“Rumi?” Rafa segera berdiri dari kursinya, ketika melihat Rumi berjalan bersama Qai dan Dandi. Debaran jantung yang tadinya baik-baik saja, mendadak berdegup tidak karuan setelah melihat gadis itu di depan mata.
Rafa kira, hatinya sudah aman-aman saja setelah Rumi menghilang tanpa kabar sama sekali. Terlebih lagi, Rafa telah memiliki Hera yang sudah menjadi pusat dunianya selain Glory.
“Mas! Urgen!” Qai segera berceletuk, sembari menarik kursi di samping Rafa dan duduk di sana. “Tolong telpon Alpha dan cari tahu posisi dia sekarang. Aku tadi sempat nelpon bu Agnes dan— Mas!” Qai sampai harus menepuk lengan Rafa, yang masih saja tercenung saat melihat Rumi. Dahulu kala, Rafa memang memendam rasa pada Rumi, tetapi tidak berbalas. Namun, Qai tidak menduga jika perasaan itu ternyata masih ada sampai saat ini.
“Ah ya! Rumi!” Rafa mengerjap. Ia kembali duduk dengan perlahan, tanpa melepas tatapan penasaran pada gadis itu. “Risa bilang, kemarin kamu pergi sama Alpha ke kantor polisi.”
Dandi duduk di samping Rumi, lalu menyangga wajah dengan malas. Kenapa juga ia harus ikut campur dalam urusan pribadi keluarga Mahawira? Kalau bukan Jaya yang memaksa, Dandi pasti sudah kabur pulang ke rumah dan menikmati hari minggunya dengan santai.
Rumi yang duduk berseberangan dengan Qai menggeleng. Sekian lama tidak bertemu Rafa, pria itu tampak semakin dewasa dan lebih berwibawa. Namun, tidak demikian dengan Alpha, Qai, dan Dandi yang tetap terlihat begitu-begitu saja.
“Mas Alpha, nggak bawa saya ke kantor polisi, Pak,” ucap Rumi masih dilanda cemas dan kebingungan yang tidak kunjung mereda.
“Alpha bawa Rumi ke apartemennya,” sambar Qai kemudian menjelaskan semua hal yang didengarnya dari Rumi pada Rafa. Meskipun tidak secara detail, tetapi Qai yakin Rafa telah mengerti dengan semua hal yang terjadi.
“Jadi …” Semua yang diceritakan Qai tidak bisa dianggap sepele. “Ada kemungkinan Alpha sekarang masih ada di apartemennya?”
“Mu-mungkin, Pak.”
Rafa meraih ponsel yang sejak tadi ada di meja. Karena tidak memiliki nomor Risa, maka Rafa segera menghubungi Agnes. “Tunggu sebentar.”
Rumi mengangguk dan hanya bisa menunggu.
“Ma, apa Alpha sudah bisa dihubungi?” tanya Rafa setelah Agnes menerima panggilannya di ujung sana.
“Belum, Raf.”
“Bisa minta tolong suruh Risa ke apartemen Alpha yang lama?” pinta Rafa. “Saya juga ada urusan urgen sama Alpha, Ma. Masalah kerjaan.”
Saat Agnes mengiyakan, Rafa segera mengakhiri panggilannya dengan sopan. Ia kembali fokus pada Rumi, yang masih saja memesona seperti dahulu kala.
“Yang jadi masalah sekarang, semua sudah tahu kalau Alpha kemarin pergi sama Rumi.” Rafa tidak bisa berpikir. Tindakan apa yang akan dilakukannya setelah ini.
Di satu sisi, Rafa ingin sekali berada di pihak Rumi. Namun, di sisi lain Rafa sudah terikat dengan Hera dan memiliki tanggung jawab penuh atas diri wanita itu. Meskipun, kondisi Hera saat ini masih belum ada kemajuan yang berarti. Hera masih berada di kursi roda dan tidak lagi memberi respons sama sekali.
