tanpa sadar, dia menulis sesuatu — namanya.Dia berhenti. Jantungnya berdegup pelan tapi tajam."Kenapa aku mesti lupa, Dok?" Suaranya lirih. Tatapannya kosong, seperti menembus kabut.Konselor tidak langsung menjawab. Dia hanya membuka slide tablet di pangkuannya — menampilkan dokumentasi konseling lama. Ada foto-foto, coretan, bahkan catatan tulisan tangan Qale kecil. Semua terasa asing sekaligus familiar."Apa ... ibu yang nyuruh?" Qale bertanya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. "Siapa yang minta ka
Mbak Mun—si ART, nyaris kabur. Tapi pergelangan tangannya dicekal Qale. Sorot matanya ketakutan, tubuh senja itu sedikit gemetar. "Mau kemana, Mbak!" Suaranya pelan tapi sinis. "Non Qale nggak nakal, kok. Nggak ngerti apa-apa. Buat saya, Non Qale nggak salah..." suaranya tercekat, takut oleh tatapan tajam Qale. "Saya cuma—" "Qale! Ngapain kamu di situ?!" Suara Hasan Sasmita meletup. Ia muncul dari balik pintu dapur setelah menutup teleponnya. Tatapannya menyapu mereka berdua dengan curiga. Mbak Mun makin terlonjak. Keringat dinginnya muncul. Hasan maju cepat, menyelip di antara mereka. "Lepasin. Dia mau bersihin kamar Lea. Kakakmu nanti sakit kalau banyak debu, dia mau nikah, Qale," sergah sang ayah, menepuk lengan putrinya beberapa kali. Dengan terpaksa, Qale melepaskan cekalannya. "Bereskan kamar Lea," perintah Hasan dingin, membuat Mbak Mun menunduk ketakutan. Dia pun gegas pergi. Qale menarik napas berat. Ikut melangkah masuk begtu saja, dia malas ribut dengan ayahnya.
Pagi itu, Qale duduk di dapur toko sendirian, hanya ditemani suara kipas angin yang menderu pelan. Uap kopi naik dari cangkir mungil di hadapannya, tapi dibiarkan dingin begitu saja. Matanya kosong menatap sisa croissant kemarin yang belum dikreasi ulang. Semalam, Wafa sempat menatapnya lekat dan bertanya, [“Apa yang kamu lakukan kalau ingatanmu kembali utuh?”] Dan Qale tak langsung menjawab ... karena takut. Takut kalau dia menemukan kenyataan bahwa semua luka, justru karena dirinya sendiri. ["Kalau aku ... sumber semuanya? Kalau aku pernah nyakitin orang yang paling aku sayang ... lalu lupa ini sebagai hukumannya?"] Pikirannya masih berkelana. Di depan toko, langit sudah mulai cerah, tapi dadanya tetap mendung. Dia mengepalkan adonan terlalu keras—croissantnya gagal mengembang. Bentuknya keriput, seperti hatinya pagi ini.” Karyawan barunya datang sambil membawa loyang kosong. “Kak, ini batch pertama habis....” Dia berhenti melihat bentuk croissant Qale, yang baru kel