Ini untuk pertama kalinya, Amora melihat putranya. Seorang perawat membimbingnya memasuki ruang NICU, tempat di mana bayi-bayi kecil berjuang untuk hidup. Jantungnya berdebar kencang, seakan mengikuti langkahnya yang ragu. Ia ingin segera melihat kondisi anak yang baru saja dilahirkannya.
"Dokter, bagaimana keadaan bayi saya? Apakah dia sudah membaik?" tanya Amora dengan suara bergetar, matanya tak lepas dari sosok mungil yang terbaring di ranjang inkubator. Dada kecil itu naik turun perlahan, ketika menghirup oksigen. Padahal bayi malang itu sudah memakai alat bantu pernapasan, namun tetap saja ia kesulitan untuk bernapas.Mata sang bayi tertutup rapat, dan selang-selang menempel di sekujur tubuhnya yang kurus, nyaris tak berdaging. Hati Amora terasa sangat sakit, perih, seolah ada pisau yang menggores setiap helainya. Ia tahu, bayinya tampak kekurangan gizi. “Bayi mbak Amora masih dalam pemantauan dan pemeriksaan lebih lanjut,” jelas dokter spesialis anak, Attar. “Saat lahir, beratnya hanya 1,9 kilogram, di bawah batas normal. Pernapasannya juga lemah. Kami masih memeriksa kemungkinan adanya komplikasi lain, dan kami berharap tidak ada yang serius.” Penjelasan itu membuat Amora terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Selama masa kehamilan, ia tidak bisa makan makanan bergizi. Bukan karena tak ingin, tapi karena tak mampu. Hampir setiap hari ia hanya makan nasi dengan sayur bening. Atau nasi dengan tahu dan tempe. Tidak ada ikan segar, apa lagi daging. Ia bahkan tak sempat memeriksakan kehamilannya ke bidan. Jarak yang jauh dan biaya yang harus ditekan demi bisa membeli beberapa helai bedong dan baju bayi anaknya. Suaminya yang tidak pulang-pulang membuat Amora harus menabung untuk biaya persalinan. Kini, ia menatap bayi itu dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada. “Jika ASI-nya sudah keluar, mbak Amora bisa memberikannya kepada perawat. ASI sangat membantu menaikkan berat badan bayi dengan cepat," jelas dokter Attar. “Sudah mulai keluar, Dok, tapi masih sedikit." Amora berkata dengan malu-malu. Ia tidak memiliki uang untuk membeli alat pompa asi yang bagus. Hingga Amora hanya bisa memaki cari manual untuk mengeluarkan asinya. Dapatnya sangat sedikit, tapi rasanya sangat perih. Amora kemudian memperlihatkan asi yang dimasukan nya kedalam gelas pelastik. Dokter itu terdiam melihat asi yang dibawa Amora. Seperti apa Kondisi Amora ketika datang ke rumah sakit, semua orang tahu. Bahkan sampai detik ini tidak ada satu orang pun yang datang mengunjunginya. "Apa Mbak Amora tidak memakai alat pemompa asi elektrik?" Tanya dokter tersebut. Attar melihat gelas yang dibawa Amora. Amora menggelengkan kepalanya. "Apa boleh saya mengantarkannya langsung ke sini?” tanya Amora penuh harap. Ia ingin selalu dekat dengan anaknya, meski hanya untuk sesaat. “Tentu boleh,” jawab dokter itu dengan lembut. Dokter Attar kemudian bertanya, “Apakah mbak Amora memiliki BPJS atau kartu jaminan kesehatan dari pemerintah?” Amora menggeleng pelan. “Saya tidak punya, Dok. Kartu jaminan kesehatan juga tidak ada.” Dua bulan lalu, ia sempat berjalan kaki menuju kantor camat yang lokasinya sangat jauh. Demi mengurus kartu jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin. Namun semua usahanya sia-sia. Ia tidak memiliki persyaratan lengkap seperti buku nikah, KTP suami, serta kartu