แชร์

PENGUNDURAN DIRI

ผู้เขียน: Kak Upe
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-02-16 22:47:22

Pagi itu, Bumi sedang duduk di ruang makan ketika Gilea keluar dari kamar. Pria itu tampak santai dengan secangkir kopi di tangannya, sementara ponsel tergeletak di meja.

“Hanya ada Bumi.” Batin Gilea, karena di saat itu dia tidak melihat Joanna di mana pun. “Apa Joana sudah pergi? Atau jangan-jangan dia tidak tinggal di sini?” Tanya Gilea membatin, hanya bisa menebak kemungkinan yang ada.

Gilea menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum mendekat ke arah Bumi.

Gilea tahu dan pastinya masih ingat bahwa Bumi telah menyebutkan dengan jelas tentang kedudukannya di rumah tersebut. Sungguh, Gilea pun tidak tertarik menjadi nyonya di rumah pria sombong-kasar-arogan-bermulut sampah seperti Bumi.

Satu-satunya alasan Gilea berjalan mendekat ke arah Bumi adalah karena Gilea ingin meminta izin meninggalkan rumah itu sebentar karena dia harus membatalkan kontrak kerjanya yang baru saja dia terima.

Ya! Gilea baru saja diterima kerja di sebuah perusahan besar. Hanya saja Gilea kan tidak tahu jika sesaat setelah dia menandatangi kontrak kerja di perusahan tersebut, dia akan menikah dengan Bumi dan harus menjadi pelayan di rumah Bumi.

Jadi sesuai dengan prinsipnya, datang baik-baik maka keluar pun harus baik-baik. Maka Gilea berniat untuk mengundurkan diri baik-baik dari perusahan itu. Itulah mengapa Gilea ingin izin pada Bumi untuk keluar sebentar.

Sesampainya di dekat Bumi, Gilea terdiam sejenak. Ia menelan ludah, berusaha membuat terongkongannya basah terlebih dahulu sebelum bicara pada Bumi.

Jujur saja, saat ini Gilea merasa kerongkongannya sangat kering. Namun belum sempat Gilea mengkondisikan dirinya untuk bicara, Bumi dengan lirikan mata datarnya melihat ke arah Gilea, seolah tahu kalau Gilea akan mengganggu sarapan paginya yang tenang.

“Kau itu pelayan, tapi bisa-bisanya kau baru menampakkan mukamu jam segini,” tanya Bumi tajam dan dingin pada Gilea, “apa kau tidak ingat posisimu di rumah ini, huh?”

Gilea menggenggam tangannya erat, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Setelah semua berhasil stabil di dalam sana, Gilea kemudian menjawab pertanyaan Bumi-gugup. “T-tentu saja aku ingat, tuan. Hanya saja, sebenarnya, hmm a-aku ingin meminta izin untuk pergi keluar sebentar,” ujar Gilea dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

Bumi mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. Mungkin dia tidak menyangka Gilea akan berani untuk minta izin keluar padanya.

“Keluar? Apa kau berniat kabur dariku?” Tanya Bumi tanpa memberikan jawaban atas pertanyaan Gilea.

“Tentu saja tidak. Aku sama sekali tidak ada berniat untuk kabur. Lagi pula tidak ada tempat yang bisa aku tuju meskipun aku kabur dari sini.” Jawab Gilea, yang terenyuh dengan jawabannya sendiri. Karena semua itu memang benar adanya.

Memangnya mau kabur kemana dia? Kabur ke rumahnya? Keluarganya saja sudah tidak peduli dengan nasibnya sebelum pernikahan!

“Kemarin lusa aku baru saja menandatangi kontrak kerja. Dan aku ingin ke perusahaan itu untuk mengundurkan diri baik-baik. Aku tidak bisa membuat mereka menungguku sedangkan aku tidak akan pernah kembali ke sana lagi. Paling tidak berikan aku kesempatan untuk mengundurkan diri dengan benar.” jelas Gilea akhirnya. Suaranya bergetar, tetapi ia tetap mencoba terlihat tenang.

“Itulah mengapa aku memberanikan diri untuk meminta izin keluar hari ini.” terang Gilea, berusaha tetap tenang di depan Bumi.

Bumi tertawa kecil, nadanya penuh penghinaan. “Mengundurkan diri dengan baik? Kau sungguh ingin aku percaya akan hal itu?” tanyanya penuh ejekan.