“Karena itu, Mas, kita mau tahu dulu kondisi Alpha,” ujar Qai. “Kalau memang nggak ada apa-apa, masalah ini bisa jadi dendam personal. Rumi bisa terancam.”
“Urusan Alpha, serahkan sama saya.” Rafa menyalakan kembali layar ponselnya, lalu menatap Rumi. “Berapa nomor hapemu, Rum? Nanti, begitu saya dengar kabar dari Alpha, kamu langsung saya kabari.”
Rumi tidak bisa menolak, karena ia juga membutuhkan kabar Alpha sesegera mungkin. Lantas, ia menyebutkan nomor ponselnya dan Rafa langsung melakukan misscall saat itu juga.
“Save nomorku,” titah Rafa masih saja merasa terhimpit karena statusnya saat ini. Rafa adalah pria beristri dan harus menjaga jaraknya dengan Rumi.
“Karena nggak ada lagi yang bisa kita bicarain, pulanglah dengan Dandi, Rum.” Qai mengeluarkan kunci mobil dan menyodorkannya pada Dandi. “Pake mobilku dan titip Rumi.”
“Maksudnya?” sambar Rafa tidak mengerti. Kenapa Rumi harus pulang dengan Dandi?
“Untuk sementara, Rumi tinggal di rumah Dandi,” jelas Qai. “Dan, ada yang mau aku bicarain sama kamu sebentar, Mas.”
Rumi kembali menurut. Ia bangkit dan mengucapkan terima kasih dengan formal pada Rafa terlebih dahulu, sebelum pergi dengan Dandi.
“Mas, kalau mau ambil keputusan, lebih baik ambil sekarang,” ujar Qai setelah Rumi dan Dandi mulai menjauh.
“Keputusan?”
“Hera … Rumi, atau—"
“Qai—”
“Aku nggak mau ikut campur, Mas.” Qai mengangkat kedua tangannya sebentar. “Tapi, pikirkan baik-baik sebelum kamu mengambil satu keputusan. Karena yang aku tahu, baik Rumi ataupun Hera, mereka sama-sama nggak punya perasaan sama kamu. Jadi, sekali lagi aku bilang, pikirkan semua baik-baik.”
~~~~~~~~~~~
“Ini kamarmu.” Dandi membuka pintu sebuah kamar tamu di lantai satu dan mempersilakan Rumi memasukinya. “Ada dua kamar di lantai satu dan satu kamar di lantai dua, kamarku. Nanti, kamu bisa keliling sendiri dan cari tahu sendiri. Tapi nggak usah ke lantai atas, karena seluruh lantai dua itu wilayahku.”
Rumi mengangguk. Untuk sementara ini, ia tidak memiliki pilihan lain. “Makasih, Mas. Saya janji na—”
“Nggak usah janji-janji,” putus Dandi yang sejak awal tidak setuju dengan penempatan Rumi di rumahnya. “Pokoknya, begitu kita tahu kondisi sama lokasi Alpha, baru— ck!” Dandi merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya yang berdering. Ia menjauh dari Rumi, begitu tahu siapa yang menelepon saat ini. “Ya, Ma?”
“Kamu sudah di rumah atau belum?”
“Baru aja sampai.” Tiba-tiba saja, Dandi memiliki firasat buruk. “Kenapa?”
“Mungkin … 20 menitan lagi Mama sampai ke rumahmu.”
Benar dugaan Dandi. Firasat tidak enaknya barusana adalah tentang kedatangan mamanya ke rumah sebentar lagi. Hal ini pasti berkaitan dengan Rumi, yang akan tinggal sementara waktu di kediaman Dandi.
“Ma, mau ngapain ke sini?” Dandi pasti akan dibuat pusing dengan tingkah sang mama nantinya. Entah apa yang akan dilakukan mamanya itu pada Rumi, jika mereka berdua bertemu.
“Mau nengokin anak Mama yang lebih suka nengokin omnya, daripada orang tuanya sendiri.”
