Aku langsung menuju loket maskapai untuk membeli tiket pesawat ke Jakarta. Antreannya tidak terlalu panjang, dan petugas maskapai yang ramah membantu kami memilih penerbangan pagi pukul 10.00 WITA. Setelah membayar dan mendapatkan boarding pass, aku kembali ke rombongan. Nayla, Tom, Jack, Liam, dan Ethan menunggu di area check-in, sementara Mama Siska memeriksa koper kami.Saat tiba waktunya berpisah, suasana jadi sedikit haru. Mama Siska memeluk Nayla erat, matanya berkaca-kaca.“Nayla, jaga diri baik-baik, ya. Mama pasti akan kangen sama kamu,” katanya, suaranya parau.Nayla memeluk Mama Siska lebih erat, menahan tangis. “Iya, Ma. Aku juga pasti akan kangen Mama. Tapi aku janji bakal kabarin tiap hari.”Aku mendekati Nayla, memeluknya singkat. “Nay, jangan nakal, ya. Kalau apa-apa, langsung telepon Abang.”Nayla tersenyum, mencubit lenganku pelan. “Ihh, Bang, aku kan bukan bocah lagi, ingat itu ya. Tenang aja, aku akan baik-baik saja.”Aku menoleh ke Tom dan yang lainnya, menjabat t
Aku kembali menatap ke arah Nayla, aku melihat bola matanya ternyata dia benar-benar sedang melihat yang kita lakukan. Tapi karena sudah nanggung, aku tidak memperdulikannya justru gerakanku semakin kencang sampai Mama Siska terus mendesah keras. Aku menarik tubuhnya kembali mencium bibirnya, sambil meremas buah dadanya. Kembali aku balikkan tubuhnya, aku buka kakinya lebar-lebar dan kembali aku masukkan benda pusakaku sangat dalam. Aku mulai menggerakkan pinggulku dengan kencang, aku sudah tidak peduli lagi pada Nayla. Semakin lama rasanya semakin nikmat, entah kenapa rasanya menjadi tantangan buatku yang membuatku semakin bergairah. Aku genggam kedua tangannya, aku lumat bibirnya lalu turun pada lehernya, hingga menuju bagian buah dadanya. Aku kenyot dengan kuat, aku mainkan lidahku di bagian pentilnya yang membuatnya menggelinjang. Aku penasaran, kembali aku menengok ke arah Nayla dan dia masih melihat kami. Aku yakin dia melihat kami, aku melihat dengan jelas matanya tapi dia te
Kami memutuskan mencari penginapan di sekitar Tanah Lot untuk malam ini. Setelah berkeliling sebentar, kami menemukan *Tanah Lot Sunset Villa*, sebuah penginapan sederhana dengan desain Bali modern, dikelilingi pohon kelapa dan bunga kamboja. Kami memesan dua kamar: satu untuk aku dan Mama Siska, satu untuk Nayla, dan satu lagi untuk Tom, Jack, Liam, dan Ethan. Kamar kami luas, dengan ranjang besar beralas kain putih, dinding bambu, dan jendela yang menghadap laut. Suara ombak terdengar jelas, menambah suasana tenang malam itu.Setelah check-in, kami memutuskan jalan-jalan menikmati malam di sekitar Tanah Lot. Kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di pinggir pantai, di mana lampu-lampu kecil dari warung dan kafe menerangi suasana. Udara malam terasa sejuk, bercampur aroma laut dan asap sate dari pedagang kaki lima. Nayla berjalan di depan bersama Tom, Jack, Liam, dan Ethan, tertawa sambil merekam konten. Mereka berpose di depan sebuah patung batu besar berbentuk penari Bali, deng
Matahari senja di Tanah Lot mulai tenggelam, menciptakan siluet dramatis pura yang berdiri di atas karang di tengah laut. Ombak Samudra Hindia menghempas dengan gemuruh, dan aroma ikan bakar dari *Warung Makan Tanah Lot* masih tercium di udara. Kami duduk di meja kayu, menikmati sisa es kelapa muda, sementara lampu-lampu kecil di sepanjang pantai mulai menyala, menambah suasana romantis malam itu. Nayla, Tom, Jack, Liam, dan Ethan masih asyik mengobrol tentang petualangan mereka di Ubud, sementara aku dan Mama Siska saling berpandangan, tangan kami bertaut di bawah meja.Aku menoleh ke Nayla, yang sedang tertawa karena candaan Jack.“Nay, mungkin besok Abang sama Mama pulang ke Jakarta. Tadi Ibu Abang nelpon, mereka besok berangkat dari Prancis ke Indonesia,” kataku, nadaku lembut tapi tegas.Nayla berhenti tertawa, wajahnya sedikit kaget. “Oh, kok mendadak banget, Bang? Terus besok jam berapa pulangnya?”“Mungkin pagi-pagi kita bersiap-siap, terus langsung ke bandara. Orangtuaku ngga
Pagi harinya, sinar matahari Ubud menyelinap melalui jendela, membawa aroma sawah dan bunga kamboja. Jam menunjukkan pukul 06.30 WITA. Aku bangun, mandi cepat, lalu mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Nayla sudah bangun, sibuk merapikan kopernya yang penuh dengan suvenir seperti biasanya. “Bang, tolong masukin tas anyaman ini, dong. Koperku udah nggak muat lagi,” keluhnya, menyerahkan tas kecil bermotif bunga.“Ya Tuhan, Nay, kamu mau bawa pulang pasar Ubud apa?” candaku, tapi tetap membantu memasukkan tas itu ke ranselku."Soalnya bagus-bagus Bang, disini bagus-bagus dan unik-unik."Mama Siska keluar dari kamar mandi, mengenakan blus linen putih dan rok panjang, rambutnya masih basah. “Seger banget sudah mandi, kalian sudah pada beres belum?""Lihat nih, Ma. Barang bawaannya Nayla makin banyak, sampai gak muat untuk di bawa." kataku sambil membantu Nayla.Mama Siska menggelengkan kepalanya, "Tuh kan, Mama bilang jangan terlalu banyak beli nya, nanti gimana bawanya?"Nayla malah
Kami melanjutkan perjalanan kami di Ubud, berjalan bergandengan tangan di bawah naungan pohon-pohon besar di Monkey Forest. Ubud terasa seperti dunia lain, hijau, tenang, dan penuh dengan aura seni. Jalan-jalan kecil di sekitar Monkey Forest dipenuhi galeri seni dengan lukisan-lukisan warna-warni bertema Bali, patung batu, dan ukiran kayu yang rumit. Warung-warung kecil menjajakan kopi Bali dan camilan seperti pisang goreng, sementara aroma kemenyan dari pura-pura kecil di setiap sudut menambah suasana mistis. Monyet-monyet nakal melompat dari dahan ke dahan, sesekali mendekati turis untuk mencuri makanan atau benda berkilau.Aku dan Mama Siska berhenti di sebuah galeri kecil bernama *Agung Rai Art Gallery*, di mana lukisan-lukisan tradisional Bali dipamerkan.Mama Siska tampak terpesona dengan sebuah lukisan penari Kecak yang penuh warna. “Raka, lihat deh lukisannya bagus banget. Kayaknya cocok buat di ruang tamu,” katanya, matanya berbinar.Aku tersenyum, memeluk pinggangnya. “Beli