Gilea menggigit bibir, berusaha mempertahankan ketenangan yang ia miliki. “Kau boleh saja tidak percaya padaku. Tapi yang pasti aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur padamu. Aku berjanji akan segera kembali setelah urusanku selesai,” kata Gilea, meskipun suaranya semakin terdengar lemah.

Bumi menatap Gilea selama beberapa detik lalu menghela napas seolah-olah ia bosan. “Terserah. Lakukan apa pun yang kau mau. "Jangan berani kabur, atau investasiku di Wijaya kucabut—kau cuma barang ganti kakakmu yang dijual, jadi patuhlah seperti hamba!"Peringat Bumi penuh penghinaan.

Gilea menundukkan kepala sambil mengangguk pelan. Setelah itu, ia berbalik dan meninggalkan ruang makan.

Dalam pikiran Gilea, setidaknya Bumi memberikannya izin untuk keluar. Itu saja sudah cukup untuk memberinya sedikit rasa senang.

***

Pagi itu, langit begitu cerah dengan awan putih yang mengapung lambat. Udara pagi yang segar menyentuh kulit Gilea ketika ia melangkah keluar dari rumah, memberikan sedikit energi untuk tubuhnya yang lelah.

Langkah Gilea cepat, namun setiap langkah terasa berat. Seperti ada beban tak kasat mata yang menekan pundaknya, mengingatkan bahwa ini mungkin adalah kali terakhir dia bisa keluar dari rumah itu.

Sungguh! Andaikan dia bisa kabur, pasti dia akan kabur! Tapi mau kabur pun percuma, keluarganya tidak menerimanya bahkan akan marah besar padanya, terlebih lagi ia merasa inilah cara untuk balas budi pada keluarga yang telah membesarkannya.

Dengan susah payah Gilea menepis semua pikiran dan ide-ide gila di dalam kepalanya. Lalu menggantinya dengan hal-hal lain yang lebih realitis dan masuk akal untuk dilakukan. Misalnya bekerja sebagai pelayan dengan benar di rumah Bumi sehingga meminimalisir pertengkaran yang tidak perlu antara dirinya dan bumi ataupun Joanna. Gilea rasa hidup seperti itu pasti lebih tenang.

Sesampainya di perusahaan yang Gilea tuju, perasaan Gilea tiba-tiba berubah mendung. Seketika saja berat rasanya melepaskan pekerjaan ini. Padahal, dia sudah bersusah payah untuk bisa mendapatkan pekerjaan ini tapi harus Gilea lepaskan demi menjadi pelayan di rumah Bumi. Sungguh sebuah ketidak adilan yang diturunkan dari Syurga!

Gilea mengepalkan tangannya untuk memantapkan dirinya sebelum melangkah masuk Tapi baru saja Gilea akan mendaratkan kakinya, seorang pria menabraknya hingga jatuh ke lantai.

“Maafkan aku, nona. Apa kau baik-baik saja?” tanya pria tersebut yang seketika itu juga langsung mengulurkan tangannya pada Gilea yang terduduk kesakitan di lantai.

“Aku Damian. Mari aku bantu.” Lanjut Damian, menanti Gilea meraih uluran tangannya.

Tapi entah karena kesakitan atau apa, Gilea hanya merintih kesakitan.

“Aku baik-baik saja.” Jawab Gilea tanpa meraih uluran tangan Damian. Ia bangkit perlahan sambil  memegang pergelangan tangannya yang sepertinya sedikit terkilir akibat pendaratan tanpa aba-aba tersebut. Ia kemudian melangkah pergi tanpa memedulikan Damian yang masih berdiri diam.

Gilea bukannya bermaksud tidak sopan, tapi saat ini dia sedang terburu-buru. Tidak ada waktu untuk berlama-lama dengan orang asing yang tidak dia kenal. Bisa-bisa Bumi murka kalau dia berlama-lama di luar rumah.

“Apa dia barus aja mengabaikanku?” tanya Damian sambil melihat telapak tangannya yang hanya digenggam erat oleh angin yang berlalu lalang.

Damian kemudian mengalihkan pandangannya pada Gilea yang kini sudah berada di depan lift.

“Siapa dia? Rasanya aku belum pernah melihatnya di sini?” Gumam Damian masih menatap Gilea hingga pintu lift tertutup.

Saat pikirannya terbawa oleh lift yang membawa Gilea ke lantai atas, sebuah tepukan di bahunya menarik paksa pikirannya keluar dari lift.

“Aku kira kau tidak masuk hari ini.” tegur seorang pria dengan nada datar.

Damian segera membalikkan badan dan tersenyum cerah, “Hey, Bee!! Sorry kemarin aku tidak datang. Pesawatku landingnya dini hari.” Balas Damian menyapa hangat pria di belakangnya yang ternyata adalah Bumi.

Bumi memutar bola matanya malas. “Sepertinya jetleg membuatmu lupa kalau aku tidak pernah menganggap pernikahan itu ada. Jadi apa kita bisa merubah topik kita pagi ini ke wanita-wanita Jerman yang kau temui selama perjalanan dinas mu?” Ujar Bumi sambil berjalan mendahului Damian.

Damian terkekeh kemudian buru-buru mengikuti Bumi. “Kalau bos sudah memerintahkan, memangnya bawahan yang hina ini bisa mengatakan apa? Aku siap mengganti topik apa pun yang kau inginkan.” Jawab Damian sambil tertawa ringan, berjalan bersama Bumi menuju lift khusus presdir dan wakil presdir perusahaan Skyline Corporation.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   (21+) SEBUT NAMAKU, SAYANG

    Udara di dalam ruangan tiba-tara terasa lebih berat, seolah terisap oleh intensitas tatapan Bumi yang tak berkedip. Gilea berdiri di tengah ruangan, jari-jarinya gemetar di sisi tubuhnya. Perintah itu menggantung di antara mereka—mendominasi, tegas, tak terbantahkan.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdegup kencang. Ini harga yang harus dibayar, bisiknya dalam hati.Dengan gerakan lambat, jemarinya meraih kancing blazer-nya satu per satu. Suara gesekan kain terdengar nyaris memekakkan telinga di keheningan yang mencekam. Blazer itu jatuh ke lantai dengan suara lembut, diikuti oleh hem yang ia kendurkan dari pinggangnya.Bumi tak bergerak. Dia hanya duduk di sana, menyandarkan tubuh ke sofa dengan sikap seorang raja yang sedang menikmati persembahan. Matanya—gelap, dalam, penuh nafsu yang tertahan—mengikuti setiap gerakan Gilea dengan ketelitian yang membuat kulitnya merinding."Sekalian," bisiknya, suaranya serak. "Jangan buang waktuku."Gilea men

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   TANGGALKAN SELURUH PAKAIANMU

    Gilea selesai mengenakan pakaiannya di dalam kamar mandi. Sudah menjadi kebiasaan baru sejak malam kelam itu—malam ketika paksa menggantikan sentuhan. Ia tidak pernah lagi berpakaian di kamar, terutama jika Bumi ada di dalamnya.Trauma tidak datang sebagai teriakan. Ia datang sebagai kebiasaan yang diubah tanpa sadar.Seperti kata orang, kita tidak pernah tahu kapan jam makan siang para buaya. Sungai bisa terlihat tenang di permukaan—tapi Gilea belajar untuk tidak turun ke dalamnya. Tidak lagi.Keluar dari kamar mandi, mata Gilea langsung menyapu seluruh sudut kamar. Dan Kosong.Tidak ada Bumi. Padahal tadi, saat ia masuk, jelas- jelas pria itu masih terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.Kenapa dia bisa tiba-tiba menghilang? Bagaimana ini?! Mata Gilea terpaku pada jam dinding. Jarum panjang seolah bergerak lebih cepat dari biasanya. Waktu semakin menyempit, dan siang ini adalah batas akhir penyerahan dana itu.Dengan langkah gusar, Gilea membuka pintu kamar. Mungkin Bumi tur

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   TERTUNDA

    Malam sudah larut. Udara mulai dingin, dan langit gelap pekat tanpa bintang. Mobil keluarga Wijaya berhenti perlahan di halaman rumah Bumi, lampunya menyala redup sebelum akhirnya dimatikan. Gilea membuka pintu mobil dengan gerakan pelan. Di tengah kekusutan hatinya, ia masih sempat menoleh ke arah kursi pengemudi dan berkata, “Terima kasih, Pak Larno. Lea masuk dulu. Hati-hati, ya... ini sudah malam. Jangan ngebut.” Kalimat itu terucap lembut, tapi jelas. Perhatian kecil yang tercipta bahkan saat pikirannya sedang penuh. Ya, begitulah Gilea. Sesulit apa pun hidup yang ia jalani, ia tetap menyisakan ruang untuk peduli. Bahkan dalam situasi tak menentu seperti sekarang, empatinya tak pernah hilang. Pak Larno menatapnya melalui kaca spion, ragu. “Baik, Non Lea. Tapi… apa tidak Bapak tunggu Non masuk dulu, baru Bapak pergi?” ucapnya sambil memutar tubuh sedikit, khawatir meninggalkan Gilea sendirian. Gilea menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Saya tahu kode akses ma

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   BEBAN YANG TIBA-TIBA

    "Kau yakin tak mau kuantar pulang, my little Lili?" tanya Daniel sekali lagi, suaranya lembut tapi masih memuat desakan manis yang tak sepenuhnya bisa diabaikan.Gilea hanya mengangguk pelan dan tersenyum sopan, enggan memperpanjang momen itu."Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu lagi. Nomor ponselmu sudah aku simpan." Daniel memperlihatkan layarnya, seolah sedang memamerkan tiket keberuntungan yang baru saja dimenangkan.Lalu ia menoleh ke arah Bumi. Senyumnya masih lebar. "Baiklah, Tuan Bumi. Aku menunggu keputusanmu. Aku sangat yakin kerja sama ini akan menarik perhatian. Ini bukan proyek biasa. Bahkan Tuan Zee dari Hardata Cooperation bisa saja tertarik berinvestasi. Aku percaya ini akan besar."Dengan penuh percaya diri, Daniel mengulurkan tangan ke arah Bumi."Wakilku, Damian, akan menghubungimu nanti," jawab Bumi datar. Tangannya menyambut jabatan itu, tapi matanya tetap dingin.Dia memang tak pandai menyembunyikan perasaannya—dan pada Daniel, rasa tidak suka itu muncu

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   SEMAKIN DEKAT

    Bumi menyandarkan kepala ke jok kulit yang lembut, napasnya baru saja kembali teratur setelah percakapan dengan Max. Kabar itu—kabar yang bahkan bisa membuat darahnya yang mendidih tadi mendingin seketika—telah mengusir awan gelap di kepalanya.“Sebentar lagi...” bibirnya berbisik hampir tak terdengar, sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme kemenangan.Dia melirik ke kaca spion. Di sana, Gilea duduk bagai patung yang diukir dari es, wajahnya tak berubah meski mobil mewah itu meluncur di jalanan yang panas.Rolls-Royce Phantom hitam mereka—si pembisik jalanan yang selalu membuat kepala orang menoleh—kini berhenti dengan anggun di depan lobi Grand Hyatt.“Kita sampai,” ucap Bumi, sengaja menggunakan kata kita kali ini. Matanya menatap Gilea lewat kaca spion, menunggu—apakah wanita itu akan tetap diam.“Baik, Tuan Bee.”Suara Gilea datar seperti air mengalir, tanpa getaran emosi sedikit pun. Dia melangkah keluar dengan gerakan sempurna—tidak terlalu cepat hingga terkes

  • Pemuas Hasrat Sang Presdir   TERBAKAR API CEMBURU

    “Mau sampai kapan kau di sini, Maria?” suara Anita terdengar datar, namun tak bisa menyembunyikan nada kesal yang menebal. “Kenapa kau tidak pulang ke keluargamu saja? Atau… kembali ke Bee? Aku rasa dia akan menerimamu. Dia masih mencintaimu, bukan?""Lagi pula, tidak ada salahnya mengatakan kau menyesal atas tindakan cerobohmu." tambahnya sambil membersihkan tangan di celemeknya.Maria tidak segera menjawab. Asap cerutunya membentuk lingkaran sempurna di udara sebelum akhirnya dihancurkan oleh hembusan nafas Anita yang kesal."Aku akan menunggu Daniel sampai langit ini runtuh," akhirnya Maria bersuara, jari-jarinya yang berpernis merah mengetuk-ngetuk lengan kursi seperti detak jam waktu. "Dia tidak bisa meninggalkan ku begitu saja setelah semua aku korbankan demi bisa bersamanya. Tidak! Aku tidak akan menyerah begitu saja!" Tolak Maria, sambil menyilangkan kaki dan menghisap kembali cerutu kesukaannya.Anita menyeringai. Rumahnya sendiri kini berbau tembakau murah dan parfum Maria y

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status