“Ma—” Dandi berdecak keras, saat sang mama mengakhiri pembicaraan mereka secara sepihak. Untuk itu, Dandi kembali menghampiri kamar Rumi yang pintunya masih terbuka. Ia berdiri di bibir pintu dan melihat gadis itu duduk di sudut tempat tidur dengan kaku. “Mamaku mau ke sini sebentar lagi. Jangan terlalu caper dan nggak usah banyak bicara. Kala ditanya jawab, kalau nggak ditanya mending diam. Oke Rum?”
Rumi mengangguk pelan. “Oke, Mas.”
Alpha mematung, ketika pelukan hangat Anges menyambutnya di saat ia melewati pintu penjara. Ia tidak melihat siapa pun, selain Agnes yang mulai menangis haru ketika memeluknya. Ke mana perginya Hera? Kenapa adiknya itu tidak ikut menjemputnya? “Mama sendiri?” tanya Alpha akhirnya bersuara, ketika Agnes mengurai pelukannya. Agnes mengangguk-angguk dan mengerti dengan maksud Alpha. “Nanti, Mama jelasin sambil jalan.” Yang bisa Alpha lakukan, hanya mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Alpha segera memasuki mobil bersama Agnes. Dua tahun lebih berada di balik jeruji, membuat Alpha mendapat banyak pelajaran. Ia bertemu dengan berbagai macam orang, dari berbagai tingkat sosial dan pendidikan yang berbeda. Semua itu, membuatnya lebih banyak memahami tentang kesakitan yang ada di dunia lebih luas lagi. “Jadi, ke mana Hera?” “Cairo mendadak demam kemarin sore.” Agnes bercerita tentang putra Rafa dan Hera yang berusia tiga bulan. “Tadi malam sudah dibawa ke dokter, jadi, Hera nggak bisa ikut
“Kamu yakin nggak mau ngadain resepsi?” Rafa kembali mengulang pertanyaannya pada Hera, setelah mereka masuk ke dalam kamar. Tepatnya, di kamar Hera yang berada di rumah Agnes. Beberapa waktu lalu, mereka sudah melangsungkan ijab kabul di kediaman Soerapraja dan digelar dengan tertutup. Tidak hanya pernikahan mereka yang dirahasiakan, tetapi kedatangan Alpha ke kediaman Soerapraja pun dilakukan secara diam-diam. Semua bisa dilaksanakan, karena koneksi Hermawan dengan beberapa petinggi terkait. Tidak ada yang mengetahui hal tersebut, kecuali pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.Bahkan, Agnes sama sekali tidak mengabari Qai, untuk menghindari gesekan yang mungkin saja terjadi sewaktu-waktu. “Mas Rafa mau ngadain resepsi?” Hera bertanya balik, karena sudah kesekian kalinya Rafa mempertanyakan hal tersebut padanya.“Aku ikut kamu.” Rafa menarik lengan Hera yang hendak pergi menjauh darinya. Kemudian, Rafa mengalungkan kedua tangan di tubuh Hera dan tidak membiarkan wanitanya pergi ke
“Akhirnya!” Dandi berseru lega, sambil menghampiri Rumi yang duduk di ruang tengah. Istrinya itu sedang menonton televisi, sambil makan martabak seorang diri. “Akhirnya, tidur juga.” Rumi terkekeh, lalu menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Haduuh!” Dandi menghempaskan tubuhnya, kemudian menyomot satu potong martabak yang ada di pangkuan Rumi. “Dia bolak balik nanyain kamu terus dan nggak berhenti ngoceh.” “Aku nggak tega sebenernya, Mas.” Rumi semakin merapatkan tubuhnya, lalu bersandar pada tubuh Dandi. “Tapi, Dirga kalau nggak diginiin, nggak bakal lepas-lepas ASI. Sudah dua tahun lebih, tapi masih aja nempel.” Putra mereka yang diberi nama Dirgantara Sebastian, memang masih saja menyesap ASI meskipun usianya sudah dua tahun lebih dua bulan. Rumi sudah melakukan segala cara, tetapi selalu berujung sia-sia. Tingkahnya benar-benar seperti Dandi yang selalu menempel, ketika Rumi masih hamil. Sampai akhirnya, Dandi memutuskan untuk memisahkan kamarnya dengan kamar putranya, karena
