Menghela napas dalam, Dirga menggeleng dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan ibunya yang mematung dengan wajah bingung.
"Ga, maksud kamu apa? Tadi kamu bilang apa?" Wanita baya itu mengekor Dirga dari belakang, berhenti di ruang tamu dan melihat anaknya berpamitan pada Dewanto."Aku berangkat, Pa," ucap Dirga menundukkan tubuh tingginya, mencium punggung tangan sang ayah yang duduk bersandar di kursi favorit."Kapan sidang dimulai?" tanya Dewanto, sedikit mendongak."Mungkin agak siang. Aku harus cepat-cepat ke sana," jawab Dirga, menegakkan tubuh lalu menoleh ke arah wanita paruh baya yang mematung di pembatas ruang tamu.Wajah Ratna masih seperti awal mendengar ucapannya tadi, bingung dan gelisah.Ratna menghampiri, "Kamu tadi ngomong apa, Ga. Mama ngga ngerti kamu ngomong apa tadi?" tanyanya penasaran. Meskipun dia mendengar, tetapi pikirannya tidak ingin menerima ucapan Dirga tadi.Yang ditanya hanya diam denFandi hanya diam, menatap menantunya dengan tatapan iba. Namun, siapa yang berani melawan Inneke dan menolak keputusan Ibu satu anak itu."Permasalahan sepele gimana? Pisah kamar karena jijik kamu bilang permasalahan sepele? Kalau Febby tiba-tiba muntah di kasur, terus Febby yang bersihin sendiri. Gitu? Sedangkan waktu kamu sakit, semuanya Febby yang ngurus. Bahkan waktu di rumah sakit, kamu 'pup di kasur, 'kan Febby yang bersihin. Dia ngga bilang jijik. Ibu aja sakit hati dengernya, apalagi Febby yang lagi hamil begini," cecar Inneke, emosi. Ia menaikan nada bicaranya satu oktaf."Bu," tegur Fandi."Diam dulu, Yah! Ibu mau ngomong sama Andi," sahut Inneke. "Kalau aja tadi kita ngga datang ke sini, apa yang terjadi sama Febby, Yah. Sedangkan Febby udah lama ngga menghubungi kita sejak dia ngambek, nangis minta cerai dari Andi. Awalnya iya Ibu percaya sama Andi. Mungkin bawaan bayi Febby jadi cengeng, tapi sekarang. Ternyata begini perlakuan Andi pada anak
Fandi memposisikan duduk di sofa empuk agar lebih nyaman. Dipandangnya Andi dan Febby yang duduk berjauhan seperti sedang bermusuhan.Keningnya berkerut, bingung dengan kecanggungan di ruang tamu rumah itu. "Kalian ngomongin apa? Kok mukanya pada serius begitu?" tanya Fandi. Pandang matanya beralih pada Inneke yang memasang wajah kecut sambil sesekali melirik menantu mereka. "Bu, kamu kenapa?"Andi tersenyum canggung, "Ngga apa-apa kok, Yah. Tadi cuma ada sedikit kesalahpahaman aja. Tapi aku udah mengakui aku salah dan aku minta maaf," jelasnya gugup.Fandi melirik istrinya, sedikit memiringkan kepala. "Betul begitu, Bu? Kok muka kamu jadi asem. Kayak ada yang dipikirin aja. Kenapa sih? Coba cerita sama Ayah. Kamu 'kan janji di antara kita ngga boleh ada rahasia apapun."Meski sudah mendengar penjelasan dari Andi, laki-laki baya itu seakan kurang puas. Ia sangat mengenal istrinya yang jarang marah, kalau Inneke marah, artinya ada yang benar-benar
