Hari ini Maria tidak jadi pergi.
Kamal bilang di telephone, kalau sepupu Maria itu mendapat sebuah jadwal meeting mendadak dan mengganti pertemuan dengan Maria di hari ulang tahun Ares besok.
Maria iyakan saja, dan berhubung sudah cuti, Maria memanfaatkan waktu luang ini untuk menghias rumah khas pesta anak-anak. Maria dan Ares sudah beli sendiri kemarin sore, memilih hiasan berwarna merah dan biru, balon-balon, dan bahkan sudah pesan kue.
Wanita yang menggunakan hotpants juga hoodie putih itu juga sudah meminjam tangga dari tetangga sebelah, rambut pirangnya dicepol tinggi agar tidak menganggu sementara ia mulai membuka balon-balon dari plastiknya.
“Habis hias-hias, nanti ke hospital tengokin kakek ya," kata Maria pada Ares yang sedang selonjoran di atas karpet disamping Maria. "Ares udah lama nggak tengokin kakek kan? kangen nggak?”
Ares yang sedari tadi sibuk dengan rakitan Lego yang sudah dari kemarin digeluti itu membalas tanpa men
“Uler kangkung ngapain ajakin itu penyihir kemari sih!”Suara kicau anak-anak di sore hari yang indah ini terurai sedikit ketika Maria mendengarkan bisikan Jane padanya. Mata julit sahabat kental Maria itu menyorot terang-terangan pada wanita yang baru melewati pintu dengan Edgar dan juga ibu Ardila.Maria menoleh pada Jane, mengeluarkan suara dengan mulut yang tak bergerak. “Yang penyihir itu elo. Sabina anaknya anteng, dinyinyirin mulu.”Pesta ulang tahun Ares sore ini dihadiri oleh anak-anak komplek, semua teman Ares, Jane bersama Sam, Lili bersama anak perempuannya-Rachel hanya datang memberi selamat dank ado, sekarang calon istri Ares dimasa depan itu sudah pergi lagi karena Lili bilang ada acara keluarga. Emily juga dirumah, nanti malam baru ke rumah sakit kembali.Ares yang sedang berada digendongan Maria pun memanggil ayahnya, membuat rombongan tiga orang disana segera mendekat.Edgar mengambil Ares dari Maria,
- Sejuk, tempat yang tinggi, banyak pepohonan, dan udara asri adalah hal langka yang sepertinya sudah bertahun-tahun tak dirasakan Maria. Mungkin sudah sekitar dua puluh tahun Maria tak mengunjungi puncak, terakhir kali waktu tamasya sekolah dasar, sebelum Maria tau kalau ia akan merasakan sesak jika berada ditempat yang tinggi. Wanita bersurai pirang yang cantik menggunakan sweater panjang dan jeans high waist itu melirik pada pria yang menggunakan bomber jaket disebelahnya, Ares ada di gendongan Edgar. Benar. Maria diculik saat baru mau pergi ke cafe oleh lelaki ini. Maria juga tidak tau kalau tujuan pergi mereka adalah tempat tamasya yang selalu dihindari Maria. Karena sumpah demi apapun. Maria pening saat ini. “Udah yuk pulang," ujar Maria pada Edgar yang sejak beberapa saat lalu fokus pada ponselnya. Udah maksa pergi, dianya sibuk sendiri! Gerutu Maria dalam hati. Edgar menoleh. Mata lelaki itu memandang bertanya-t
Edgar menghentikan laju motor besar yang ia pakai di depan halaman rumah Maria. Mematikan mesinnya dan segera menyetandar motor berwarna merah miliknya sebelum melepas helm di kepala.“Udah sampe,” kata Edgar pada anak laki-laki yang duduk di depannya. Setelah itu Edgar turun sembari menggendong putranya.Menenteng satu buah bugkusan, pria tiga puluh tahun itu kemudian melangkah bersama sang putra di gendongan.“Panggil mommy,” ujar Edgar pada Ares. Yang langsung diangguki anak empat tahun itu. Ares memukul-mukul pintu sembari memanggil ibunya.“Mommy masih tidur apa ya?” tanya Edgar pada Ares yang hanya ditanggapi dengan hendikan bahu dan gelengan. Edgar melihat pergelangan tangannya, sudah pukul satu, sudah siang, apa Maria masih tidur?Karena wanita itu mengeluh pusing lagi hari ini, membuatnya meminta bantuan Edgar untuk menjaga Ares satu hari agar Maria bisa beristirahat total. Dan Edgar setuju tanpa keluhan
