“Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.
Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus.
"Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini.
"Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa.
"Boleh, ya!" bujuknya manja.
“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.
Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.
“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya.
“Punya mata kan ya? Liat aja sendiri!” ketusku, dan ia malah tertawa dengan lepas, bukannya merasa bersalah malah cekikikan tanpa dosa.
“Kamu kalau marah-marah gitu tambah jelek tau nggak, Yank?” ucapnya setengah berteriak, sumpah mulutnya pengen banget kucobek pake rawit sekilo.
“Iya, aku emang jelek! Tapi jelek-jelek gini aku banyak duit loh, masih mending kan dari pada kaya kamu, ganteng doang tapi kere!” ejekku pedas.
“Kok kamu ngomongnya gitu sih, Yank?” ucapnya terdengar sedih, dan aku yakin dia pasti merasa tersinggung.
“Terus kamu kenapa ngomong gitu juga?” tanyaku balik.
“Gitu gimana?” tanyanya polos merasa tak bersalah.
“Kamu tersinggung nggak kubilang kere?” tanyaku santai sembari melipat tangan.
“Iyalah! Itu penghinaan tau nggak!” jawabnya seolah merasa terhina.
“Nah! Sama!” jawabku santai sembari menjentikkan jari di depan wajahnya.
“Apaan sih? Nggak jelas banget! Sama apa coba?” tanyanya meninggi, semakin emosi rupanya.
“Kamu bilang kalau aku jelek dan itu berulang-ulang, berkali-kali, itu juga penghinaan!” jawabku santai kali ini aku duduk di kursi makan dan menyenderkan tubuh dengan nyaman.
“Ya elah! Gitu aja kok marah!” ucapnya enteng.
“Lah? Siapa yang marah? Aku loh nggak marah, kamunya aja yang sensi kalah-kalah boneka barbie!” sahutku meledek.
“Kok barbie sih, Yank?” Kembali ia menyahut tak terima.
“Lah emang kan? Kalau nggak mau disamakan dengan barbie, ya jangan sensi dong! Gitu aja kok marah!” ucapku meniru kalimatnya.
“Pokoknya aku mau beli baju baru, Yank, please dong ngertiin aku!" Mas Ivan lagi-lagi merengek membuatku semakin kesal.
Kamu kan punya uang sendiri, Mas! Belanja aja pakai uangmu!" jawabku malas, hilang sudah semangatku menyajikan sarapan penuh cinta.
"Kok kamu pelit sih, Yank?" tanyanya terdengar kesal.
"Pelit dari segi mana coba? Kamu loh yang lebih sering belanja dari pada aku! Lihat tuh pakek matamu yang sebesar biji salak itu! Lemarimu aja ada dua, sedangkan aku satu aja nggak penuh!" jawabku sembari menunjuk ke arah kamar dengan emosi.
"Kok kamu ngungkit-ngungkit lemari sih, Yank?" tanyanya lagi, suaranya meninggi menandakan tak terima dengan ucapanku.
"Lah, emang iya, kan? Kamu kalau mau belanja pakai uangmu sendiri kan bisa! Kenapa mesti minta aku mulu sih?" Kujawab ia dengan sengit beserta tatapan tajam mematikan.
"Kamu kok hitung-hitungan gitu sih sekarang?" Mas Ivan mendekatiku, rupanya ia masih mencoba membujukku, dan dia pikir aku akan luluh seperti biasanya.
"Kamu tau nggak, Mas? Pengeluaran kita membengkak! Bulan ini aku sampai nggak bisa nabung karena kamu belanja mulu! Mending kalau yang dibeli itu memang penting dan bermanfaat! Lah ini cuma barang-barang nggak guna yang jadi koleksimu doang!" Kumatikan kompor dengan emosi, lalu kutinggalkan begitu saja nasi goreng yang baru saja kumasak, tanpa berniat untuk memindahkan ke piring dan menyajikannya untuk kami makan bersama.
“Aku kan sudah kasih kamu uang dapur, Yank! Jangan bilang seolah-olah aku nggak ada kontribusi apapun dong di rumah ini!” balasnya tak terima dan tentu saja ucapannya itu sukses membuatku membelalakkan mata saking emosinya.
“Mas, kamu tuh ya!” Kulemparkan tempat tisu berbahan kain yang ada di meja makan dan tepat mengenai kakinya.
“Aduh! Apaan sih, Yank? Kamu dosa tahu nggak begini!” ucapnya sembari mengusap kakinya yang jelas-jelas tak terasa sakit karena yang kulempar tak membahayakan sama sekali.
“Kamu lebih dosa lagi karena selalu dzolim sama aku,” balasku tak mau kalah.
“Dzolim apaan sih? Kamu kalau ngomong jangan asal ceplos dong, Yank! Kalau orang dengar entar dikira aku beneran ngelakuin hal nggak baik tau nggak ke kamu!” sungutnya kesal.
“Loh, emang bener kan? Yang kuomongin tuh semuanya fakta! Perlu ku rinciin satu-satu apa hal mendasar dari omonganku?” tantangku yang membuatnya terdiam.
“Kan kamu tahu Yank, penghasilanku cuma dari toko aja, itu pun nggak seberapa, dan semua untung toko juga kan kukasih kemu semua,” ucapnya disedih-sedihkan membuat drama yang tak penting.
“Betul …. Betul sekali! Uang untung itu harusnya untuk tambahan uang dapur kita, tapi ….” Kutatap tajam Mas Ivan yang kini mulai menunduk.
“Kenapa kamu nunduk?” tanyaku menahan tawa.
“Udah sadar?” tanyaku lagi sedikit mengejek.
“Uangnya kan kamu pake buat ….”
“Iya deh, iya! Aku ngaku, aku salah!” potongnya cepat.
“Nah, gitu dong! Kan pinter!” ejekku lagi, lalu kembali ke wajan yang tadi sempat kutinggalkan.
“Kok kaya nggak ada harga diriku ya, Yank sama kamu?" tanyanya polos, jujur aku sedikit merasa bersalah. Namun mau bagaimana lagi? Mas Ivan memang terlalu dimanja oleh orang tuanya dulu sehingga sampai sekarang dia masih seperti itu. Apa yang diinginkannya selalu saja di dapatkan, awalnya aku menuruti segalanya namun kini sepertinya aku harus mulai merubahnya, tak bisa jika terus-terusan begini.
“Makanya kamu tuh jangan manja, Mas!” sahutku lagi, mencoba sedikit lebih tegas.
"Tapi aku kan belanja karena murah, Yank!" jawabnya lagi, masih mencoba membela diri dan ternyata drama keinginannya untuk membeli baju belum selesai.
"Murah dari mana? Coba kamu lihat struk belanjamu sana semua di atas tiga ratus ribu, dan sekali belanja kamu bisa sampai lima barang!" Kali ini jawabanku berhasil membuatnya bungkam, perlahan kulirik wajahnya yang mulai merah, aku tahu dia menahan marah, tapi siapa peduli? Toh selama ini juga terlalu banyak aku memaklumi.
"Pokoknya aku mau belanja, terserah kamu mau izinin atau nggak!" ucapnya tanpa jeda.
"Ya sudah belanja aja sana! Pakai uangmu sendiri tapi jangan uangku!" jawabku sembari memasukan nasi goreng yang sudah masak ke dalam piring.
Namaku Nanda, aku dan Mas Ivan menikah satu tahun yang lalu. Aku bekerja sebagai manager di sebuah Perusahaan ternama sedangkan Mas Ivan hanya punya toko baju kecil itu pun dimodali olehku.
Kami menikah tentu saja karena cinta, dan memang kuakui, awalnya aku sangat mencintai lelaki berparas tampan itu sampai dengan ikhlas dan rela aku memberikan setengah dari tabunganku untuk memberinya modal membuka toko.
Tapi beberapa hari ini sikap Mas Ivan benar-benar keterlaluan, aku sampai benar-benar emosi dan tak habis pikir dibuatnya. Semua berawal dari saat ia dengan sadar dan tanpa dosa memakai uang dapur untuk membeli Mod Vape seharga tiga juta dan Liquid satu lusin dengan harga yang lumayan mahal.
Ya, dengan dalih saat itu sedang diskon jadi menurutnya itu adalah hal yang wajar jika dia mau membelinya. Biasanya apapun yang ia akan beli tak akan membuatku semuak ini dan akan memaafkannya begitu saja, tapi untuk kali ini saat ia berani menggunakan uang tabungan tanpa izin dariku itu sungguh membuatku meledak, rasanya sabarku sudah diambang batas.
Saat sedang membersihkan kompor, kulihat Mas Ivan membuka tasku yang kuletakkan asal diatas meja, bahkan dompetku sepertinya terbuka. Tak berselang lama suara mobil mulai terdengar menjauh, dan benar saja ia pergi tanpa kata dan lagi! Mas Ivan membawa Atm yang mungkin dikiranya adalah milikku, padahal yang dibawanya adalah miliknya sendiri yang sengaja kuletakkan di dompetku, kini aku hanya tertawa mengingat saat mengambil ATM di dompetnya dan mengganti pinnya dengan pin yang sama dengan milikku. Lalu ATM di dompetnya? Jelas saja itu bukan miliknya, itu adalah ATM kosong milikku yang isinya sudah kutransfer ke rekeningku yang lain.
Aku terduduk diam memandangi Nasi goreng lengkap dengan telur dan timun yang sudah ku tata dengan rapi. Sarapan pagi dengan tenang dan hangat ternyata hanya ilusi, entah sampai kapan aku harus menghadapi sikap kekanak-kanakkan suamiku sendiri! Bisa berubah atau tidak hanya Allah saja yang tahu, tapi jauh dilubuk hati selalu terbait doa semoga Allah Sang Maha pemilih hati membalikkan hatinya menjadi imam yang lebih baik dan bertanggung jawab untukku dan anak-anak kami.
“Aamiin.” ucapku penuh harap.
Sehari setelah kedatangan Ibu mertuaku, Mas Ivan pulang dengan wajah santai tak berdosa. Ia mendekatiku dan ternyata sadar dengan tas yang sudah kukemasi beberapa pakaian. “Mau kemana kamu?” tanyanya menyelidik. “Bagus akhirnya kamu pulang! Aku cuma mau bilang kalau aku kau pulang ke rumah Bunda.” jawabku datar. Apa-apaan? Nggak ada! Ngapain ke rumah Bunda segala?" Mas Ivan menolak mentah-mentah keinginanku yang ingin pulang ke rumah Bunda. "Kenapa? Apa alasanmu melarangku?" tanyaku dengan menatapnya tajam. "Karena kamu, Istriku!" jawabnya, dengan tegas. "Oh, ya? Sejak kapan kamu kembali sadar?" tanyaku lagi, sungguh aku sudah sangat lelah dengan tingkahnya yang begitu memuakkan! "Memangnya, kamu pikir selama ini aku gila?" tanyanya, terlihat kesal. "Pokoknya, aku mau ke rumah Bunda!” ucapku, kali ini air mataku yang sejak tadi tertahan turun berhamburan. "Aku, nggak ngizinin kamu!" jawabnya, lantang. "Dengan atau tanpa izinmu, aku akan tetap ke sana!" ucapku dengan keras, t
"Ma, Ivan gak tahan lama-lama sama Nanda, dia itu makin hari makin keterlaluan, karena dia selalu merasa kalau gajinya lebih besar dari uang yang Ivan hasilkan," Lagi untuk ke sekian kalinya Ivan mengadu pada Mamanya karena sangat emosi dengan tingkah Nanda yang semakin menjadi. "Keterlaluan gimana sih, Van?" tanya Diana dengan santai, tak ada raut wajah marah di sana, masih biasa saja. "Ya, keterlaluan!" jawab Ivan dengan bingung, serba salah. Jika ia mengatakan yang sebenarnya belum tentu Mamanya akan membelanya, dan akhirnya ia memilih untuk berbohong saja, biarlah yang penting mamanya memihaknya terlebih dahulu. "Ivan tuh kaya nggak ada harga diri tahu Ma, di depan Nanda sama keluarganya, Nanda itu terlalu sering ngehina Ivan secara terang-terangan!" jawab Ivan berpura-pura sedih, sesekali ia melirik wajah Mamanya yang akhirnya mulai terpancing. ‘Yes! Berhasil!’ batin Ivan."Ngehina gimana?" Pertanyaan Diana jelas saja membuat semangat provokator Ivan membara."Dia bilang kala
"Yank, jam tanganku mana?" tanya Mas Ivan dengan wajah panik, aku mah tetap santai. "Mana aku tahu Mas," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari kue yang sedang kusiapkan untuk dibawa. "Kenapa gak ada di lemari, Yank?" tanyanya dengan kesal. "Ya mana aku tahu, Mas!" jawabku lagi. "Kok, bisa nggak tahu? Kan cuma kita berdua yang tinggal di rumah ini!" ucapnya lagi seperti menuduhku yang mengambil jam miliknya. "Jadi maksudmu, karena hanya ada kita berdua di rumah ini terus aku yang ngambil jam kamu gitu?" tanyaku dengan marah. "Ya, mungkin aja kan!" jawabnya enteng. "Keterlaluan kamu, Mas," balasku dengan marah. "Buru, mana jam tanganku? Nggak kamu jual kan?" tanyanya lagi tanpa berdosa, dan jujur ingin rasanya ku jahit bibir suamiku yang asal ceplos ini. "Nanti kalau ketemu, pasti aku jual!" jawabku pelan. "Apa, Yank?" tanyanya memastikan, ia pasti tak mendengar karena suaraku memang sangat pelan. "Mas, sini deh!" Aku menyuruhnya mendekat dan ia menurut. "Lemari yang isin
BEBERAPA JAM KEMUDIAN."YANK...." Mas Ivan pulang dengan wajah yang memerah, aku bergegas mendatanginya dengan membawa segelas air putih. "Aciyee, belanja banyak," sindirku padanya melihat tentengan yang ia bawa. "Kenapa mukamu cembetut gitu?" tanyaku berpura-pura tak tahu, padahal aku yakin dia kesal setengah mati sekarang. "Kenapa ATM-ku bisa ada di dompetmu?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air. "Lah, kamu ambil ATM di dompetku ya?" tanyaku polos. "Jawab!" ucapnya marah. "Bukannya kamu yang harus jawab?" tanyaku balik. "Apaan?" tanyanya bingung. "Kamu kenapa ngambil ATM di dompetku?" tanyaku lagi. "Karena aku mau belanja," jawabnya enteng. "Terus?" tanyaku. "Kenapa ATM-nya jadi ATM-ku?" tanyanya lagi. "Lah, memangnya aku ada bilang kalau yang di dompetku itu ATMku?" tanyaku balik membuatnya melongo. "Terus kenapa bisa ATM-ku ada di dompetmu Yank?" tanyanya mulai kesal. "Karena aku tahu kamu mau ambil kan?" jawabku santai. "Kan aku mau ambil ATM-mu" ucapnya tanp
“Yank, minta duit ya buat beli baju," ucap Mas Ivan santai mengalihkan sedikit perhatianku yang saat ini sedang sibuk dengan penggorengan yang menyala di atas kompor.Mas Ivan memang sangat menjengkelkan, sudah ngasih uang jarang-jarang, malah sesuka hatinya belanja pake uangku terus. "Baju apa lagi sih, Mas? Bukannya kamu baru belanja ya minggu lalu?" tanyaku kesal, seharusnya dia peka dengan suara wajan dan spatula yang mulai nyaring ini."Kan itu minggu lalu, Yank! Minggu ini kan belum!" jawabnya sembari mendekat, dengan wajah polos seperti tak berdosa."Boleh, ya!" bujuknya manja.“Ayank .., Maaf, kamu masih marah, ya?” ucapnya manja sembari mulai merayuku dengan pelukan yang disangkanya romantis, padahal sangat membuatku jengah.Merasa tak kutanggapi, ia semakin bertingkah manja.“Kamu masak apa, Yank? Harumnya bikin lapar, pasti enak banget,” lanjutnya lagi dengan memuji dan terdengar tak tulus. Jelas saja, ia pasti melakukannya karena ada maunya. “Punya mata kan ya? Liat aja