LOGINKening Aldean mengernyit. “Kenapa?” tanyanya pelan.Celine menelan ludah.“Sebelum kabar kecelakaan itu datang, Papa pulang larut malam,” katanya lirih. “Wajahnya… bukan wajah Papa yang biasa aku lihat. Tegang. Kacau. Pokonya aneh banget, Om.”Aldean menahan napas. Tangannya tanpa sadar mengencang di genggaman Celine, tapi ia segera melonggarkannya, tak ingin kegelisahannya terasa terlalu jelas.“Terus?” tanyanya hati-hati.Celine menatap lurus ke depan. Sorot matanya kosong, seperti sedang memutar ulang potongan kenangan yang tak pernah benar-benar ia pahami.“Di lengan kemeja Papa… ada noda darah,” ucapnya lirih, lalu kembali menatap Aldean. “Sedikit. Tapi jelas. Aku bisa lihat.”Aldean membeku sepersekian detik, cukup singkat untuk tak terlihat mencurigakan.“Waktu itu aku pikir mungkin Papa habis nolong orang. Atau kecelakaan kecil. Aku nggak berani nanya,” lanjut Celine. Bibirnya bergetar tipis. “Tapi beberapa jam setelah itu… Mama dikabarkan kecelakaan.”Sunyi jatuh di antara me
“Iya, Tuan.”“Selidiki Maya,” perintah Aldean akhirnya. Suaranya rendah, tapi tegas, tanpa ruang untuk dibantah. “Diam-diam. Menyeluruh.”Evan berdiri lebih tegak.“Kalau dia masih bungkam,” lanjut Aldean, sorot matanya mengeras, “tekan terus. Jangan beri dia celah bernapas.”“Baik, Tuan.”“Aku mau laporan lengkap malam ini juga.”Evan mengangguk singkat. “Akan saya usahakan.”Ia lalu berbalik hendak keluar, tapi suara Aldean kembali menghentikannya.“Evan.”Evan menoleh.“Ada satu hal lagi.” Nada Aldean kini lebih pelan, namun justru itulah yang paling berbahaya.“Mulai sekarang… jangan ada satu pun yang menyentuh Surya.”Evan langsung paham.“Sebelum Anda siap,” katanya memastikan.Aldean mengangguk tipis. “Benar.”“Dimengerti, Tuan.”Evan berbalik, lalu pintu tertutup rapat, meninggalkan Aldean sendirian di ruang kerja yang kembali sunyi.Tablet itu masih tergeletak di atas meja. Layarnya gelap, tapi bayangan rekaman tadi belum pergi dari kepalanya. Dua sosok misterius. Mobil yang
Sorot mata Aldean langsung mengeras.“Katakan.”Evan menarik napas dalam, seolah menyiapkan diri untuk menjatuhkan sesuatu yang berat.“Anak buah sudah dapat titik terang soal kematian Nyonya Sinta, Tuan,” ucapnya tanpa basa-basi.Aldean terdiam.Beberapa detik berlalu sebelum ia bersandar perlahan ke kursinya. Rahangnya mengencang.“Lanjutkan.”“Kematian beliau,” suara Evan merendah, “bukan karena kecelakaan.”Kalimat itu jatuh pelan, namun menghantam keras.Aldean menatap lurus ke depan. Ekspresinya tidak terkejut, hanya dingin.“Aku sudah menduganya,” katanya lirih. “Siapa yang memanipulasi?”Evan tidak langsung menjawab. Ia melangkah maju, meletakkan map hitam dan sebuah tablet di atas meja, lalu menyalakan layar tablet itu.“Seseorang sengaja menghapus rekaman ini tiga tahun lalu,” ucap Evan. “Tapi anak buah berhasil memulihkannya.”Layar tablet menyala, menampilkan rekaman hitam-putih sebuah jalanan sepi di malam hari. Tak lama, tampak mobil Sinta berhenti di tepi jalan. Beberap
