“Mbak yang tadi itu siapa?”
Baru saja aku menutup pintu mobil di sampingku, Nara sudah melontarkan pertanyaannya.
“Bukan siapa-siapa,” jawabku singkat. Nara tampak tidak puas, tapi tidak bertanya lagi. Mungkin dia sudah menyadari betapa raut wajahku bukan raut wajah yang bisa diajak bicara.
Sejenak ia melihat ke belakang, ke tempat pria itu berdiri setelah mengantar kami sampai ke depan showroom mobilnya.
Akhirnya, setelah berhasil mengabaikan desak pertanyaan Xei, kami bisa pergi. Rencana mencari mobil hari ini langsung kuurungkan, toh masih ada esok hari.
Namun, ketika keesokan harinya sebuah mobil diantar bergitu saja ke rumahku, aku tau lagi-lagi aku terjebak di sebuah pusaran yang sama.
***
Pagi itu aku terbangun dalam keheningan yang tak lagi asing. Langit-langit kamar yang kelam, fajar yang masih terlalu dini untuk mengundang kokok ayam, bahkan detik suara jarum jam masih begitu me
Sehari sebelum kepulangan mereka berbulan madu, Ibu mertuaku datang ke rumah. Ia membawa sekotak donat kesukaan Andra, dan beberapa plastik buah. Keriangan Andra saat menyambut nenek dan tantenya terlihat begitu normal, sampai aku sempat berpikir bahwa mungkin semuanya akan baik-baik saja.Mungkin akhirnya aku bisa melalui hari-hari selanjutnya dengan damai, dengan dukungan mereka semua.“Ibu dengar Nuri nanti mau tinggal di sini sama kalian?” Ibu membuka percakapan saat kami berada di dapur.Jihan menjemur pakaian di luar, Andra dan adik iparku berada di kamarnya. Bocah itu sibuk menunjukkan hasil karyanya dengan riang kepada sang tante yang jarang ia temui karena gadis itu sibuk kuliah dan berpacaran kurasa.“Iya,” jawabku singkat.“Kamu nggak apa-apa?”Pertanyaan itu membuat dadaku sedikit luruh, apakah akhirnya Ibu menyadari bagaimana perasaanku saat ini?Seketika aku merasa mataku mulai memanas
“Kalau begitu, pinjam saja uang amplopnya Nuri kemarin.” Aku sudah berusaha keras untuk mempertahankan suaraku agar tetap datar, tapi ternyata tidak bisa.“Duh, gimana sih kamu, itu kan uang buat dia, buat perisapan lahiran dia juga. Kasihan lah. Masa uangnya mau dipinjam buat pernikahan Syila?”Jadi jika untukku tidak kasihan? Apa dia lupa Andra masih harus melalui berbagai terapi untuk kakinya?Aku meletakkan gelas di westafel, mencucinya dalam diam.“Mia nggak punya simpanan lagi. Sudah habis. Apalagi sekarang dipakai buat bulan madu juga sama Mas Abrar. Kalau Ibu mau silakan ibu minta sama mereka, bukan sama Mia.”“Kamu kenapa sih? Kok jadi berubah pelit begini?!” Ibu membentakku kesal. “Ini buat adik iparmu juga loh, buat Syila! Bukan buat Ibu sendiri! Masa Ibu mau pinjam uang aja nggak dikasih? Nanti kalau sudah ada uangnya lagi Ibu juga ganti kok! Kayaknya kamu takut banget uangnya nggak
Beberapa hari sebelumnya.“Mobil siapa ini, Pak?” tanyaku kepada pria berseragam yang mengantarkan mobil itu ke rumah.“Benar dengan ibu Miranda Ardiana?” pria berseragam putih itu balik bertanya. Ia menunjukkan berkas di tangannya, memperlihatkan namaku.Aku mengangguk, tapi keningku semakin berkerut.“Iya, betul saya.”“Saya ditugaskan mengirim mobil ini ke rumah Ibu,” jawabnya tersenyum sopan.“Tapi saya nggak beli mobil,” tukasku cepat. Jelas ada kesalahan di sini.“Eh?” Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia melirik salah satu rekannya yang lain, bertanya saling melempar pandang. “Tapi ini alamat ibu dan nama ibu, kan?” tanyanya lagi.“Iya, Pak, tapi saya nggak beli. Saya nggak pernah bayar.”“Ehhh?” Kedua wajah itu semakin syok.Tak lama sebuah mobil lain datang, dan Rosa keluar
“Dah, Maa!!!” Andra melambaikan tangan di samping Jihan dan Silvia. Aku membalas lambaian tangannya dengan sebuah senyuman lebar, sebelum membawa mobil itu pergi menjauh. Kucoba menyalakan radio, berharap musik yang mengalun bisa membaurkan seluruh benang kusut dalam kepalaku.Tadi, ketika kami di perjalanan menuju sekolahnya, Andra tampak sedikit murung di kursi penumpang di sampingku.Padahal biasanya ia memiliki begitu banyak cerita tentang rencana bermainnya hari ini, meski kemarin sepulang sekolah ia sudah menceritakannya.“Andra kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku, mencoba menarik perhatiannya.Kepala bocah kecil itu tertunduk di sampingku. “Mama… kenapa… Tante Nuri nginap di rumah kita?” tanya Andra setelah diam beberapa saat.Tanganku mencengkram erat kemudi, sedang kepalaku sibuk mencari celah jawaban yang tepat tanpa menyakiti hati kecilnya.“Tante Nuri lagi sakit, makanya n
Karma itu nyata.Kau akan menuai apa yang kau tanam.Mungkin tidak secara langsung, mungkin tidak pada saat itu juga, tapi jelas karma tidak pernah salah sasaran.Lalu apakah ini karma Syila?Kenapa? Untuk apa? bisakah aku menemukan benang merah agar aku merasa tenang dan mengabaikan musibah yang terjadi kepadanya?Hidup akan selalu berada di antara pilihan-pilihan. Dari hal yang spele, seperti ketika kau harus memilih antara makan malam sisa makanan siang tadi yang dipanaskan, atau memilih menenggelamkan diri dalam lelap, dalam keadaan lapar, sampai menentukan pilihan untuk hal yang lebih kompleks, seperti apakah kau harus mengatakan tentang perselingkuhan calon suami adik iparmu, atau tetap bungkam.Sejujurnya, kini semua jawabanku menjadi lebih subjetif. Jika aku mengetahui hal ini sejak dulu, aku takkan mungkin berdiri dengan setenang itu saat melihat Aldo bersama gadis lain di sebelahnya begitu saja. Sebuah tamparan? Sebuah pukulan? Ata
Langkahku terhenti di ruang tamu. Sebelumnya, di dinding itu terpasang foto pernikahanku dengan pria itu dalam bingkai berukuran 10 R. Praktis, setiap tamu yang berkunjung ke rumah kami pasti akan mendapat sapaan pertama dari foto itu. Lalu ketika Andra hadir, kami menambahkan tiga bingkai foto Andra ketika bayi.Sekarang, secara ajaib dengan bertambahnya kepala di rumah itu, bertambah juga bingkai foto yang ditempel. Sialnya itu bukan foto yang bisa membuatmu tersenyum saat mengenang memori yang dibawa bersamanya.Bingkai lain yang terpasang di sana adalah bingkai foto pernikahan kedua pria itu, tepat di samping foto pernikahan kami, sekarang terlihat seperti foto parade penikahan, tapi dengan wajah pria yang sama.Bukankah itu terasa sangat memuakkan?Dengan gusar aku mengambil kursi, lalu menaikinya untuk menurunkan bingkai itu.“Mbak Mia! Kenapa diturunin?!” pekik gadis itu saat keluar dari kamar, lagi-lagi menggunakan
Kabar itu menjadi sebuah malapetaka lain bagiku.Meskipun akhirnya Syila selamat, tapi kenyataan bahwa ia melakukan bunuh diri karena kabar yang kuberikan menjadi bahan rumor yang begitu hangat. Ibu mertuaku bahkan secara terang-terangan tidak mengizinkanku masuk lagi ke rumahnya, padahal rumah itu masih atas namaku.Untuk kesekian kalinya, aku menonton video rekaman kecelakaan Andra beberapa waktu yang lalu. Siang itu, ia bermain bersama Lily ke gerbang belakang sekolah. Tempat yang sepi dan jarang didatangi anak-anak. Silvia benar, kunci selot di pintu belakang sangat sulit dibuka oleh anak-anak seperti Andra dan Lily, tapi siang itu mereka bisa membukanya hanya dengan sedikit berjinjit.Andra tampak ragu sejenak saat pintu gerbang terbuka. Ia berkali-kali menoleh ke belakang, seakan khawatir akan dimarahi guru. Namun, Lily menarik tangannya hingga mereka berada di trotoar di luar gerbang. Dua bocah kecil itu berdiri di samping jalanan yang cukup ramai tanpa p
Suaranya lebih nyaring dari pada terompet di malam tahun baru, atau petasan di acara pernikahan, dan aku mulai berpikir sebentar lagi cermin-cermin akan pecah karena lengkingan suara gadis itu.Andra menangis keras di belakangku, sedangkan wajah Xei sudah memerah, aku yakin sebentar lagi ia akan menampar gadis itu jika terus berteriak.“Di… dia menikah lagi?” desis Xei marah.Apa jawaban untuk pertanyaan itu penting sekarang?Kami sudah menjadi pusat perhatian kantin rumah sakit yang cukup ramai sore itu. Orang-orang mulai berbisik, membicarakan kami dengan lirikan-lirikan judgemental yang maha tau. Jelas, di mata mereka aku dan Xei adalah penjahat seperti yang gadis itu tuduhkan.“APA? MBAK MAU NGELAK APA LAGI SEKARANG?! AKU AKAN LAPORIN SEMUANYA KE MAS ABRAR! AKU AKAN KASIH TAU DIA BETAPA MUNAFIKNYA ISTRI YANG SELAMA INI DIA JAGA. TERNYATA MBAK SENDIRI PUNYA LAKI-LAKI LAIN DI BELAKANG MAS ABRAR!”“Tolon