Seorang gadis bernama Nada dipaksa untuk menyusui pria lumpuh bernama Daffa. Dengan begitu, maka hidup Nada dan neneknya bisa jadi lebih baik. Nada terus menyusui Daffa hingga pria itu sembuh. Namun saat Nada hendak pergi, Daffa tak ingin melepasnya karena ternyata Daffa sudah kecanduan. Bagaimana kelanjutan kisahnya?
View More“Astaga, Nada. Kamu rembes lagi!? Lihat, bajumu basah!” Nek Siti membelalak dengan suara tercekat. Wanita tua itu menatap pada bagian depan tubuh cucunya yang baru saja akan berangkat dengan raut wajah terkejut. “Memangnya kamu tidak sadar air susumu keluar lagi?”
Deg.
Nada merasakan debaran hatinya meningkat. Wajahnya tertunduk, matanya tertuju pada baju kuliah yang telah basah oleh rembesan air susu. Sebuah kondisi hormonal yang tidak biasa yang telah menimpa dirinya di usia muda, meskipun ia belum pernah menikah atau memiliki anak.
“Astaga! Iya, Nek. Aduh, bagaimana ini?" Kepanikannya makin menjadi, sambil memandang jam dinding yang menunjukkan waktu sudah sangat siang,, ia bisa terlambat.
Dengan tenang, Nek Siti mendekat dan merangkul bahunya.
“Sabar, Nak. Coba sekarang kamu ganti bajunya, pakai kain tebal di dada. Semoga itu bisa menahannya," saran sang nenek dengan lembut.
Nada menggeleng cepat, kebingungan masih terlukis jelas di wajahnya, berat menerima kenyataan yang dihadapinya. Gadis itu menghela nafas berat, matanya nanar menatap bajunya yang sudah basah karena rembesan air susu.
“Ini baju formal terakhir yang aku punya, Nek," suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Rasa cemas bercampur kepasrahan tergambar jelas di wajah tanpa riasan itu. Sementara di sudut rumah yang sederhana tersebut, Nek Siti menggumam keras, mencoba mengumpulkan solusi.
"Coba kamu kenakan kemeja lama-mu, Nak. Itu lebih baik daripada kamu tidak berangkat sama sekali. Kamu tidak ingin kehilangan beasiswa hanya karena sering absen kan?"
Meskipun tawaran itu keluar dari mulutnya, dalam hati, Nek Siti sendiri terasa hampa, sama kesulitan menemukan jalan keluar bagi cucu tercintanya yang hanya bermodalkan keuletan dan tekad kuat demi masa depan yang lebih baik.
"Nenek benar. Lebih baik aku pakai baju lama saja, daripada aku nggak masuk."
"Cepatlah, Nak!"
Nada mengangguk. Setelah mendapat saran dari Nek Siti, Nada cepat-cepat masuk ke kamar untuk berganti baju. Beberapa saat, gadis berwajah cantik dan imut itu sudah keluar dari kamarnya.
Baju di tubuhnya tersebut terlihat sangat pas, dan bahkan terkesan kekecilan sehingga memperlihatkan tonjolan yang sangat besar di bagian depan tubuh Nada. Pinggangnya ramping, pinggulnya juga besar, membuat bentuk tubuh Nada sangat sempurna bak gitar spanyol paling mahal. Tampak menarik, apalagi dengan kulit putih mulusnya yang tidak ditutupi kain.
"Kamu sudah siap, Nada?" tanya Nek Siti dengan lembut.
"Sudah, Nek. Mana sumpalannya?" jawab Nada dengan antusias.
Kain yang dia gunakan untuk menahan air susu agar tidak rembes mengotori baju cukup tebal. Akibatnya, benda itu membuat bagian depannya tampak lebih besar. Kancing baju di bagian depan Nada bahkan tak muat untuk dikancingkan. Tubuhnya kini tampak menggoda, sekaligus menantang.
Meski begitu, Nada tetap bersemangat menyongsong hari.
***
"Astaga! Kenapa rasanya nggak nyaman banget? Apa rembes lagi?" Nada bergumam sembari berjalan cepat melalui koridor gedung dengan perasaan cemas, karena ia merasa bahwa bajunya mulai basah lagi.
Nada berjalan cepat, melalui beberapa cowok yang kini sedang mematung menatapnya. Tatapan mereka sangat liar dan tak bisa berkedip saat melihat keindahan tubuh Nada dalam balutan bajunya yang kekecilan.
"Wow, Nada," ujar salah seorang cowok yang tiba-tiba langsung menghadang langkahnya.
Nada tersentak kaget. Namun, ia berpura-pura tidak ketakutan dan justru tersenyum menatap pada cowok itu.
"Hey, Kak Aldo. Apa aku bisa lewat? Maaf, tapi kamu menghalangi jalanku," tegur Nada dengan sopan.
Tatapan Nada terlihat risih saat berhadapan dengan Aldo, karena ia tahu bahwa Aldo adalah cowok yang terkenal paling nakal di lingkungannya.