Kalimat itu sederhana, tapi cukup untuk meruntuhkan pertahanan terakhir Celine.Beberapa detik berlalu, terasa begitu panjang. Hingga akhirnya, Celine mengangguk pelan. “Oke,” ucapnya lirih. “Aku bantuin kamu. Aku coba cari tahu.”Kayra menatap sahabatnya, harapan langsung menyala di matanya.“Tapi nggak bisa cepat,” lanjut Celine, suaranya lebih terkendali. “Aku harus cari waktu yang pas. Dan aku nggak mau Papa kamu curiga.”Ekspresi Kayra melunak. Lega itu tak bisa disembunyikan.“Makasih, Cel,” katanya tulus. “Nggak apa-apa pelan-pelan. Yang penting aku tahu kebenarannya.”Ia tersenyum kecil. “Aku tunggu kabar dari kamu.”Celine ikut tersenyum. Senyum yang terasa pahit di ujungnya. Karena Kayra tidak tahu, perempuan yang sedang ia cari adalah sahabat yang baru saja berjanji membantunya.Beberapa saat kemudian, Kayra melirik jam di pergelangan tangannya.“Kalau gitu aku balik dulu ya, Cel,” katanya sambil berdiri. “Masih ada urusan di kampus.”Celine mengangguk. “Iya, Kay.”Kayra
Celine menahan napas sesaat sebelum akhirnya membuka suara.“Aneh menurut kamu, bukan berarti ada yang salah,” ucapnya lembut, meski ada ketegangan tipis di sana. “Kadang hidup emang suka ketemu kebetulan yang nggak masuk akal, Kay.”Kayra menatap sahabatnya lama. Tatapannya bukan menghakimi, melainkan mengamati. Seolah sedang menyusun potongan-potongan puzzle dari kejadian yang saling terkait. Kemudian, ia tersenyum kecil.“Iya sih,” katanya ringan. “Aku kebawa perasaan aja kali ya.”Ia menyandarkan punggung ke sofa, seolah topik itu selesai. Seakan semua kecurigaannya barusan hanyalah angin lalu.Namun, sebelum Celine benar-benar bisa menarik napas lega, Kayra menambahkan pelan, “Cuma ya… aku ngerasa kamu akhir-akhir ini berubah, Cel.”Celine menoleh.“Dan aku cuma pengin tahu,” lanjut Kayra, suaranya turun satu tingkat, lebih jujur dari sebelumnya, “kamu baik-baik aja. Itu aja.”Kalimat itu sederhana, tapi menghantam lebih keras daripada tuduhan mana pun.Celine menelan ludah, mera
Ruang tengah apartemen itu terasa terlalu sunyi. Celine duduk tegak di sofa. Kedua tangannya melingkar di gelas air yang bahkan belum ia sentuh. Jantungnya juga belum benar-benar tenang sejak tadi. Di seberangnya, Kayra bersandar dengan santai, terlalu santai untuk seseorang yang sejak tadi penuh kecurigaan. Kakinya disilangkan, matanya terus menyapu sekeliling apartemen, seolah hanya melihat-lihat, padahal sebenarnya sedang mengamati dan mencatat setiap detai. “Tempat barumu ini enak juga, ya, Cel,” ujar Kayra akhirnya, nadanya ringan. “Tenang, nggak kayak rumahmu yang penuh orang-orang toxic,” tambahnya tanpa filter. Celine mengangguk pelan. “Iya,” jawabnya singkat. Kayra melirik sahabatnya sekilas. Tatapan itu cepat, tapi cukup untuk menangkap sesuatu. “Dan kamu…” Kayra melanjutkan santai, “…kelihatan cepat betah di sini.” “Masih adaptasi, Kay,” jawab Celine cepat. “Baru pindah juga.” “Hmm.” Kayra mengangguk pelan, bibirnya melengkung tipis. “Iya sih. Tapi... aneh.







