“Rumi!” Qai berbalik ketika menyadari Rumi tidak berada di sampingnya. Gadis itu berjalan pelan di belakang, setelah mereka keluar dari lift lobi gedung apartemen Alpha. “Kenapa lagi?”“Mas.” Begitu menyadari dirinya tertinggal, Rumi segera berlari kecil menghampiri Qai. “Apa surat yang ditandatangani mas Al tadi kuat? Kita nggak pake materai dan surat itu juga nggak ditandatangani di depan notaris. Sorry, Mas, tapi aku makin nggak tenang ngelihat mas Al yang … aku kenal dia, Mas. Kenal banget, jadi—”“Rumi.” Tangan Qai reflek terangkat dan berniat untuk memegang kedua lengan gadis itu. Namun, mengingat statusnya saat ini adalah seorang suami, maka Qai mengurungkannya. “Tenang. Bu Agnes … aku memang belum kenal betul dengan beliau. Tapi sejauh ini, bu Agnes adalah orang yang jujur di dalam keluarga Mahawira. Selain Hera.”“Tapi suratnya pasti nggak kuat, Mas.” Rumi memang tidak mengerti hukum secara mendalam, tetapi ia yakin sekali surat yang baru saja dibuatnya dan ditandatangani ter
Pagi itu, penampilan Rumi sudah terlihat rapi. Dengan setelan blazer merah muda dan celana kerja berwarna hitam, sangat membuat penampilan Rumi tampak menawan. Namun, perasaannya masih saja resah terkait ucapan Dandi tadi malam.Selama Rumi menghilang dari peredaran, ia sangat membatasi pergerakannya. Terlebih, tempat tinggal Rumi saat ini berada di perkampungan yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Jarak antara kantornya dengan kosannya pun hanya membutuhkan waktu 15 menit dan itu pun Rumi berangkat melalui jalan tikus yang bebas hambatan.Karena itulah, selama ini tidak ada siapa pun yang bisa menemukan di mana posisi Rumi.“Sudah mau berangkat?” Dandi tidak jadi meneruskan langkahnya menuju dapur, saat melihat Rumi baru saja keluar dari kamarnya. “Pagi-pagi begini?”Rumi mengangguk pelan penuh keraguan dan rasa cemas. Ia menghampiri Dandi, sembari menggenggam erat tali tas kerjanya.”"Saya sudah buatin sarapan. Bekal makan siangnya Mas Dandi juga sudah di meja makan.”“Teru
“Rafa otewe ke …” Dandi lantas menunjuk sedan hitam, yang baru saja berhenti di depan rumahnya. Memberitahu pada Qai yang juga baru sampai di rumah Dandi. “Aku sebenarnya sudah malas ngeladeni iparmu itu, Qai. Tapi dia rupanya keras kepala.” Setelah melihat sedan hitam tersebut, Qai kembali beralih pada Dandi. Awalnya, Qai tidak ingin ikut campur dengan permasalahan Rafa, Hera, dan Rumi. Namun, setelah Qai memikirkannya lagi, Qai merasa memiliki tanggung jawab dengan kondisi Hera, pun dengan Glory saat ini. Karena itulah, Qai tiba-tiba tidak setuju jika Rafa ingin melepas semua yang telah menjadi tanggung jawabnya. “Rumi ngapain?” tanya Qai. Dandi mengendik. Tidak melepas tatapannya pada sosok Rafa yang baru keluar dari mobil. Pria itu bisa langsung memasuki rumahnya, karena Dandi tidak menutup dan mengunci pagar setelah kedatangan Qai. Lagi pula lingkungan di perumahan Dandi termasuk sangat aman, meskipun hampir-hampir tidak ada interaksi antar tetangga di sana. “Sore,” sapa Dandi
“Berteman.” Dandi berdecih ketika melihat Rafa baru memasuki mobilnya. Tatapannya kemudian beralih pada Rumi yang masih tersenyum, seusai melambaikan tangan pada Rafa. “Jadi, kamu mau berteman sama Rafa.”Dahi Rumi mengernyit saat menatap Dandi. Bibir yang sempat tersenyum untuk Rafa pun seketika berubah mengerucut. Rumi memberi tatapan tanya atas sikap Dandi yang tampak sinis. Namun, Rumi tidak berani melempar protes dengan frontal, karena ia masih menumpang di rumah Dandi untuk sementara waktu. “Berteman, kan, nggak ada salahnya, Mas?”“Pantas aja kamu gampang dikibulin sama Alpha.”Giliran Qai yang mengernyit atas sikap Dandi. Pria itu memang cenderung bersikap sinis dan apatis, tetapi ini sudah keterlaluan. Jangan-jangan, kecurigaan Rafa yang sempat disampaikan beberapa waktu lalu, benar adanya. Dandi menyukai Rumi, tetapi pria itu tidak menyadarinya.Sebenarnya, Qai juga mulai mencurigai hal tersebut, tetapi ia masih mencari bukti-bukti terlebih dahulu untuk meyakinkan hatinya. B