keluarga. Karena itu, ia hanya bisa bertanya tanpa bisa mengajukan permohonan. “Saran saya, sebaiknya Ibu mengurus BPJS atau kartu kesehatan masyarakat miskin. Biaya Perawatan bayi, kemungkinan cukup besar. Dengan jaminan kesehatan, setidaknya beban bisa lebih ringan,” ujar dokter Attar dengan nada prihatin. Amora terdiam sejenak. Lalu, dengan mata yang masih basah dan hati yang gamang, ia mengangguk perlahan. Beginilah risiko jika memiliki pendidikan yang rendah. Begitu mudah ditipu, begitu gampang dibodohi. Baru kali ini Amora benar-benar menyadari bahwa selama ini pria itu hanya mempermainkannya. Ia ditipu, dibohongi, dan pada akhirnya ditendang tanpa belas kasihan, bahkan tanpa sempat membawa dokumen-dokumen penting. "Mbak Amora, ini pompa asi, saya yang memberikan. Setiap 2 jam sekali harus dipompa asinya. Jika memakai pompa asi seperti ini dapatnya pasti lebih banyak." Dokter Attar berkata sambil memberikan satu kotak perlengkapan untuk memompa ASI. Amora seakan tidak percaya ketika mendengar perkataan sang dokter. Apa dokter itu benar-benar memberikan secara gratis? Amora tahu, pompa asi seperti ini harganya cukup mahal. Ia mendengar percakapan ibu-ibu di kamar rawatnya. Karena itu ia memilih mengeluarkan asi dengan cara manual. "Mbak Amora, ambil." Dokter Attar kembali menyodorkan kotak ditangannya. "Apa dokter beneran memberikan ini untuk saya? "Amora berkata dengan sedikit ragu. "Ya, kamu sangat membutuhkannya. Bayi kamu sangat membutuhkan ASI." Dokter itu berkata sambil tersenyum. Amora terdiam sesaat dan kemudian dia mengambil kotak tersebut. Ternyata di dunia ini masih banyak orang yang baik. Dan di rumah sakit ini dia sangat banyak bertemu dengan orang-orang yang berhati mulia. Setelah menjelaskan kondisi sang bayi, dokter Attar keluar dari ruangan. Amora menatap wajah bayinya dengan hati yang perih. "Nak, ini mami." Amora diam sesaat. Anaknya bisa menjadi bahan ejekan jika memanggilnya mami. Panggilan itu untuk orang-orang kaya, tidak cocok untuk mereka. Dengan cepat Amora langsung merubah panggilannya. "Nak, ini mama. Mama tahu kamu, anak yang sangat kuat. Mama harap kamu bisa bertahan demi mama. Mama sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya kamu yang mama punya. Masalah uang pengobatan, jangan cemas, mama akan mencari uang yang banyak." Amora berkata sambil mengusap pipi putranya dari celah kecil yang ada di dinding inkubator. "Nak, kamu harus cepat sehat agar kita bisa pulang bersama-sama." Amora menangis dan kemudian mengusap air matanya. Seakan mendengar suara tangis ibo, Mata bayi itu terbuka lebar sambil memandang Amora. Melihat putranya membuka mata dan memandang ke arahnya, tangis Amora semakin pecah. Ia ingin mengendong anaknya, namun tidak bisa. Untuk sekarang ia hanya bisa melihat dengan cara seperti ini. "Nak, maaf ya mama baru bisa datang. Mama baru bisa berjalan karena itu baru bisa lihat kamu. Oh iya, nama kamu akan mama cari yang keren. Mama berharap papa bisa datang. Mama berpikir kalau papa sudah menyiapkan nama untuk kamu. Tapi sepertinya papa sangat sibuk, karena itu mama aja yang akan mencarikan nama." Amora berkata dengan tersenyum. Namun tetap saja air matanya terus menetes. Meski hanya sebentar diperbolehkan menatap buah hatinya, hati Amora sudah penuh rasa bahagia. Ia pun keluar dari ruangan itu. Jika tadi ia diantar perawat, kini Amora menyusuri koridor sendirian, perlahan sambil menggerakkan kursi roda dengan bantuan tangannya. Pikirannya tak lepas dari kondisi sang bayi. Kapankah putranya boleh pulang? Belum sempat kegelisahan itu mereda, kekhawatiran lain menghampiri. Tagihan rumah sakit. Bagaimana ia akan melunasinya? Sambil terus memutar roda, Amora mencari-cari jalan keluar. Pandangannya tiba-tiba tertuju pada seorang gadis kecil yang berjalan sendiri, dibuntuti dua pria asing. Anak itu melangkah tepat ke arahnya. Begitu berpapasan, Amora meraih tangan mungil gadis itu. Si kecil terkejut, namun tak bersuara. Hanya menatapnya dengan mata bening dan bola mata kecoklatan. “Adek, kamu diikuti orang jahat,” bisik Amora.Kesunyian menyelimuti apartemen Randy. Pria itu duduk membisu di sudut ruangan, ditemani kepulan asap rokok yang perlahan menghilang ke udara. Di hadapannya, secangkir kopi dingin yang tak disentuh, dan tatapan kosong yang tidak pernah lepas dari jendela gelap.Pintu apartemen terbuka. Dewi masuk dengan langkah cepat, wajahnya tegang. Di belakangnya, Miranda yang tengah hamil besar tampak gugup mengikuti.“Randy! Mau sampai kapan kamu terus seperti ini?” tegur Dewi dengan nada tinggi.Randy tidak menjawab. Bahkan untuk sekadar menoleh pun, ia enggan. Wajah sang ibu kandung tak lagi membuatnya tenang, melainkan memicu luka yang terus menganga. Semua ini, berawal dari mereka. Dari Dewi dan Miranda.Dulu, Randy memang menikahi Amora karena keterpaksaan. Tapi seiring waktu, cinta itu tumbuh. Amora merawatnya tanpa pamrih. Dengan sabar. Dengan ketulusan yang tak pernah ia duga. Sayangnya, cinta itu hancur sebelum sempat berbunga. Dihancurkan oleh tipu daya, ibu kandungnya sendiri dan wanit
Meski Emran sudah dinyatakan sembuh, Amora tetap harus rutin membawanya kontrol ke rumah sakit. Proses pemulihan pascaoperasi tak bisa dianggap enteng Emran masih membutuhkan obat-obatan mahal dan pengawasan ketat.Karena itulah, Amora berencana membeli mobil dan menjadi sopir taksi online. Setidaknya, itu cara tercepat untuk tetap bisa merawat Emran sambil menghasilkan uang.“Bagus kalau kamu ingin beli mobil,” ujar Yurika dengan nada mendukung. Ia tahu Amora sudah mempertimbangkan matang-matang keputusannya.Uang tabungan sisa dari penjualan hatinya memang cukup untuk membeli satu unit mobil. Meski Yurika khawatir, ia tidak mau mematahkan semangat wanita muda itu.“Tapi, Mora belum pandai bawa mobil, kayaknya harus kursus dulu ya, baru beli,” ucap Amora sambil tersenyum canggung.Yurika segera mengangguk. “Itu benar, belajar dulu. Jangan sampai nanti mobil ada, tapi nggak bisa dipakai.”“Mora kepikiran jadi sopir taksi online, Tante,” ucap Amora kemudian. “Karena Emran masih harus
Mobil berhenti perlahan di depan sebuah rumah sederhana berpagar putih. Meski baru sebentar menempatinya, Amora bisa merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Rumah itu tak megah, tidak mewah, tapi dikelilingi pohon-pohon besar yang memberikan kesejukan dan rasa damai. Udara di sekitarnya harum oleh bunga melati yang tumbuh di sudut-sudut taman kecil.Perlahan, Amora membuka pintu mobil dan menjejakkan kakinya ke tanah. Matanya membasah. Bukan karena keindahan rumah itu, bukan pula karena ukurannya. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada tempat yang benar-benar bisa ia sebut rumah.Dari sisi lain mobil, Yurika turun sambil menggendong Emran yang tertidur pulas.“Cucu Oma sudah pulang ke rumah,” ucap Yurika lembut, senyumnya begitu hangat.Amora membalas senyum itu, hatinya hangat. Diberi kesempatan bertemu sosok sebaik Yurika, yang seperti ibu peri baginya. Meskipun anugerah yang tak terhingga.Seorang wanita paruh baya dengan rambut digelung rapi segera menghampiri m