"Oh mau lewat ya?" Aldo menyeringai dengan senyum liciknya.
"Iya."
"Boleh saja, asalkan ...." Aldo mengusap bibir bawahnya dengan ibu jarinya.
Matanya tak hentinya memandang bagian depan tubuh Nada yang membusung sangat besar dan kencang.
"Asalkan apa?" Firasat Nada mulai tak enak.
"Asalkan aku boleh menyentuh milikmu yang sangat menggoda itu," tunjuk Aldo yang bersiap mengarahkan telapak tangannya ke arah Nada.
Nada terkejut dengan perlakuan Aldo. Refleks ia langsung mengangkat tangannya tepat di wajah cowok tampan itu.
Plakk!
"Jangan kurang ajar, Kak!" sentak Nada marah.
"Ah, sia lan kamu, Nada!"
Nada gemetar ketakutan dan segera berlari meninggalkan Aldo beserta kawan-kawannya.
"Bos Aldo, lo baik-baik saja?" tanya seorang temannya.
"Gue baik-baik saja, tapi awas aja tuh cewek. Gue pasti akan beli harga dirinya," geram Aldo marah.
"Iya, Bos. Cewek kayak gitu emang harus dikasih pelajaran," kata yang lain menimpali.
Aldo terus menatap ke arah Nada yang sedang berlari menjauh. Sejurus kemudian, sebuah seringai aneh tercipta di bibirnya.
"Aku pasti akan dapetin kamu, Nada," desis Aldo licik.
Setelah hampir mendapatkan pelecehan dari Aldo, seharian ini Nada memilih diam di pojok, takut jika sampai bertemu dengan Aldo di luar kelas, dan cowok itu akan kembali melakukan perbuatannya yang tertunda.
Akhirnya tak terasa kelas pun selesai. Semua mahasiswa berhamburan pulang, dan begitu juga dengan Nada. Ia pulang berjalan kaki bersama sahabatnya yang bernama Ayu.
"Ayu, kenapa kamu nggak minta dijemput saja sama sopirnya papa kamu?" tanya Nada saat berjalan berdua di bawah terik matahari bersama Ayu.
Nada merasa tak enak, karena sebenarnya Ayu adalah anak orang kaya. Tapi ia malah memilih menemani Nada berjalan kaki dan panas-panasan seperti ini.
"Nggak apa-apa kok, Nada. Nanti setelah sampai di depan rumah kamu, aku juga bakalan dijemput kok. Lagian aku kasihan karena kamu jalan kaki sendirian." Aruna tersenyum.
"Terima kasih banyak ya, Ayu. Kamu sangat baik."
"Sama-sama, Nada."
Sambil terus ngobrol, tanpa terasa kedua gadis itu pun sudah tiba di gang dekat rumah Nada. Benar saja!
Tak lama, datanglah sebuah mobil yang menjemput Ayu. Nada melambaikan tangan pada sahabatnya itu dan bergegas hendak memasuki gang ke rumahnya.
Namun, baru saja Nada melangkah, tiba-tiba ia merasakan sepasang tangan yang membekap mulutnya dengan sesuatu hingga membuat Nada merasa pusing. Gadis itu pun berontak dan meronta-ronta, tapi tubuhnya mulai terasa lemas.
"Lepas!" teriak Nada tertahan, dan setelah itu ia tak tahu lagi apa yang terjadi padanya.
Malam itu, vila yang jauh dari keramaian dunia luar menjadi saksi bisu dari perasaan yang begitu kuat antara Daffa dan Nada. Di bawah bintang-bintang yang bersinar cerah, mereka merasa seperti berada di dunia mereka sendiri, sebuah tempat yang penuh kebahagiaan, kenyamanan, dan kasih sayang yang tulus. Setelah berpelukan dalam kehangatan satu sama lain, mereka akhirnya terlelap, tidur dalam kedamaian, merasa seolah dunia berhenti berputar, dan hanya ada mereka berdua.Angin malam yang lembut masih berhembus, membawa kedamaian. Suara alam, meski hampir tidak terdengar, menyatu dengan detak jantung mereka yang berdetak bersamaan. Semua yang ada hanya kebahagiaan dan ketenangan yang tak terlukiskan, seperti sebuah janji yang tak terucapkan—bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lain.Malam itu, mereka merasa seperti berada di dunia mereka sendiri, sebuah tempat yang penuh dengan kebahagiaan, kenyamanan, dan kasih sayang yang tulus. Mereka terlelap dalam pelukan satu sama lain, mera
Beberapa detik mereka terdiam dalam pelukan, merasakan kedekatan yang semakin mendalam. Hanya suara angin sepoi-sepoi yang terdengar di sekitar mereka, sementara matahari mulai turun sedikit, memberi warna keemasan pada langit. Suasana begitu tenang, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua.Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukan, namun tangan Daffa tetap menggenggam tangan Nada. Daffa tersenyum.“Yuk, masuk. Aku ingin menunjukkan seluruh vila ini kepadamu. Pasti kamu akan semakin jatuh cinta dengan tempat ini.”Nada mengangguk, masih dengan senyum lebar di wajahnya. “Aku yakin ini akan jadi liburan yang paling indah dalam hidupku,” katanya dengan suara penuh kebahagiaan.Mereka berjalan bersama menuju pintu utama vila. Begitu melangkah masuk, mereka disambut oleh ruang tamu yang luas dengan perabotan mewah dan desain interior yang elegan. Lampu-lampu gantung yang besar memancarkan cahaya lembut, memberikan suasana hangat di dalam ruangan.Daffa membimbing Nada melalui se
