BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
"YANK...." Mas Ivan pulang dengan wajah yang memerah, aku bergegas mendatanginya dengan membawa segelas air putih.
"Aciyee, belanja banyak," sindirku padanya melihat tentengan yang ia bawa.
"Kenapa mukamu cembetut gitu?" tanyaku berpura-pura tak tahu, padahal aku yakin dia kesal setengah mati sekarang.
"Kenapa ATM-ku bisa ada di dompetmu?" tanyanya setelah menghabiskan segelas air.
"Lah, kamu ambil ATM di dompetku ya?" tanyaku polos.
"Jawab!" ucapnya marah.
"Bukannya kamu yang harus jawab?" tanyaku balik.
"Apaan?" tanyanya bingung.
"Kamu kenapa ngambil ATM di dompetku?" tanyaku lagi.
"Karena aku mau belanja," jawabnya enteng.
"Terus?" tanyaku.
"Kenapa ATM-nya jadi ATM-ku?" tanyanya lagi.
"Lah, memangnya aku ada bilang kalau yang di dompetku itu ATMku?" tanyaku balik membuatnya melongo.
"Terus kenapa bisa ATM-ku ada di dompetmu Yank?" tanyanya mulai kesal.
"Karena aku tahu kamu mau ambil kan?" jawabku santai.
"Kan aku mau ambil ATM-mu" ucapnya tanpa malu.
"Kok ATM-ku sih? yang mau belanja siapa?" tanyaku lagi.
"Aku...." jawabnya sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Nah, terus masalahnya apa? kan kamu sudah belanja dan sudah seharusnya kamu bayar pakai uangmu sendiri kan?" balasku menahan tawa.
"Tapi Yank, itu uang buat mutar modal lagi!" jawabnya dengan putus asa.
"Udah tau mau modal, kenapa malah belanja banyak coba? pasti habis jutaan kan itu?" tanyaku melirik ke arah tas bawaannya.
"Yank...." ucapnya memelas.
"Hmmm?" jawabku malas.
"Aku harus gimana? barangku besok datang," ucapnya lagi.
"Ya, nggak gimana-gimana!" jawabku santai.
"Nggak bisa gitu dong, Yank," ucapnya lagi.
"Lah terus?" tanyaku sembari melirik ke arahnya yang terlihat mulai risau.
"Yank…," panggilnya lagi
"Hmm?" jawabku, masih enggan untuk menoleh.
"Gimana?" Masih dengan pertanyaan yang sama.
"Jual aja barang-barangmu yang nggak kepake, Mas!" usulku tanpa menoleh ke arahnya.
"Ya nggak bisa gitu dong, Yank!" jawabnya tak terima.
"Ya udah, terserah kamu!" ucapku tak peduli.
"Yank…." Kali ini ia menarik tanganku.
"Hmm, apa sih?" tanyaku kesal.
"Bisa bangkrut aku kalau gini!" ucapnya dengan panik.
"Bodo Amat!" jawabku kemudian meninggalkannya yang terus merengek seperti anak kecil yang diambil permennya.
“Mama, cuma Mama satu-satunya penyelamatku!” samar kudengar apa yang diucapkan Mas Ivan, tentu saja jalan dan pilihan terakhirnya adalah Ibu mertuaku, dan kita lihat saja drama apa lagi yang akan terjadi nanti. Lelah sekali rasanya hidup di panggung sandiwara ini.
****
Ma, tolongin Ivan dong Ma" rengek lelaki tampan itu pada Mamanya yang masih terlihat bingung, karena tak ada angin dan hujan tiba-tiba anaknya yang jarang berkunjung datang dengan keluhan yang membuat pusing kepala.
Dari kemarin Ivan tak bisa makan, ia merasa ingin muntah saat mengingat kalau uang di ATM-nya tersisa empat juta saja. Itu pun uang yang harus disetorkan hari ini karena barang di tokonya datang dan tentu saja itupun kurang makanya ia gelagapan.
"Uangmu mana? Kenapa bisa minus banyak gitu penjualanmu?" tanya, Diana, dengan tatapan menyelidiknya.
"Namanya juga jualan Ma, ada untung ada ruginya," jawab Ivan berbohong.
"Kalau gitu, ya kan kamu tinggal minta sama Nanda! Pinjam aja dulu uang tabungannya buat nombok nanti ganti kalau misalnya sudah terkumpul lagi, gitu aja kok pusing!” jawab Mamanya enteng.
“Tapi Nanda nggak mau kasih, Ma!” ucap Ivan kesal, dan sukses membuat Ibunya itu mengalihkan pandang dari apel yang sedang dikupasnya.
“Atas dasar apa? dan alasan apa?” tanya Diana lagi mulai terpancing.
“Kalau minus karena rugi berarti ya itu tanggung jawab kalian bersama, itu kan toko kalian berdua ya harus dipikirkan berdua dong! Mana bisa Nanda asal aja bilang nggak mau, alasannya apa?” sinis Diana, dan diangguki oleh Ivan.
“Bantu dong Ma, bilangin ke Nanda supaya dia mau ngerti,” bujuk Ivan, berharap Mamanya mau membantu seperti biasanya, karena kalau seperti itu Nanda pasti tak bisa berkutik dan akan mengikuti inginnya.
“Kamu ngomong lagi sekali sama Nanda baik-baik, kalau dia masih nolak ntar Mama yang omongin ke dia!” ucap Diana sembari memasukkan apel ke mulutnya.
“Nggak mempan, Ma! Kalau bisa baik-baik ya aku nggak ke sini!” jawab Ivan mulai kesal.
“Udah sefinal itu?” tanya Diana lagi, dan entah sudah ke berapa kalinya Ivan mengangguk mengiyakan.
“Oke! Nanti biar Mama yang ngomong ke Nanda, udah nggak usah pusing, masalah kecil itu!” ucap Diana disela kunyahannya dan tentu saja membuat Ivan tersenyum menang dan bahagia.
***
“Dari mana kamu, Mas?" tanya Nanda sesat suaminya itu memasuki rumah.
“Dari rumah Mama,” jawabnya santai lalu duduk di sofa dan mengambil kripik yang ada di dalam toples di meja.
“Ngadu lagi?” tembak Nanda langsung, ia tahu karena sebentar lagi entah lewat telepon atau kunjungan langung mertuanya pasti datang untuk mengomel.
“Ngadu apa sih? Aku cuma curhat aja, karena kamu kan nggak mau bantu aku!” jawabnya tak terima.
“Kamu curhat apa emang? Semua kamu kasih tau jujur nggak? tentang akar masalahnya?” selidik Nanda mencari celah kejujuran dari suaminya itu.
“Ya jujurlah, ngapain aku bohong-bohong segala? Nggak maen!” sahutnya santai.
“Terus solusi dari Mama, apa?” tanya Nanda lagi mencoba mengabaikan jawaban menyebalkan dari Ivan yang tak sepenuhnya ia percaya.
“Tunggu aja nanti Mama ngomong sendiri,” sahutnya santai, dan sukses membuat dada Nanda bergemuruh.
“Loh, kenapa? Kamu takut kena omel Mama? Makanya dari pada Mama ke sini terus ceramahin kamu mending kamu kasih pinjam aku uang buat bayar barang! Lagian kan itu buat toko juga buat kita!” ucapnya enteng tanpa dosa.
"Apaan? Ogah!" Jawab Nanda dengan jengah.
"Yank, aku tuh ngasih saran buat kebaikan kamu, supaya ….”
"Nggak! Kalau aku bilang enggak ya nggak!" potong Nanda dengan tegas, tatapannya tajam mematikan.
"Lah terus aku harus gimana?" tanya ivan lagi, berharap dapat solusi darinya.
"Ya gampang lah, Mas, tinggal jual aja barang-barangmu yang nggak terpakai, selesai masalah, segampang itu loh! Malah dibikin ribet!” jawab Nanda santai membuat Ivan tambah kesal.
"Ya nggak mau lah aku!" Ivan mengalihakan pandang ke arah lemari di mana barang-barang kesayangannya tersusun rapi.
"Aku ngutang deh, Yank, nanti aku bayar!" pinta Ivan lagi kali ini ia melembutkan ucapannya mencoba membujuk dengan mesra.
"Enggak!" jawabnya Nanda langsung tanpa berpikir hingga membuat Ivan mengacak rambutnya karena putus asa.
"Terus maumu apa, Yank? Kamu gak mau bantu aku, kamu mau Mama kesini marah dan ngomelin kamu karena nggak mau bantuin suamimu! Padahal aku juga usaha buat toko kita buat masa depan kita!” ucap Ivan mulai kesana kesini arahnya.
"Kok aneh sih Mas? Yang bikin masalah kan kamu, yang bikin ribet hidupmu kamu juga, kenapa aku yang disalahin sih? Terus kenapa juga kamu harus selalu mengancam aku dengan Mama? Kamu pasti ngadu yang nggak-nggak kan? Kalau Mama sampai marah berarti kamu playing victim! Kamu bohong dan nggak ngasih tau yang sebenarnya!” ucap Nanda marah suaranya kini meninggi karena emosi.
"Ya bukan gitu juga maksudku, maksudku tuh kan ngasih kamu saran supaya masalah nggak makin lebar!" balas Ivan, ia mencoba meralat semua kata-kata yang sudah keluar tadi. Ini bukan saatnya berdebat. Biar bagaimanapun ia harus bisa mendapatkan uang dari Nanda tanpa harus melibatkan Mamanya karena urusannya pasti panjang dan bisa saja kebohongannya terbongkar dan bikin Mamanya malah beralih pihak.
"Sayang….” Ivan memeluk istrinya itu dengan mesra seperti biasa, kembali membujuk dan ternyata tak ada perlawanan dan berarti ia merasa ada kemungkinan Nanda akan membantunya.
"Tolong suamimu ini, ya!" bujuk Ivan lagi.
"Tapi aku nggak ada uang juga, Mas! jawab Nanda membuat Ivan kaget dan menelisik wajah istrinya.
"Kamu kan banyak uang, kok bisa nggak ada?" tanya Ivan tak percaya.
"Kan aku banyak nombok Mas karena kamu, cicilan rumah ini tiap bulan aku yang bayar, untung aja mobil udah lunas bulan kemarin, terus uang dapur yang kamu pakai aku juga yang nombok, jadi bulan ini pengeluaran kita buanyaak banget Mas!" jawab Nanda sembari memainkan jari-jarinya dan sukses membuat Ivan diam tak bisa berkata-kata.
Hening….
"Emmm…, gimana kalau kamu ambil pinjaman Kantor aja Sayang? Kan bisa kamu lunasin dengan gajimu bulan depan," usul Ivan yang sukses membuat sebuah pukulan mendarat di lengannya dengan kuat.
"Gila kamu ya Mas, Ogah aku!" jawab istrinya itu dengan ketus.
"Yank….” Ivan kembali memelas.
"Aku harus gimana dong?" tanya Ivan lagi membuat wanita cantik itu terdiam sejenak.
"Kamu perlunya berapa?" Akhirnya keluar pertanyaan yang membuat Ivan berbunga-bunga.
"Dua puluh juta," jawab Ivan berbohong.
'Lumayan sisanya bisa buat belanja lagi' ucap lelaki itu dalam hati.
"Oke, nanti aku usahakan," jawab Nanda kemudian berlalu menuju kamar. Ivan sangat bahagia, ia merasa beruntung memiliki Istri yang banyak duitnya.
Ivan meloncat kegirangan kemudian menuju dapur dan melihat Ikan Nila goreng dengan sambal beserta pete yang menggugah selera.
"Makasih Sayang," ucapnya setengah berteriak, lalu makan dengan lahap.
“Akhirnya aku bisa makan dengan tenang, Haha,” lanjutnya dengan riang.
***
[Sudah masuk ke rekeningmu Mas, dua puluh juta.] Pesan dari Nanda membuat senyum Ivan melebar, akhirnya beban di pundaknya terangkat sudah.
Sales datang dan Ivan bisa membayar semua barang yang datang, masih ada sisa uang di rekeningnya. Tentu saja ia punya rencana lain, apalagi kalau bukan untuk membeli hoodie yang ia taksir sejak kemarin.
[Makasih Sayang.] Ivan membalas pesan itu dengan emot cium yang banyak. Tak lupa juga Ivan mengirimi pesan untuk Mamanya karena walau bagaimanapun ia juga merasa enggan jika wanita yang melahirkannya itu memarahi Istrinya. Bukan karena takut istrinya tersakiti tapi lebih ke arah takut kalau kebohongannya bisa saja terbongkar.
Setelah menutup toko, Ivan menuju Mall dan saat menuju toko yang ingin ia datangi Ivan melihat Rian teman Kantor Nanda sedang bersama dengan Istrinya.
"Hai Rian," sapa Ivan dengan ramah.
"Eh, Bang Ivan," jawabnya sembari menyalami Ivan, dan tentu saja dengan cepat Mata Ivan tertuju pada jam tangan yang dipakai oleh teman Istrinya itu.
'Seperti jam tangan milikku' batin Ivan, sembari terus mencoba menyelidik.
"Bagus jam tanganmu ya, Yan, beli di mana?" tanya Ivan berbasa-basi.
"Oh, ini pemberian Rina, Bang," jawabnya sembari menunjuk ke arah Istrinya yang sedang memilih pakaian di dalam toko.
"Itu limited edition loh, Yan, aku aja perlu menunggu berbulan-bulan supaya bisa dapatin jam yang sama kaya yang kamu pakai," jawab Ivan menjelaskan sekaligus pamer bahwa ia juga memiliki jam mahal yang sama dengan yang lawan bicaranya itu kenakan.
"Oh ya? Wah, ternyata selera Istriku sangat baik," puji Rian pada Istrinya.
Setelah mengobrol ringan merekapun berpisah, Ivan membeli hoodie dan satu buah tas seharga dua juta untuk Nanda, kemudian ia pulang untuk berterima kasih langsung pada Istri tercintanya.
"Assalamualaikum," ucap Ivan dengan hati yang sangat gembira.
"Waalaikumussalam,” jawab Nanda dengan senyum merekah.
"Kamu cantik banget deh Sayang hari ini," puji Ivan pada Istrinya, entah kenapa Ivan merasa Nanda memang terlihat sangat cantik jika sangat baik seperti sekarang ini.
"Emm, maaci," jawab Nanda manja.
"Nih, buat kamu,” Ivan memberikan sebuah bingkisan besar padanya.
"Apa ini?" tanya Nanda dengan semangat.
"Wah, tas baru!" seru Nanda bahagia, sangat manis. Ivan baru sadar jika selama ini jarang memberikan sesuatu untuknya.
"Makasih ya Sayang,” ucap Nanda lembut, yang diangguki langsung oleh Ivan.
"Mas, nanti malam ada acara di rumah Tante Erni. Jangan lupa!" ucap Nanda mengingatkan.
"Siap Sayang!" jawab Ivan mesra.
Tante Erni adalah Adik dari Bundanya Nanda, keluarga Nanda termasuk keluarga berada. Ivan pun sama, hanya saja semenjak menikah kini Ivan jadi terlihat melarat karena uang dari Mamanya sudah jarang mengalir kei rekeningnya. Ivan harus berjualan di toko kecil yang dimodali oleh Nanda. Inilah nasib anak bandel sepertinya yang malas-malasan belajar hingga tak lulus kuliah dan berakhir seperti sekarang ini, terlebih lagi hubungannya dengan Nanda juga tak sepenuhnya mendapat restu dari Mamanya. Tapi tak apa, untungnya Ivan tampan dan bisa memiliki Istri sepintar dan sekaya Nanda. Hidupnya jadi terjamin sekarang.
Selesai mandi Ivan mengenakan kemeja hitam dengan celana jeans berwarna coklat. Tak lupa ia pakai skincare, dan mengatur gaya rambutnya dan tak ketinggalan juga ia menyemprotkan minyak wangi untuk menambah ketampanannya.
Namun saat Ivan membuka lemari, ada sesuatu yang janggal.
'Kaya ada yang berkurang' ucapnya mencoba mengingat, karena barang yang banyak membuatnya sedikit lupa tentang apa saja yang ia miliki di dalam lemari ini. Namun saat ada yang hilang atau berpindah tempat, Ivan pasti tahu karena ia menghafal dengan jelas tata letak dari barang-barang di lemari ini.
Mata Ivan tertuju ke bagian yang kosong.
"Jam tanganku mana?" tanyanya dengan hati yang berdebar.
Ivan kembali mencari dengan teliti namun tak menemukannya, iapun teringat pada Rian yang memakai jam tangan yang sama saat di Mall tadi.
"Apa jangan-jangan?"
[Mbak, Mas Ivan lagi ada di sini, kayanya kecurigaan kita emang bener deh, Mbak, kalau dari apa yang aku lihat, kayanya Mas Ivan memang ada main sama si Irma.] Dengan mantap Inara mengirim pesan kepada kakak ipar yang disayanginya, tentu saja tak hanya sekedar kalimat, ia juga mengirimkan sebuah video berdurasi lima belas detik di mana Ivan dan Irma sedang duduk berhadapan di meja makan sambil tertawa lepas bersama. Nanda yang baru saja selesai mandi tersenyum miring melihat Video yang dikirimkan adik iparnya itu, pantas saja Ivan tak membalas pesan yang dikirimkannya sejak beberapa jam tadi rupanya lelaki itu sedang asik dengan selingkuhannya. Memilih tak membalas pesan Inara, Nanda dengan sigap bersiap, ia memakai sedikit make up dan memakai baju santai lalu dengan cepat memesan taksi online, ya tujuannya adalah ke rumah mertuanya. ‘Sepertinya bakalan seru!’ ucapnya dalam hati. Sepanjang perjalanan pikiran Nanda sedikit berkecamuk, ia merasa lelah dengan semua keadaan yang pals
Tiga hari berlalu dengan rutinitas biasa, berusaha baik-baik saja walaupun sebenarnya retak di mana-mana. Nanda sudah pulang ke rumah dan Ivan berlaku sebagai suami pada umumnya, berangkat pagi ke toko dan pulang sore. “Assalamualaikum,” ucap Ivan masuk ke dalam rumah dan mendapati istrinya sedang asik-asikan nonton drakor sambil makan kue kering dengan lahapnya. “Waalaikumussalam, udah pulang ya, Mas?” sahut Nanda sembari mendekati suaminya itu, mengambil tangan dan mengecupnya singkat. “Enak banget ya kamu, di rumah seharian nggak ngapa-ngapain cuma ngedrakor aja sambil nyemil,” sindir Ivan, entah kenapa moodnya hari ini jelek, selain karena toko tak seramai biasanya juga karena Irma merengek dan lumayan menguras tenaga untuk membujuknya. “Loh? Terus aku harus ngapain? Kan aku mau bantu kamu ke toko tapi kamu nggak izinin, kamu bilang aku cukup di rumah aja doain kamu! Lagian ya Mas, yang kamu liat aku ngedrakor sama nyemil ini pas akunya aja lagi istirahat, sebelumnya aku nggak
“Ma, kayanya Irma mau pulang aja ke kampung,” ucap gadis sok polos itu dengan raut wajah disedih-sedihkan. “Lah, kenapa Sayang? Memangnya ada masalah di sana?” tanya Diana kaget. “Nggak ada sih, Ma, cuma Irma ngerasa nggak enak aja di sini apalagi Inara ….” Ia berhenti sejenak, menghapus air mata yang sebenarnya memang tak pernah turun, Irma mulai memainkan perannya sebagai ratu drama. “Kenapa sama Nara?” tanya Diana mulai terdengar tak enak. “Inara kayanya nggak suka aku di sini, Ma!” lanjutnya lagi, kini gerakan tangannya dipercepat seolah air mata turun dengan banyak. “Kamu ngomong apa sih? Nggak mungkin lah Nara kaya gitu, orang dia yang ajak dan bawa ke sini, lagian ada alasan apa Nara nggak suka kamu disini?” jawab Diana tertawa kecil. “Nara ngira Irma sama Mas Ivan ada apa-apa, Ma,” sahut Irma, ia mulai sesenggukan dan jelas itu dibuat-buatnya. “Maksudnya?” Kembali Diana teralihkan dan kini sesuatu yang dianggapnya hanya lelucon menjadi topik yang cukup serius. “Kamu ke
Tak sadar karena lelah dengan apa yang kurasakan, ternyata aku tertidur, dan satu jam hampir berlalu. Kudengar sudah tak ada suara berdebat dari luar. ‘Apa Mama sudah pulang?’ batinku. Baru saja hendak membuka pintu, samar aku mendengar seperti ada suara tapi sangat jauh, sepertinya dari depan, dan aku membuka pintu sangat pelan. Kulihat Mas Ivan membuka pintu hanya sedikit saja, ia terlihat sedang berbicara dengan seseorang dari luar, aku penasaran dan langsung keluar. “Siapa Mas?” tanyaku yang ternyata membuatnya sangat terkejut, dan tentu saja ekspresinya itu membuatku curiga. “Orang salah alamat!” jawabnya terlihat salah tingkah. “Oh ya? Nyari siapa dia?” tanyaku lagi, kali ini aku berniat keluar melihat secara langsung tapi alangkah terkejutnya lagi aku ketika tubuhku ditarik dan masuk dalam pelukan Mas Ivan. “Maaf,” lirihnya, membuatku terpaku sejenak. Tak ada perasaan nyaman seperti dulu saat pelukan dari lelaki ini adalah tempatku berpulang dan merasa aman, kali ini se
Irma seorang gadis desa yang terlihat lugu dan sederhana, namun pepatah jangan melihat buku dari sampulnya saja itu berlaku pada gadis ini, nyatanya keluguan diluar tak sesuai dengan kelicikan yang sudah mendarah daging di dalam dirinya. Otak cerdas yang dianugerahkan Tuhan untuknya malah ia jadikan sebagai pencipta ide-ide jahat yang mengalirkan pundi-pundi uang ke rekeningnya dan kehidupannya selama ini, dengan bermodalkan kisah sedih keluarga yang kurang mampu, kuliah dari beasiswa, dan orang tua yang sudah ringkih dan tak mampu mencari uang lagi menjadikannya sebagai pusat perhatian semua orang termasuk Inara dan keluarganya yang kini sudah masuk ke dalam perangkapnya. Tapi apa mungkin waktu seminggu mampu mendekatkan seorang lelaki dengan gadis yang baru saja dikenalnya, bahkan kini mereka terlihat seperti pasangan kekasih yang dimabuk cinta. Tentu saja tidak! Enam bulan yang lalu saat Ivan sedang mengunjungi Inara di kota dimana adik perempuannya itu sedang menimba ilmu di saat
“Assalamualaikum, Bun,” ucap Nanda dengan lembut setelah telepon tersambung. “Waalaikumussalam, kenapa Sayang?” tanya Bunda Nanda tak kalah lembut dan penuh kasih dari putri kesayangannya. “Bun, sekarang Nanda lagi ada di rumah Nanda, ini Nanda sama Mas Ivan lagi ada masalah yang kayanya butuh Bunda di sini,” ucap Nanda serius, membuat Ivan dan Diana saling berpandangan dan tanpa pikir panjang Ivan menarik paksa ponsel Nanda dan mengambil alih telepon, ia kira istrinya itu hanya membentak dan mengancam saja tapi ternyata Nanda tak main-main telepon benar-benar tersambung dan suara lembut di seberang sana membuat jantung Ivan berdebar kencang. “Masalah apa, Nan? Kok ….” “Assalamualaikum Bunda, ini Ivan, maaf ya Bun ngagetin Bunda, Nanda lagi PMS jadi agak sensitif sampai nelepon Bunda padahal kami cuma lagi debat kecil biasa, Bun, hehehe,” potong Ivan cepat, ia berusaha berbicara dengan sesantai mungkin agar tidak membuat ibu mertuanya itu curiga kalau mereka memang sedang sangat t