"Nggak salah kan?" timpal Raline berbarengan dengan Hamid.
Hamid pun memandangi Raline dengan penuh cinta. Sorotan mata itu, masih sama. Belum berubah. Penuh cinta dan ketulusan."Apa-apaan sih kamu?!" pekik Galih yang menarik tangan Raline saat saling pandang dengan Hamid.Andre pun mencoba merelai pertengkaran itu yang akhirnya membuat Raline jadi bingung."Andre, kenapa kamu jadi sama Galih? Ada apa sebenarnya?" cecar Raline yang merasa aneh karena Galih dan Andre datang bersamaan."Nanti kalau waktunya sudah tepat, aku akan—""Ceritanya panjang, Lin. Andre itu adikku yang hilang. Aku juga sekarang udah bertemu lagi sama Ibuku," teriak Dion yang berjalan menghampiri mereka."Mas Dion dan Andre adik kakak?"gumam Raline dalam hatinya.Karena suasana yang sudah tidak nyaman, Hamid pun memutuskan pulang. Ia tidak ingin membuat keributan di rumah sakit. Terlebih, sikap Nyony"Nggak, Uncle. Kue ini buat uncle. Uncle, mau kan jadi Papi aku?" celetuk polos Austin.Wajah Raline seketika berubah. Ia pun syok saat mendengar jawaban Austin yang meminta Hamid menjadi Papinya. Terlihat wajah Galih berubah. Netranya pun menatap Raline dengan berkaca dan menahan agar bulir bening itu tidak jatuh.Galih pun memundurkan kursi rodanya dan memutar arah meninggalkan ruang tamu itu. Dion pun langsung menyusul sahabatnya itu.Hamid yang merasa tidak enak pun akhirnya mengejar Galih disusul oleh Raline."Mas, Mas, tunggu!" panggil Raline. Galih tak memperdulikannya. Ia telanjur sakit hati mendengar kata-kata sang putra."Galih, jangan kayak anak kecil! Itu hanya perkataan anak-anak. Masa sih lu ambil hati? Austin itu darah daging lu. Ingat, Galih! Ikatan darah itu lebih kuat dari apapun," pekik Hamid yang berusaha agar Galih tidak salah paham lagi."Gue kayak anak kecil? Ah, iya betul. Tapi, gue juga pun
Sebelum memasuki mobilnya, Andre pun mengambil ponselnya di saku celana. Ia pun menghubungi seseorang.[Siapkan semuanya.]Andre pun langsung membawa kendaraannya menuju sebuah cafe sederhana yang menjual makanan khas sarapan pagi. Bubur ayam yang nikmat dan sangat disukai Mamanya yang dulu sering datang bersama Papanya sebelum rumah tangga mereka luluh lantak karena kehadiran seorang pelakor bernama Amira."Yuk, Bu. Kita turun," ajak Andre saat mobilnya telah berhenti di depan Cafe 'Mangga Dua'."Bu," tegur Andre saat melihat Mama Galih itu termenung saat melihat plang nama cafe.Amira diam termenung. Tubuhnya seketika menggigil saat turun dari mobil dan mulai melangkahkan kakinya memasuki cafe itu. Cafe yang sangat ia kenali."Kenapa, Bu? Apa sebelumnya Ibu pernah mendatangi cafe ini?" tanya Andre."Ng-gak. Tapi sepertinya tempatnya enak ya," jawab Ibu Amira terbata.
"Andre, apa dia Amira yang dulu sudah mengusir kita dan merebut Papa kamu?" teriak Nyonya Amira saat Andre dan Dion melangkah pergi.Wajah Andre seketika panik. Begitupun dengan Dion.Keduanya saling pandang dan Andre pun mencoba mendekati Mamanya."Ma, Mama di sini dulu ya. Sama Galih. Aku mau bantu cari Mamanya Galih yang hilang," ucap Andre berpamitan.Nyonya Amanda pun mengangguk. Ia pun akhirnya mengijinkan kedua putranya itu pergi dan meninggalkannya di dalam rumah sederhana itu.Galih pun mulai mengajak Nyonya Amanda bicara. Amanda sebagai seorang ibu akhirnya iba saat bercerita tentang kehadiran sosok ayah sambungnya yang begitu kasar."Aku benci sama dia,Bu. Dia sudah membuat Mamaku tersiksa bertahun-tahun. Aku nggak akan pernah memaafkan dia jika suatu saat kami bertemu lagi," ujar Galih yang berubah bengis.'Apa yang membuat kamu begitu membencinya?" tanya Amanda.Galih menera
Suasana malam itu membuat Andre dalam situasi yang tidak diharapkan. Ia dipaksa keadaan untuk memaafkan orang-orang yang sudah membuat keluarganya hancur. "Nggak! Aku nggak bisa memaafkan kalian setelah semua penderitaan yang ku alami bertahun-tahun," pekik Andre saat Dion meminta adiknya itu memaafkan Galih dan Mamanya."Kamu bicara begini karena Galih sahabat kamu kan? Kamu enak, Mas. Hidup kamu dalam kemewahan saat kita berpisah. Sedangkan aku? Aku harus berjuang mati-matian demi bertahan hidup.""Dan kamu tahu, aku harus menjaga Mama yang mengalami gangguan kejiwaan. Dibully karena memiliki orang tua gila bertahun-tahun. Karena apa? Karena mereka!" bentak Andre menunjuk ke arah Nyonya Amira dan Galih."Andre, apa belum setimpal atas semua yang kamu lakukan padaku? Aku sudah kehilangan semuanya. Aku cacat seumur hidupku. Aku kehilangan istri. Kehilangan karir dan bahkan seumur hidupku tidak ada wanita yang mau menikah denga