Sore yang cerah dan indah menyelimuti Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, saat pesawat yang dinaiki Daffa dan Nada akhirnya mendarat dengan mulus setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Suara pesawat yang memudar menjadi hening, diikuti dengan suara pengumuman dari awak kabin yang memberitahukan para penumpang bahwa mereka telah sampai. Daffa menatap layar di depannya, menandakan bahwa mereka sudah sampai di tujuan.Pesawat berhenti sepenuhnya, dan suasana di dalam kabin mulai terasa lebih tenang. Daffa dengan lembut mengalihkan pandangannya ke Nada yang duduk di sebelahnya. Wajah Nada terlihat lelah, tetapi matanya memancarkan kegembiraan, seolah-olah siap menghadapi petualangan baru.Dengan senyum hangat, Daffa meraih tangan Nada yang terletak di atas kursinya. Tangan mereka saling menggenggam dengan erat, seolah-olah tak ingin berpisah. Daffa menatap Nada, merasa bahagia bisa membawa wanita yang dia cintai ke tempat yang baru.“Selamat datang di Jogja,” ucap Daffa pelan, suaranya pen
Sesampainya di bandara, suasana semakin ramai dan penuh dengan hiruk-pikuk. Orang-orang berlalu-lalang, ada yang terburu-buru dengan langkah cepat menuju gate, ada pula yang duduk santai di ruang tunggu sambil memainkan ponsel atau membaca majalah. Suara-suara terdengar di setiap sudut, dari pengumuman penerbangan yang bersahutan hingga suara sepatu yang beradu dengan lantai marmer bandara. Beberapa petugas keamanan terlihat sibuk mengatur lalu lintas penumpang, sementara di kafe-kafe, aroma kopi dan makanan ringan tercium menguar.Daffa dan Nada berjalan berdampingan, langkah mereka terkoordinasi meski ada sedikit kekakuan. Tangan mereka saling menggenggam, erat. Di belakang mereka, Yugo mengikuti dengan hati-hati, mata waspada mengawasi setiap gerakan di sekitarnya. Dia tidak pernah benar-benar bisa melupakan rasa cemas, meskipun suasana bandara tampak cukup normal.Daffa, yang merasa sedikit tertekan dengan keramaian, mencoba tersenyum dan menoleh pada Nada yang berjalan di samping
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah tirai kamar Daffa. Udara segar membawa aroma mawar dari taman yang tertata rapi, menyentuh setiap sudut rumah seperti berusaha membisikkan bahwa hari ini akan menjadi hari yang indah. Suasana begitu damai.Nada sudah bangun sejak subuh. Ia bergerak riang di dalam kamar, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Di samping tempat tidur, koper biru tua terbuka lebar, sebagian besar sudah terisi pakaian yang dilipat rapi. Tangannya gesit memasukkan pakaian, charger, buku bacaan, dan satu kotak kecil berisi kejutan manis untuk Daffa."Ah, rasanya menyenangkan sekali bisa liburan. Aku sudah lama sekali ingin pergi ke Jogja," bisiknya pada diri sendiri, seolah tak ingin kebahagiaannya terdengar terlalu keras oleh alam.Sementara itu, Daffa baru saja membuka mata. Pandangannya masih kabur, tubuhnya terasa berat, tapi senyum Nada adalah hal pertama yang ia lihat pagi itu—dan itu sudah cukup membuatnya bangun sepenuhnya.“Kamu sudah siap?” ta
Malam itu, hujan tipis mulai turun membasahi kaca jendela besar di kamar utama penthouse milik Daffa. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan. Di luar, kota berkilau dengan gemerlap lampu malam, tapi di dalam kamar yang hening itu, hanya terdengar satu suara. Yakni isakan lirih seorang gadis.Nada terlihat duduk di pinggir tempat tidur king size yang luas, berselimut sprei linen putih bersih. Di tangannya, sebuah rapot sekolah tergenggam erat. Pandangannya kosong menatap kolom kosong di bagian tanda tangan wali murid. Hatinya sesak.“Kenapa hidup aku sehampa ini sih? Bahkan saat temen-temen yang lain bisa milih ada papa atau mamanya yang tanda tangan, aku justru nggak bisa milih siapa-siapa. Biasanya nenek yang bakalan tanda tangan di sini. Tapi sekarang …? Huhuhu?” tangis Nada semakin pecah dan menjadi-jadi.Daffa, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah, mengenakan kaos santai dan celana panjang tidur. Ia menghenti
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments