Share

7. War (1)

Ketika seseorang berada di puncak emosinya siapapun menjadi pelampiasannya. -Anonimous

🍁🍁🍁

Di markas Batalion, Adnan menyusun straegi penyerangan. Reza menyarankan rencana cadangan, yaitu pasukan di tambah dari jumlah 80 menjadi 100.

"Boleh juga, tapi itu buat jaga-jaga kalau nantinya kita kalah. Reza, baseball punya lo sudah siap?" tanya Adnan menelisik tampilan Reza yang seperti preman pasar.

"Siap bos," jawab Reza lantang, siap menumbangkan geng Meteor si penguasa jalanan.

"Fif, lo ikut gak?" tanya Adnan, Afif tak berminat tawuran, namun jika keadaan genting Afif akan turun tangan.

Afif menggeleng. "Maaf mas Adnan. Hari ini saya menghadiri acara al-banjari," inilah Afif, seorang cowok yang selalu memprioritaskan agama. Tertarik pada perempuan pun tak berani, takut khilaf nantinya.

"Iya gak masalah kok fif. Tapi nanti setelah acaranya selesai, markasnya lo jaga ya," pesan Adnan, takutnya nanti geng Meteor melakukan aksi pengepungan tiba-tiba.

"Lapor bos, pasukan kita dari tiga sekolah sudah siap," ujar salah satu anak buah Batalion, laporan pada Adnan pun harus sopan dan tunduk seolah-olah Adnan itu raja.

Adnan mengangguk. "Baiklah, kita mulai penyerangan ke Permata,"

Suara deru motor memenuhi jalanan, Adnan berada di posisi paling depan, Reza tangan kanan, Irham kiri dan Rizky untuk memandu pasukan.

Di SMA Permata, Juna mengumumkan akan terjadi pertarungan setelah ini. Ia mengumumkan lewat speaker sekolah, pelajaran yang tadinya berlangsung serius kini terdiam mendengar penjelasan Juna.

"Saya tidak ingin nanti ada siswa yang masih ada di sekolah. Di mohon semuanya pulang, sebelum aksi penyerangan dari geng Batalion itu di mulai. Mohon maaf sebelumnya untuk para guru, kalian bisa menghubungi pihak polisi agar penyerangan ini tidak merugikan sekolah atau pun korban. Demikian dari saya Arjuna Zander Alzelvin yang gantengnya tiada rata undur diri. Selamat siang, semoga sehat selalu,"

Laura membereskan bukunya.  Semoga saja nanti ada ojekan meskipun harung hutang.

"Baiklah, kalian di perbolehkan pulang. Jangan ada yang masih kelayapan di wilayah sekolah, kalau masih sayang dengan nyawa," bu Rika memberikan wejangan, yang bebal akan menanggung resikonya. Ucapan Juna, itu tak main-main dan ada benarnya. Juna sangat berpengaruh di Permata.

Semua siswa SMA Permata berhamburan keluar kelas dengan langkah terburu-buru.

Namun, tas Laura di tarik membuat langkahnya terhenti.

Tiara tertawa senang. "Weits, enak aja hari ini lo selamat. Gak boleh gitu kan gilrs kalau Laura pantesnya disini aja. Biar di gebukin sekalian," tekan Tiara menusuk.

Kedua tangan Laura di tahan oleh Rani. Waktunya tersita, Tiara sengaja mengukurnya agar saat penyerangan geng Batalion tiba, dirinya tak selamat.

"Lepasin! Aku gak ada urusan sama kalian!" teriak Laura, meronta. Cengkraman Rani begitu kuat.

"Gak semudah itu Laura cantik," Tiara merasa terhibur dengan Laura yang kesulitan kabur.

Laura menginjak sepatu Rani kuat, mendorong Tiara dan berlari di sepanjang koridor sekolah, mencari tempat persembunyian. Pulang pun tak memungkinkan, karena dari kejauhan suara deru motor dan teriakan yel-yel menggema.

Laura memasuki gudang, tak ada pilihan lain. Mencari tempat persembunyian yang aman. Di balik tumpukan kursi dan bangku.

Tiara memeriksa setiap bilik toilet, namun nihil.

"Cari terus Rani!" bentak Tiara emosi, dirinya juga ketakutan dalam lingkaran tawuran yang melibatkan dua geng terbesar di Jakarta.