Raline dan Galih memang sudah resmi bercerai. Pengkhianatan Galih begitu menorehkan luka di hati Raline hingga sulit baginya untuk memutuskan menerima kehadiran pria lain dalam kehidupannya. Terlebih, ia mempunyai Austin. Belum tentu, pria pengganti Galih akan bisa menyayangi dan menerima kehadiran Austin. Bahkan, perjuangan Hamid pun tidak membuat Raline tergugah.Setelah beberapa saat tidak menjalin komunikasi, malam itu Hamid kembali menghubungi Raline. Bukan untuk menanyakan kelanjutan hubungannya.Tetapi, Hamid ingin berpamitan. Ia memutuskan kembali ke Jepang, karena merasa perjuangannya harus berhenti sampai di sini.[Raline, besok aku akan kembali ke Jepang. Aku percayakan bisnis itu ke kamu dan Sisil. Aku yakin, kalian sanggup membuat perusahaan itu besar.]Raline hanya diam saat membaca pesan pria yang sudah ia lukai hatinya itu. Tidak tahu harus menjawab apa, hingga beberapa saat, Hamid kembali mengirimkan pesan pada
"Hamid San, kippo to kuruma no junbi gadeikiteimasu, anataha Indonesia ni iku junbi gadeikiteimasu.""Arigatou."Hamid akhirnya memutuskan kembali ke Indonesia. Seperti kata Sisil, ia harus menekan egonya dan memperjuangkan cintanya pada Raline. Hatinya ternyata tidak bisa berbohong, ia nggak sanggup jauh dari Raline dan Austin.[Hamid, stop. Lupakan Raline. Banyak wanita yang ingin menikah denganmu. Please, tinggalkan janda beranak itu.]Pesan yang dikirimkan oleh Lexy, adik Hamid hanya dibacanya. Ia.tahu, perjuangannya menikahi Raline penuh liku. Kini adiknya sudah mengetahui jika sang kakak kembali mengejar cinta Raline. Mungkin, sebentar lagi pertentangan itu akan datang dari kedua orang tuanya.[Silakan kalau kamu mau ngadu sama Mama dan Papa, aku nggak pernah takut. Ini hidupku. Aku tahu, apa yang terbaik untuk hidupku.]Setelah membalas pesan sang adik, Hamid mematikan ponselnya dan fokus deng
"Cinta terkadang disadari di saat seseorang yang kita cintai, justru telah atau akan di bahagiakan oleh orang lain ...."Galih pun syok saat mendengar apa yang dikatakan Sisil jika Raline dan Hamid akan menikah. Austin pun akan ikut bersamanya tinggal di Jepang."Raline, kamu benar mau menikah? Membawa Austin ke Jepang? Nggak! Aku nggak akan pernah membiarkan itu terjadi," pekik Galih."Hamid, kamu ini lucu ya. Tiba-tiba hadir di kehidupan anak saya dan Raline. Jangan-jangan, kamu memang sengaja menjebak Galih dengan perempuan itu, agar Raline dan Galih cerai. Iya ya?" bentak Nyonya Amira."Maaf, Bu, saya tidak selicik itu!" ujar Hamid tegas."Bu Amira, kalaupun dijebak, toh anak Ibu ini berselingkuh kan? See, emang dianya aja nggak bisa setia," sindir Sisil dengan wajah ketus."Galih, aku mohon, kembali sama aku demi Austin," pinta Galih."Raline, nggak! Hamid sudah menjadi pilihan ter
"Percayalah, jika jodoh takkan ke mana ...."Rencana pernikahan Hamid dan Raline akhirnya terdengar Amran dan Marissa, ibu sambungnya. Sejak perceraian kedua orang tuanya, Hamid dan sang adik memutuskan tinggal bersama ayah dan ibu sambungnya.Amran pun menentang keras rencana pernikahan Hamid dan Raline yang kini sudah berstatus janda beranak satu. Ia tidak ingin, harta yang dimiliki oleh Hamid, hanya habis mengurus anak sambungnya.[Hamid, Papa mau kamu segera kembali ke Jepang. Perusahaan kamu itu jauh lebih penting daripada mengurus Raline dan anaknya yang penyakitan itu!]Pesan itu akhirnya dibaca oleh Hamid. Ia pun tidak terlalu mengindahkan pesan papanya. Bagi Hamid, hanya dia yang berhak menentukan kebahagiaannya. Bukan orang lain. Meskipun itu Papanya sendiri.[Maaf, Pa. Aku akan tetap dengan keputusanku. Aku akan tetap menikahi Raline. Dengan atau tanpa restu Papa dan Bunda. Bagiku, tidak ada bedanya. Ra