Rumi gelisah. Tidurnya benar-benar tidak nyenyak, karena pernyataan kompak yang dilontarkan keluarga Dandi ketika makan malam. Ketiga orang itu sungguh memberi sebuah masalah baru, yang harus dipikirkan lagi oleh Rumi.Akan tetapi, semua hipotesis yang dibahas semalam bisa saja menjadi kenyataan. Rumi sangat mengenal Alpha dan pria itu juga sanggup melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Alpha hanya akan diam, jika lawannya memiliki kekuasaan yang lebih daripadanya. Bila tidak, pria itu bisa dengan semena-mena menumpahkan kekesalannya pada orang lain. Contohnya, Rumi.“Pagi, Rum!” Tya baru saja hendak pergi ke dapur, saat ia melihat Rumi sudah terlihat rapi dengan pakaian formal. Hari masih terbilang pagi, tetapi gadis itu sepertinya akan segera pergi bekerja.“Pagi, Tante.” Rumi terpaku ketika baru saja menutup pintu kamar. Namun, tangannya reflek menunjuk ke arah dapur dengan sopan. “Sarapannya sudah siap, kalau Tante sama om mau makan.”Tya segera berbelok menghampiri Rumi yang
Qai melirik pada kotak bekal yang ada di meja kerja Dandi, ketika ia memasuki ruang kerja pria itu. Karena hari ini Dandi tidak meninjau proyek pembangunan hotel, maka pria itu kini berkantor di gedung The-A. Tidak perlu ditanya lagi, bekal makanan tersebut pastilah buatan Rumi. Sejak gadis itu tinggal di rumah Dandi, pria itu tidak pernah lagi muncul di kediaman Sebastian untuk menumpang sarapan seperti biasanya. Dandi juga tidak mampir untuk makan malam dan hanya menghubungi Jaya melalui telepon. Qai jadi bertanya-tanya sendiri, seperti apa perasaan Dandi sebenarnya terhadap Rumi. Mereka mungkin baru serumah dalam waktu yang sangat singkat, tetapi Dandi terlihat sudah terlalu nyaman dan posesif pada Rumi. “Dan, apa kamu tahu kalau aku dulu pernah mau jodohin kamu dengan Rumi?” Qai berbelok menuju sofa. Ia segera duduk, lalu membuka laptop yang baru saja ia letakkan di pangkuan. “Aku juga pernah mau mempekerjakan Rumi jadi sekretarismu, tapi dia milih stay di Glory.” Dandi menar
Sebenarnya, ada apa dengan Dandi?Rumi jadi bingung sendiri dengan sikap pria itu. Bagi Rumi, Dandi itu terlihat cuek, tetapi di satu sisi pria itu sangat posesif terhadapnya. Namun, terkadang Dandi juga menunjukkan perhatiannya pada Rumi.Kalau sudah seperti ini, Rumi jadi pusing sendiri. Terlebih lagi, ketika pria itu lebih dulu sampai di kantornya daripada Rafa.“Masuk.” Dandi membuka pintu mobil dari dalam untuk Rumi. Gadis itu berdiri di samping pintu dan hanya terpaku melihat Dandi.“Mas, saya sudah terlanjur bikin janji sama pak Rafa.” Karena mereka berdua sudah memiliki komitmen untuk berteman, maka Rumi tidak lagi segan untuk bertemu dengan Rafa. Lagipula, sebentar lagi Rumi akan kembali ke kota kelahirannya dan meninggalkan semua hal yang ada di Jakarta.Belum lagi, Rafa juga sudah positif akan tetap berada di Glory untuk membantu Agnes. Untuk itulah, Rumi menganggap pertemuan malam ini adalah sebuah perpisahan belaka.“Harusnya kamu bilang ke aku dulu, sebelum bikin janji,”
Rumi benar-benar sakit kepala dibuatnya. Saat ini, Dandi sedang duduk berseberangan dengan Rafa dan Rumi sebagai penengahnya. Jika melihat dari usia, kedua pria yang tengah ada bersamanya saat ini sudah bisa dikategorikan sangat-sangat dewasa. Kemampuan mereka berdua dalam memimpin sebuah perusahaan, sungguh tidak perlu diragukan lagi.Akan tetapi, dibalik itu semua Rumi mendapati sifat kekanakan yang sungguh tidak bisa ia percaya. Terlebih-lebih dengan Dandi. Sikap pria itu semakin tidak jelas saja.“Mas Dandi nggak pesan makan?” Setelah Rumi dan Rafa memesan menu makan malam mereka masing-masing, hanya Dandi seorang yang hanya memesan minuman.“Aku sudah pernah bilang, aku nggak terlalu suka dengan makanan resto atau kafe.” Dandi menatap punggung pelayan yang berjalan menjauh dari meja mereka dengan malas. Jauh di sudut hatinya, Dandi tengah mempertanyakan perihal perbuatannya saat ini.Bukankah Dandi hendak pergi untuk bertemu sang mama? Namun, mengapa akhirnya Dandi harus terjebak