Kedatangan Fandi dan Inneke ke rumah Andi, benar-benar tak disangka-duga. Kedua mertuanya itu datang tanpa memberi kabar lebih dulu.Untungnya Andi tidak melakukan apapun pada Febby selain meminta dilayani, namun Inneke tahu Andi tidur di kamar terpisah."Kok kamu tidur di kamar itu, Ndi? Kenapa emangnya kamar kalian?" tanya Inneke pada Andi yang duduk di sofa panjang berhadapan dengan Ibu mertuanya.Saat Febby membuka pintu rumah, Inneke memergoki Andi masuk ke dalam kamar tamu sambil membawa bantal dan selimut.Andi tersenyum kecil, gugup. Namun sebisa mungkin dia menutupi alasan sebenarnya, "Itu Bu, aku sebenarnya ngga tidur pisah kamar sama Febby. Aku tadi cuma mau istirahat aja, soalnya .... ""Tadi aku muntah-muntah Bu, terus Mas Andi jijik denger suara muntahan aku," potong Febby, memberitahu yang sebenarnya. "Mas Andi bilang ngga mau tidur di kamar yang sama. Takut muntah juga karena jijik."Wajah Andi pucat. Pandang mata
Hampir dua jam Dirga menunggu kedatangan kedua orang tua Febby, namun kedua suami-istri itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.Ibu-ibu berdaster bunga-bunga, bolak-balik memastikan mobil milik Fandi sudah terlihat di ujung jalan atau belum. Ia menghentikan langkah dan berdiri seraya memegang kayu panjang penahan rumah.Dirga mengangkat satu tangan kiri, melihat jam yang melingkar. Jarumnya sudah menunjukkan pukul lima sore, tetapi kedua orang tua Febby belum juga datang."Biasanya mereka pulang jam berapa, Bu?" tanya laki-laki tampan itu, yang duduk di kursi kayu dekat meja bundar seraya meminum kopinya.Bu Ida nama tetangga keluarga Febby, dia menoleh ke belakang, menatap Dirga dan menjawab, "Biasanya jam lima lewat dikit lah. Kalau jalanan ngga terlalu macet biasanya jam setengah lima juga mereka udah pulang. Ini ngga tahu kenapa lama banget. Mungkin macet parah kali di jalan." Ia menghela napas, memutar tubuh dan berjalan mendekati kursi,
Cup!Kecupan lembut mendarat di bibir Febby, membuat wanita itu mendesis risih. Menahan air mata yang nyaris tumpah.Entah apa yang terjadi, Febby sendiri bingung kenapa dia merasa jijik berada di dekat Andi, bahkan membuat perutnya bergejolak, mual."Mas! A-aku ... aku mau muntah." Febby menggerakkan tubuhnya. "Turun Mas! Aku mau muntah. Cepat!"Andi mengerutkan kening, "Kamu mau muntah?""Iya, Mas. Hoek!" Satu tangan memegang mulut."Tunggu! Jangan muntah di wajahku. Sial!" Andi beranjak dari tempat tidur, melepas kungkungannya.Febby berdiri, berlari ke kamar mandi dan masuk."Hoek! Hoek! Hoek!"Terdengar suara Febby yang mengeluarkan isi perut.Andi bergidik, jijik. "Kok bisa kamu muntah dicium aku? Hah! Sial!" kesalnya. "Memang mulutku bau? Aku baru selesai gosok gigi.""Maaf, Mas.""Sial!" umpat Andi, emosi. Kedua tangan mengepal kuat-kuat. Ingin marah, tetapi takut Febb
Febby masuk ke kamar, menuruti permintaan suaminya. Ia mengambil lingerie seksi dari dalam lemari lalu membawanya ke kamar mandi untuk dikenakan.Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang, namun seperti biasa, Andi selalu meminta jatah sesuka hatinya.Sejak menjalani program kehamilan, Febby memang belum disentuh oleh Andi, mengikuti saran Dokter Tampan itu.Sebenarnya ada sesuatu yang janggal mengusik pikiran Febby, dan hingga saat ini dia belum bisa memecah kejanggalan itu.Tentang Andi yang mengetahui perselingkuhannya dengan Dirga, namun kenapa suaminya seolah membiarkan dia menjalani program kehamilan itu?Febby mematut diri di depan cermin panjang di atas wastafel, memikirkan Andi yang semakin lama semakin menakutkan."Kalau Mas Andi tahu aku selingkuh dengan Mas Dirga, kenapa dia diam saja? Malah terkesan membiarkan hubungan aku dan Mas Dirga berlanjut," gumamnya pelan. Tak habis pikir.Sekian menit termenung di de