“Rumi.”Dandi kembali memasuki rumah, karena Rumi tidak kunjung keluar sedari tadi. Mobil sudah selesai di panasi, tetapi sang istri masih berada di dalam. Dandi memasuki kamar mereka terlebih dahulu dan berdecak ketika melihat Rumi ternyata tengah duduk di sofa.“Ayo—”“Perutku mules,” potong Rumi mengangkat satu tangan, agar Dandi tidak meneruskan ucapannya. “Baru aja berhenti.”Detik itu juga, wajah datar Dandi berubah semringah. Senyum lebar langsung menghiasi bibirnya, sembari menghampiri Rumi dengan segera. Dandi berlutut di depan sang istri lalu menempelkan telinganya di perut Rumi, sambil mengusapnya.“Keluar hari ini, oke!” telunjuk Dandi mengetuk perut Rumi dua kali. “Dan nggak usah pake drama.”“Apa, sih, Mas.” Rumi terkekeh sambil mengusap kepala Dandi. “Kalau sudah waktunya keluar, dia pasti keluar.”Dandi menarik diri, tetap kedua tangannya masih menempel di perut Rumi. “Apa perlu dijenguk lagi, biar makin—”“Maaas!” Tawa Rumi semakin keras. “Ini, tuh, sudah mulai mules,
Hari pertama di awal tahun sudah terlewat. Namun, Rumi belum menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rumi masih mengerjakan beberapa hal seperti biasa, meskipun pergerakannya sudah tidak segesit dulu. Ia gampang lelah, cepat gerah, sehingga terkadang malas melakukan apa-apa.Namun, saat mengingat ucapan ibunya, Rumi harus memaksakan diri untuk bergerak agar bisa melahirkan dengan mudah. Begitulah salah satu ucapan sang ibu, di antara banyak wejangan yang kadang membuat Rumi hanya geleng-geleng, tetapi tidak berani membantah.“Rumi, gimana kalau kita telpon dokter dan minta operasi.” Dandi jadi uring-uringan sendiri, karena belum bisa menjumpai buah hatinya secara langsung. Terlebih ketika mengingat Alaska yang semakin gembul dan mulai belajar membalikkan tubuhnya.“Mas, tanggal HPL baru lewat dua hari.” Rumi mencuci tangan, sesudah beres menyiram tanaman di halaman depan. Setelahnya, Rumi menghela dan terdiam sambil mengusap punggungnya yang pegal. Dandi yang sejak tadi hanya mondar
“Dandi! Balikin, Dan!” Thea melotot dan menghardik sepupunya. Pria itu baru saja masuk ke kamar Thea dan bersikap seenaknya. Tanpa izin, Dandi mengeluarkan bayi yang tengah tertidur pulas di boksnya, lalu menggendongnya. Meskipun Dandi terlihat sangat hati-hati, tetapi Thea tetap saja merasa ngeri.“Mamamu berisik!” desis Dandi sambil berbalik memunggungi Thea. Ia berjalan santai menuju sofa sambil menggendong keponakannya, lalu duduk dengan perlahan.Dandi sengaja menunggu Thea pulang ke rumah terlebih dahulu, barulah ia menjenguk sepupunya agar bisa lebih bebas. Andai Rumi lelah karena terlalu lama menjenguk Thea, istrinya bisa beristirahat bebas di kamar tamu.“Dandiii!” Thea hendak bangkit dari tempat tidur, tetapi tidak jadi, mengingat jahitan di jalan lahirnya masih terasa sedikit nyeri.“Aku belum beli kado,” ujar Dandi lalu melihat ke arah pintu. Ia melihat Rumi masuk menghampirinya, setelah pergi ke toilet terlebih dahulu. “Aku bingung mau ngasih apa, karena Alaska sudah puny
