Share

Adikmu Bukan Adikku Mas
Adikmu Bukan Adikku Mas
Author: Reg Eryn

Bab 1 Permintaan adik ipar

 

 

[Bang, kirimkan aku uang. Untuk beli ponsel]

 

Pesan masuk dari adik suamiku. Aku sengaja mengintip sekilas, saat Mas Dendi membuka pesannya di sampingku.

 

Enak saja dia meminta uang untuk beli ponselnya. Memangnya suamiku gudang duit!

 

Kulihat suamiku mengetik, mungkin balasan pesan untuk adaiknya. Wajah Mas Dendi sedikit berubah.

 

"Kenapa, Mas?" tanyaku pura-pura penasaran.

 

"Mmmm, ini si Rama minta dibelikan hape baru," jawabnya sambil menggaruk tengkuk.

 

"Oh, Hape apa?" tanyaku lagi penasaran. 

 

"Minta merk Samsul, yang ini." Dia menunjukkan gambar di ponselnya.

 

Uwawww... Ponsel seharga lima juta? Enak sekali hidupnya, ponsel semahal itu tinggal minta. Gaji abangnya sebulan juga bakal habis cuma untuk membelinya. 

 

Aku hanya melihat sekilas, lalu kembali duduk ke posisi semula tanpa berbicara sepatah kata pun.

 

"Belikan, ya, Dek! Cuma lima juta, kok." pintanya memelas.

 

"Ya, terserah kamu. Kalau kamu ada uang, dibelikan. Kalau nggak ada uang mau bagaimana lagi?" jawabku santai.

 

"Uang, Mas. Kan uang kamu juga, Dek. Jadi bisa dong kamu belikan dulu."

 

Heeiii! Uangmu memang uangku. Tapi uangku, ya tetap uangku. Jika untuk keperluan kamu sendiri, aku masih oke, lah. Kalau untuk adikmu! Sorry dory strowbery.

 

"Enak saja kalau ngomong. Uangku nggak ada kalau sampai lima juta!" ucapku beralasan. 

 

"Nggak mungkin!  Kamu kan jualan online. Reseller kamu juga sudah banyak. Jadi mana mungkin nggak ada uang," desaknya. 

 

"Uangku mau untuk modal. Lagian, kalau dia mau hape, beli sendiri napa!"

 

Sudah besar ini. Masa hape saja sampai minta dibelikan. Pacaran saja sudah bisa, giliran beli hape, cuma minta! Mau dikasih makan apa, anak orang nanti.

 

"Kamu kan tau, dia belum bekerja, Dek. Jadi, dia masih tanggung jawabku. Apa yang diingkinkannya harus aku turuti," ucapanya enteng.

 

"Ya, itukan tanggung jawabmu! Bukan aku! Jadi belilah pakai uangmu sendiri!" ujarku ketus. Enak saja adiknya juga jadi tanggung jawabku.

 

"Kamu, kan tau sendiri. Sekarang tanggal tua. Mana ada lagi uangku!" Wajahnya tampak kesal. Mungkin karena aku nggak mau tahu tentang adiknya.

 

"Kalau nggak ada uang, jangan sok sokan mau belikan adikmu hape baru!"

 

"Adikku, adikmu juga loh, Dek!"

 

"Tidak! Adikmu bukan adikku!"

 

"Kok gitu?"

 

"Bukannya selama ini dia nggak pernah menganggap aku ini kakak iparnya? Coba kamu ingat, apa pernah dia menelpon bertanya kabarku? Enggak kan!" jawabku ketus.

 

"Nggak tanya kabar, bukan berarti gak peduli, Dek!"

 

"Jadi, apa namany? Pokoknya, aku nggak mau ngeluarkan uang untuk beli hapenya."

 

"Kenapa sih! Kamu perhitungan sekali dengan keluargaku?"

 

"Loh, ya harus dong, Mas! Aku capek kerja, belanja segala jenis barang untuk kukirim sama resellerku. Naik motor sendiri, bawa barang sendiri. Tidak peduli hujan, tidak peduli panas terik. Aku tetap berjuang. Kok seenaknya saja mau dihamburkan!"

 

"Ini bukan dihamburkan, Dek! Ini untuk menyenangkan adikku!"

 

"Kalau mau nyenengin adikmu, ya, pakai uangmu sendiri. Jangan minta aku!"

 

"Dek! Aku harus bilang berapa kali. Aku ini nggak punya duit, lagi tanggal tua."

 

"Mas! Aku juga harus bilang berala kali. Kalau aku juga nggak punya uang untuk beli hape adikmu!"

 

"Kamu kenapa jadi keterlaluan begini sih, Dek?"

 

"Yang keterlaluan itu kamu, Mas! Hape aku aja cuma merk Opon dengan harga dua juta. Lah, dia. Udah minta, pake harga yang mahal lagi!"

 

"Itu karena dia belum kerja, Dek!"

 

"Makanya, disuruh kerja! Usia sudah 21 tahun, lelaki, sehat tanpa kekurangan. Masa apa-apa masih minta! Harusnya malu dong!" ejekku, dan langsung dapat pendelikkan dari Mas Dendi.

 

"Mau kerja apa? Dia cuma tamatan SMA, dek!" kekeuhnya

 

Lihatkan! Masih saja dibelain. Adik tidak tahu diri seperti itu. Tamatan SMA, bukan berarti harus menganggur di rumah. Banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan dari pada jadi pengangguran. 

Tamatan SMA bukan sebagai alasan untuk tidak bekerja. Aku saja yang tamatan SMA, bisa mencari uang juga.

 

"Apa ajalah, dari pada jadi beban keluarga!"

 

"Kamu, kok nyolot sih, Dek?" tanyanya marah.

 

"Ya, iyalah. Siapa coba yang nggak bakal nyolot, kalau punya adik seperti itu. Minta hape seenak udelnya sendiri. Kamu harus bisa bedain, Mas. Mana tanggung jawab, mana bodoh! Tanggung jawab seorang laki-laki itu menafkahi anak dan istrinya. Orang tua dan adik juga termasuk. Tapi, adik perempuan yang sudah tidak ada bapaknya. Adik lelaki, yang masih kecil belum bisa bekerja! Lah adikmu itu? udah dewasa. Seharusnya bisa mandiri! Jangan malah tangan menengadah aja bisa-nya!" cerocosku panjang lebar.

 

Sebal rasanya. Adiknya itu sudah dewasa. Bukan lagi anak kecil yang belum bisa mencari nafkah, tetapi selalu saja meminta apapun pada suamiku. 

 

Mungkin dia berpikir abangnya ini banyak duit. Jadi bisa diporoti uangnya. 

Memang sungguh sangat keterlaluan.

 

"Dek! Suatu saat nanti juga pasti akan diganti!"

 

"Diganti dari mana? Adikmu itu, kerja aja nggak mau! Di rumah cuma makan, tidur, main!" 

 

"Heii! Aku nggak terima adikku terus kau hina, ya!" teriaknya sengit. 

 

"Aku bukan menghina! Ini semua kenyataan!" Aku pun meneriakinya tak kalah sengit. 

 

Enak sekali dia meneriaki aku. Sudah bagus aku membantunya mencari nafkah. Agar kehidupan semakin meningkat. Eehhh seenaknya pula dia mau menghamburkan uang untuk adik lelakinya yang tak tahu malu itu.

 

"Memang, keterlaluan, Kau!" Tangannya melayang ke udara hendak menamparku.

 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
ivanov44
Cerai sj mbak, buat apa piara parasit, yg ada uang lu yg dimaling nanti ha ha..
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya
goodnovel comment avatar
Ardi Suradi
bagus utk alawan pembaca
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status