Suasana diruangan itu terasa tegang.Tak ada yang bersuara setelah beberapa lama berkumpul, dua wanita peruh baya disana menghembuskan napas frustasi, melihat bagaimana satu buah alat tes kehamilan menunjukan sebuah kabar bahwa akan hadir seorang bayi diantara mereka.Maria duduk di sofa dengan jemari bertaut, wajah tak menampilkan ekspresi berlebih, ia hanya menunduk tak mau mengangkat wajah.Sialan.Wanita bersurai pirang itu kemudian melirik tajam kepada lelaki yang tengah duduk dengan senyum idiot diwajahnya. Tak butuh waktu lama untuk Edgar sadar kalau ia tengah diperhatikan, pria tampan itu menoleh pada Maria.“Gak usah senyum-senyum!” gertak pada Edgar tanpa suara. Hanya bibir wanita itu yang bergerak.Maria pernah mengalami situasi seperti ini jadi ia tidak terlalu dibuat terkejut. Maria hanya melirik sekilas pada wajah Emily dan juga ibu Ardila.Emily nampak tak menunjukan ekspresi berlebih, seperti Maria, nyonya
Rolls royce yang tadi membelah kemacetan metropolitan kini berbelok menuju sebuah kawasan elit, berhenti pada sebuah bangunan besar dengan gemerlap lampu yang nyata, banyak orang datang dengan tampilan yang apik. Berpasang-pasangan.Maria menoleh keluar jendela mobil, wanita cantik berambut pirang itu mendecak. Mengelus punggung anaknya yang ada dalam pangkuan.Tak lama pintu mobil disebelahnya terbuka. Menampilkan seorang pria tampan dengan setelan jas formal dengan dasi kupu-kupu, rambut Edgar yang berpotongan undercut ditata rapih menyamping.Laki-laki rupawan yang senyumnya mematikan itu mengulurkan tangan, mengangguk pada calon istrinya yang masih duduk didalam mobil."Ayo turun!" ajak Edgar sembari meraih jemari Maria.Maria menarik kembali tangannya dari Edgar. Wajah cantiknya masih terlihat masam. Teringat dengan orang-orang yang Edgar kirim kerumahnya, mendandani Maria sedemikian
“Gila lu!” seruan itu disemburkan oleh wanita berwajah ayu yang tengah duduk bersila diatas sofa disebelah Maria.Maria yang sedang tiduran sembari menatap tivi menyala itu langsung mendongak, menatap Jane yang tersedak setelah mendengar kabar kehamilannya.Maria baru memberitahu sahabatnya itu. Benar. Jane tau Maria akan menikah tadi pagi, dan wanita mantan pramugari itu langsung datang bersama anaknya. Setelah datang lengkap dengan satu deret panjang pertanyaan wawancara, barulah Maria jujur kalau ia sudah hamil.Mata kucing Jane mendelik. Bibir wanita itu terbuka tak percaya."Heh! Yang bener? Bunting? Beneran?" Selak Jane lagi.Maria hanya menghembuskan napas kecil. Lemas.“Kapan nganunya coba, hah? Bilangnya nggak suka, benci, sebel. Saban ketemu gelut mulu,” cecar Jane lagi. “Tau-tau udah melenting.”Maria ta
Di aula besar yang bernuansa putih suci itu satu pasangan bersandingan.Suatu momen bahagia dimana hidup tak lagi tentang diri sendiri, menyulam tali keluarga dengan keluarga yang berbeda, menjadi seorang menantu.Mengucap janji suci didepan altar.Jemari ramping Maria yang berbalut gloves itu meremat kencang, hari ini pernikahannya dan Edgar digelar, bohong sekali kalau Maria bilang dia tidak gugup. Nyatanya Maria sudah hampir pingsan karena keringat dingin tak usai keluar dari telapak tangannya.Bahkan saat Edgar mengangkat tangan untuk membuka kain tipis yang menutupi wajah Maria, dan mata mereka bertemu, Maria tetap gugup.Jemari Maria digenggam. Matanya menatap lembut.“Ed,” panggil Maria lirih.Edgar dapat mendengarnya. Lelaki yang terlihat sepuluh kali lebih tampan dari hari biasa itu mengedip, Edgar menggunakan jas putih seperti pangeran dicerita dongeng, dasi kupu-kupu, serta rambut ditata rapih.“Ken
Edgar tidak percaya ia harus mandi air dingin pada malam pertama statusnya berubah tak lagi lajang. Meredam gejolak dalam diri mengalah pada anak-anaknya.Laki-laki berkulit putih itu membuka pintu kamar mandi dikamarnya, melangkahkan kaki keluar, di ranjang sudah ada dua sosok kesayangan yang sudah terlelap dalam tentram.Tersenyum kecil Edgar pun segera menuju lemari pakaiannya, mengambil dalaman dan juga satu celana pendek yang nyaman untuk tidur, memakainya dengan cepat sebelum mematikan lampu utama, membiarkan lampu tidur menyala, menarik selimut agar menutup tubuh Maria dan Ares sebelum ikut bergabung merebahkan diri ke atas ranjang.Edgar memejamkan mata sejenak sebelum menghembuskan napas panjang, setelah hari yang cukup panjang ini akhirnya ia bisa beristirahat.Menoleh kesamping, Edgar kembali dibuat tersenyum, pemandangan ini benar-benar yang ia impikan sejak lama. Pria yang bertelanjang dada itu memiringkan badan, melihat wajah putranya yang t