Share

A Perfect Liar
A Perfect Liar
Author: Luciver

Malam yang mengaku siang

21 Desember 2022

Matanya tak berhenti menangis namun bibirnya selalu berusaha mengukir senyuman. Terlihat suatu penyesalan yang mendalam dalam raut mukanya, namun senyumnya palsu. Bicaranya kacau, meracau kesana kemari menepis segala perasaan dan keinginan dalam hatinya.

Lalu ia berbisik “ Ardi, kamu berhak bahagia. Kamu layak mendapatkan sosok yang bukan aku. kamu tak perlu ikut jatuh dalam dunia hitamku”

“Persetan semuanya, biarkan saja semua berkata apapun tentang kamu karena aku tak peduli dengan itu. Kamu sempurna untukku, kamu yang terbaik untukku. Tetaplah disini kalau perlu ayo kita pergi ke luar negeri atau kemanapun dimana kita bisa menjalani kehidupan bersama. Biar hanya berdua asal kau bersamaku dan mulai hidup baru.” Setidaknya itu yang ingin aku katakan padanya. namun bibir ini hanya diam membisu, tubuh ini pun kaku tak bergeming. Air mata saja tak mampu aku keluarkan.

Dengan bibir yang bergetar dia mencium bibirku lalu melangkah mendekati pintu dan keluar tanpa menoleh. Langkahnya tak ragu namun aku tahu pasti tangannya tak berhenti mengusap air mata yang terus menetes. Aku yang masih saja tak bergeming menatap lurus ke arah pintu yang tak sempat Beca tutup. Wangi parfum khas miliknya masih tertinggal menemani aku yang jatuh ke dalam lamunan.

*** “Dy, parfumku kamu taruh mana? Jangan bilang kamu abisin? Itu kan biar bajuku gak bau asap rokok. Jangan di pake” Becca yang selalu repot dengan parfumnya tiap kali akan pergi ***

Bising kendaraan yang biasa mondar-mandir didepan apartemen tak terdengar sedikit pun ditelingaku. Rasanya seperti tubuh ini menolak kenyataan yang baru saja terjadi, Becca pergi meninggalkanku dengan alasan yang tak bisa diterima oleh logika bahkan perasaanku.

Bagaimana mungkin dia meninggalkan aku agar aku bisa bahagia? Sedangkan dia tau betapa bahagianya aku bisa memilikinya. Apa maksudnya dia tak layak untukku? Aku tak minta apapun bahkan kalau dia masih bermain-main dengan pria lain aku tak akan sanggup untuk meninggalkannya, aku hanya ingin bersamanya. Menemaninya hingga ia bahkan tak perlu lagi pria lain untuk berada didekatnya. Hingga ia merasa yakin kalau aku bisa dipercaya.

Kenangan-kenangan indah bersama Becca mulai bersliweran di benakku.

*** “Dy, ke pantai yuk” “Dy, mancing yuk” “Dy pengen es krim” “Dy pengen camping” “Dy pengen ujan-ujanan” “Dy pengen tinggal di desa dekat pegunungan” “dy pengen berenang di danau” Becca yang selalu spontan mengatakan keinginan randomnya yang kalau tak dituruti akan memajukan bibirnya juga mengecilkan tatapan matanya***

Perlahan aku mulai sadar bahwa kejadian barusan adalah kenyataan dan bukan hanya mimpi buruk yang paling aku takuti. Aku mulai merasakan kembali degup jantung yang kian lama kian mengencang, nafas yang sebelumnya berhembus halus kini mulai terasa sesak dan semakin sesak seperti dicekik.  Aku berteriak sekencang-kencangnya memaki kebodohanku yang membiarkan Becca pergi didepan mataku. Membanting semua barang yang terjangkau oleh kedua tanganku termasuk asbak rokok Becca.

*** aku melihat Becca di depan meja kerjanya, sibuk mengotak atik kerjaanya. Duduk dengan gaya ala L di anime Deathnote namun dengan rokok disela-sela jarinya. Aku lihat asbaknya sudah penuh dengan puntung rokok. Secara naluri aku tahu Becca lelah, ia adalah seorang pekerja keras yang totalitas dengan pekerjaannya. Aku menghampiri Becca perlahan, membawakan segelas susu yang aku berikan sebagai ganti alcohol agar Becca bisa berhenti minum.

“Becca udah jam 2 malam loh, belum mau tidur? Masih banyak kerjaanya?” jelasaku tak menawari bantuan karena jika Becca ingin aku membantu dia akan langsung mengatakannnya. Namun jika dia tidak memeinta artinya dia tidak ingin aku disitu karena dia akan terganggu.

“Iya” Becca yang sedang serius bekerja akan sangat sulit merespon pertanyaanku

“Minum sama rokoknya aku taruh disini yak”

“Hmmm” Jawaban Becca yang artinya pergilah jangan ganggu aku, aku Cuma tersenyum sambil membuang puntung rokok dalam asbak dan bergegas ke dapur untuk membuat cemilan yang bisa Becca makan setelah selesai dengan kerjaannya. ***

Mataku tertuju pada dering ponsel yang bernada dering rekaman suara manis Becca “Dy, Aldy. Ada telpon loh. Yakin gamau diangkat? Siapa tau penting loh. Angkat dooooong”. Aku tau itu bukan telpon dari Becca, kebiasaannya saat sedih adalah mematikan ponsel dan mabuk-mabukan sampai pagi. Tapi tetap saja harapan itu masih membara dihatiku. Berharap itu benar dari Becca yang menghubungi untuk memintaku menjemputnya karena ia tidak sanggup berjalan pulang setelah mabuk. Sungguh aku berharap itu adalah Becca. Namun ternyata itu adalah nomer dari petshop, langsung aku teringat dengan Dofi, anjing betina yang aku berikan untuk Becca sebagai teman becca berbagi cerita saat ia tak mau menceritakan ceritanya padaku. Dofi yang sedari pagi aku titipkan di petshop karena sibuk mencari Becca kesana kemari.

Aku pun bergegas melaju mobilku menuju petshop, dan menjemput Dofi. Dofi kegirangan melihat kedatanganku, langsung kami bergegas menuju apartemen yang belum sempat aku bereskan itu.

Sesampainya di apartemen aku menggendong Dofi dan langsung aku baringkan dikasur, karena aku tak ingin dia menginjak-injak pecahan kaca yang masih berserakan dilantai.  Sembari membereskan aku coba menghubungi Becca berharap dia menghidupkan ponselnya. Namun seperti biasanya, ponselnya dimatikan, nomornya tidak aktif.

                                                                                                                                                                         

Waktu menunjukan pukul 01.25 malam, Dofi pun sudah tertidur pulas. Aku beranjak dari sofa meninggalkan apartemen, mencoba mencari Becca ke tempat-tempat yang sering dia kunjungi. Ku susuri setiap bar di kota, ku datangi setiap café juga penginapan. Sudah kucoba menghubungi teman-teman Becca yang aku kenal, ku datangi rumah mereka. Tapi tak ada yang tahu keberadaan Becca malam ini. Akhirnya aku menghentikan pencarianku di Bar tempat Becca paling sering menghabiskan waktu.  Lalu lalang orang dan bau alkohol yang sangat menyengat benar-benar menggangguku, namun tak menjadi penghalang aku untuk berhenti menunggu Becca. Bir non alkohol yang aku pesan kian banyak hingga memenuhi perutku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status