Sudah berbagai sudut sekolah mereka mencari Laura, dari toilet, rooftop, kantin, warung belakang sekolah.

Tiara menghentikan langkahnya. "Capek Ran. Harus nyari Laura kemana lagi nih?"

Rani tersenyum sumringah. "Gue tau!" serunya.

"Buruan! Dimana?" tanya Tiara tak sabaran, Laura harus di berikan gertakan menjauhi Juna.

"Gudang! Kita kan belum periksa," ucap Rani bijak, untungnya kemarin jam olahraga ia aktif bergerak, otak menyala.

Di depan gerbang SMA Permata, geng Batalion dengan jumlah 50 itu pun mengepung dari segala sisi. Lemparan kerikil dan batu berukuran sedang mengenai beberapa kaca. Geng Meteor belum menampakkan dirinya.

"Bos, kok sekolahannya sepi?" tanya Reza heran, seharusnya sekarang terjadi kekacauan.

"Sepertinya Juna sudah tau dan mengintruksikan pulang. Tapi, saya yakin Juna gak mungkin kabur gitu aja. Itu namanya pengecut!" kata Adnan meluapkan emosinya. Percuma saja ia datang jika Juna takut, dan memilih kabur daripada bertarung," Adnan merasa menang, Juna penakut.

Namun dugaan Adnan salah, Juna dan keenam anak buahnya pun datang dari belakangnya.

Adnan tersenyum remeh. "Mana pasukan lo yang lain? Pasti gak mau kan ikut-ikutan? Takut babak belur?" tanya Adnan menantang.

"Lo salah. Sebenarnya yang nyari gara-gara itu lo. Bikin rusuh, ngajak tawuran gak jelas. Mending bubar aja deh geng lo yang kampungan itu!" seru Sam lantang. Berbeda dengan Meteor yang di bentuk untuk saling mengenal, menolong yang lemah, menjalin persahabatan antar sekolah. Melindungi yang di tindas, di siksa dan ter-asingkan dari lingkungan sosial.

Adnan menghampiri Sam, tangan kanan anggota Meteor yang sok menantang dengan keberaniannya.

"Geng lo yang sampah! Gak usah bawa-bawa geng Batalion dodol!" teriak Adnan murka. "Serang mereka tanpa ampun," titah Adnan, ia menyerang Juna yang tadinya tampak santai pun mulai menangkis pukulan, tendangan, hingga Juna berhasil melumpuhkan gerakan Adnan dengan tendangan sabitnya.

Adnan tersungkur. "Lo gak akan bisa ngalahin gue, Vin,"

Juna semakin emosi saat Adnan memanggil nama Alzelvin, begitu ada kenangan menyakitkan di baliknya.

Suara sirene polisi membuat geng Batalion memilih kabur.

Sam menghela nafasnya lega, meskipun wajahnya babak belur sedikit, Sam tak ingin membuang tenaganya demi Batalion.

"Akhirnya dateng juga bos. Haduh, mending tenaga gue yang tadi di gunain nyapu aja," ucap Sam sok bijak, aslinya dia malas karena rumahnya terlalu luas dan wah untuk menyapu.

Pak Baroto, tepatnya orang tua Alvaro.

"Apakah tadi ada yang terluka?" tanyanya pada Juna, semuanya mengenal betul siapa Baroto itu.

"Gak ada kok yah," jawab Alvaro santai, saat pertarungan berlangsung tadi ia mampir ke warungnya bu Yam membeli gorengan. Alvaro, tidak ikut tadi.

"Kamu ini sukanya ikutan geng-gengan kayak gini. Tawuran gak jelas, bikin rusuh sana-sini, bolos," omel Baroto pada anak keduanya, sangat jauh dengan Ika yang tekun belajar menguasai ilmu Geografi, kakaknya Alvaro ini adalah guru SMP.

"Emang ayah dulu gak?" tanya Alvaro balik, Baroto terdiam.

"Itu kan masa lalu Al," jawab Baroto malu-malu.

"Masa lalu, biarlah masa lalu. Jangan kau ungkit, jangan ingatkan aku. Masa lalu, biarlah masa la-," belum selesai Sam konser dadakan, Satya memitingnya gemas, di keadaan genting begini Sam dan Alvaro terkadang bercanda.

🍁🍁🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status