“Jangan mentang-mentang istriku pintar masak, kamu jadi seenaknyammpp—”“Apasih!” Thea yang baru berada di teras, langsung membekap mulut Dandi dengan tangan kanannya. “Kamu itu jadi cowok berisik banget! Ini urusan bumil, jadi nggak usah ikut campur.”Dandi melepas tangan Thea dan berdecak. “Untung kamu lagi hamil. Coba kal—”“Sudah.” putus Qai dengan membawa beberapa paper bag dan kantong plastik di kedua tangan. “Cobalah sehari aja kalian ini nggak ribut. Masa’ nggak bisa?”“Nggak bisa!” seru Thea dan Dandi bersamaan.Qai tercengang, tetapi tidak menghentikan langkahnya memasuki rumah Dandi, meskipun belum dipersilakan. Daripada mendengar kedua orang itu ribut, lebih baik Qai duluan masuk dan merebahkan diri di sofa.“Ngapain lagi kamu ke sini?” Dandi berbalik dan segera menyusul Qai.“Aku mules dari pagi,” ujar Thea berjalan di belakang Dandi, sambil mengusap perutnya. “Sudah ke rumah sakit, tapi ternyata belum bukaan.”Dandi menoleh dan memperlambat langkahnya. “Memang sudah wakt
“Ngapain senyum-senyum lihat hape.” Merasa curiga dan penasaran, Dandi merampas ponsel dari tangan Rumi, hingga istrinya itu langsung berteriak protes.“Mas!”“Apa ini?” Dahi Dandi mengerut, melihat deretan foto yang dikirimkan oleh Thea. Ternyata, istrinya sedang berkirim pesan dengan istri Qai yang semakin menyebalkan. “Ini—”“Buat bayi!” Rumi kembali merampas ponselnya. “Emang Mas kira aku ngapain?”“Selingkuh,” jawab Dandi dengan entengnya, lalu duduk di samping Rumi. Namun, baru saja bokongnya itu menyentuh sofa, Rumi langsung memberi cubitan pada sisi perut dengan Dandi dengan keras. “RUMI!”“APA!” Rumi balas menghardik, karena tidak suka dengan tuduhan Dandi. “Aku nggak suka dituduh-tuduh gitu! Aku nggak selingkuh!”Untuk beberapa saat, Dandi terngaga sambil mengusap sisi perutnya. Ini kali pertama, Dandi mendengar Rumi meninggikan suara di depannya dan bersikap bar-bar. Istrinya itu terlihat benar-benar marah, dengan kedua mata yang melotot kesal.“Bercanda, Rum,” desis Dandi
“Ini masih jam 11 kurang, Ra.” Rafa membuka pintu pagar dan mempersilakan Hera masuk. Ia melihat sebuah tas spunbond yang ditenteng Hera dengan kedua tangan dan tidak bisa menebak-nebak isi di dalamnya. “Mama yang nyuruh datang cepat, biar bisa bantuin mas Rafa nyiapin makan siang.” Hera menyerahkan tas yang dibawanya pada Rafa. “Ini dibawain mama, sate sama kari ayam. Biar nggak ngerepotin.” “Oh ...” Rafa terkekeh sambil mengambil alih tas spunbond berwarna merah dari tangan Hera. “Kalau begini, aku yang jadi ngerepotin. Oia, masuk dulu.” “Nggak ngerepotin,” ujar Hera sembari berjalan masuk ke rumah Rafa. “Sekalian masak buat di rumah soalnya.” “Kamu yang masak?” selidik Rafa. “Nggak mungkin.” Hera meringis malu. “Saya nggak jago masak.” “It’s okay.” Rafa tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. “Aku cari istri, bukan cari tukang masak.” Langkah Hera terhenti tepat di ruang tamu yang bernuansa hitam putih. “Mas, saya nggak bi—” “Bercanda, Ra.” Rafa terus berjalan masuk dan