Pagi ini udara terasa sangat segar. Dengan sengaja Amora membuka jendela lebar. Dan kemudian tersenyum mengendong putranya."Nak lihat matahari pagi ini sangat cerah. Kamu harus merasakan hangatnya sinar matahari pagi. Karena ini sangat baik untuk kesehatan kamu. Udaranya juga sangat segar." Amora berkata sambil menjemur putranya yang saat ini sudah berusia, 3 bulan.Sudah lebih 2 Minggu mereka berada di kamar perawatan. Saat ini kondisi ibu dan anak itu tampak sudah jauh lebih sehat. Wajahnya terlihat jauh lebih tenang, meski masih pucat, tapi sorot matanya mulai hidup kembali."Nak, kata dokter, hari ini kita sudah boleh pulang. Mama rindu dengan rumah kita. Eh salah, rumah Oma. Mama bosan sekali di sini. Mama sangat senang, karena kita sudah punya rumah yang sangat cantik dan juga nyaman. Kita gak perlu pulang ke rumah itu." Amora berkata sambil mengusap pipi putranya dengan lembut.Kondisi Emran sudah sangat membaik. Bahkan dokter dari luar negeri, tidak pernah berhenti untuk mem
"Mami, bagaimana keadaan Amora dan juga anaknya?" tanya Alvaro pelan, sembari memandang wajah ibunya yang duduk tak jauh darinya.Yurika yang sedang membuka buah jeruk di tangan, spontan menghentikan gerakannya. Matanya terangkat, menatap putranya dengan ekspresi terkejut. Jemarinya menggenggam erat potongan jeruk yang belum sempat dikupas sepenuhnya.Ada yang berbeda.Sebab Alvaro, bukan pria yang mudah menunjukkan perhatian. Sejak ditinggalkan oleh istrinya bertahun-tahun silam, ia hidup dingin. Tidak pernah menyinggung soal wanita, apalagi menanyakan kabar seseorang seperti Amora—seorang wanita yang hanya berstatus sebagai ibu dari anak kecil yang ia sayangi."Kamu... menanyakan Amora?" Yurika bertanya hati-hati, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Alvaro mengangguk perlahan. “Zolin sering bercerita tentangnya.”Suara pria itu tenang, tapi dalamnya mengandung sesuatu yang aneh, rasa ingin tahu yang tidak biasanya. Bahkan seolah ada rasa peduli yang terselip di sana, me
Zolin menyeka sudut bibir Alvaro dengan tisu. “Daddy, jangan diem terus dong. Aku ngomong panjang lebar, Daddy malah ngelamun.”Tiba-tiba, Alvaro mengangkat tangannya yang masih lemah, menyentuh kepala Zolin. Ia mengusap lembut rambut anaknya, membuat Zolin terpaku.Lalu, dengan suara pelan namun tegas, pria itu akhirnya berbicara.“Terima kasih, Zolin.”Gadis kecil itu membelalakkan mata. “Daddy ngomong.”Alvaro mengangguk pelan. Suaranya terdengar berat, seperti sedang menahan sesuatu yang lama mengendap di dalam dada.“Maafkan Daddy, Daddy sudah membuat kamu sendirian selama ini.”Zolin memeluk tangan Alvaro, memeluknya erat. “Aku nggak pernah marah kok, Daddy. Aku tahu Daddy sakit. Tapi sekarang Daddy sudah bangun dan aku senang banget.”Senyum kecil menghiasi wajah Alvaro. Tapi matanya berkaca-kaca.“Daddy janji, mulai sekarang Daddy akan selalu temani Zolin.”“Bener ya?” bisik Zolin, seolah takut berharap terlalu banyak.Alvaro mengangguk, lalu menarik Zolin ke dalam pelukanny