LOGINPagi menyelinap perlahan ke dalam kamar lewat celah tirai.Celine terbangun lebih dulu. Tubuhnya masih terkurung hangat dalam dekapan Aldean. Lengan pria itu melingkar di pinggangnya dari belakang, sementara satu tangannya terlipat di bawah kepala Celine, menjadi bantal yang kokoh dan menenangkan. Napas Aldean terasa teratur di tengkuknya.Celine tersenyum kecil. Ia menarik napas pelan, menikmati detik-detik itu. Keheningan pagi yang tenang. Kehangatan yang diberikan Aldean. Rasa aman yang jarang ia rasakan, tapi kini terasa begitu nyata.Perlahan, Celine berbalik menghadap Aldean agar tak membangunkannya. Wajah pria itu begitu dekat. Garis rahangnya tegas, alisnya sedikit berkerut, dan ekspresi tenang yang jarang orang lihat.Celine mengangkat tangan. Mengusap kening Aldean, turun ke hidung, lalu ke dagunya. Sentuhannya ringan, tapi penuh rasa.Aldean mengeliat kecil. Matanya terbuka perlahan, masih setengah mengantuk. Begitu fokusnya menangkap wajah Celine, kerut di dahinya menghila
“Om Dean, aku... aku... udah mau. Ah—aku kayaknya... aku udah gila, Om.” gumam Celine, matanya yang sayu menatap penuh hasrat pada Aldean. Aldean juga, dia tak berkedip sedikitpun menatap wajah Celine yang menggoda, terlihat begitu cantik dan memikat. Melihatnya, Aldean tak mampu lagi menahan gejolak dalam dirinya yang semakin memuncak. Kenikmatan itu pun berkumpul pada satu titik di tubuhnya. “Oh, Bebi... aku nggak tahan lagi...” ungkap Aldean. Napasnya terengah-engah. Tanpa menunggu lama, dia semakin mempercepat tempo tekanannya hingga tak terkendali, rahang tegasnya mengeras, kepalanya mendongak ke atas. “Arghh, Celine...!” erang Aldean, suaranya berat dan sensual, sangat seksi dan menggoda. Hingga sepuluh menit berikutnya, Aldean tak tahan lagi dan akhirnya menyemburkan bibit unggulnya di dalam sana, membuat tubuh Celine bergetar hebat, merasakan hangat dan penuh di dalam dirinya saat gelombang kenikmatan itu menghantamnya tanpa ampun. Bruk! Tubuh Aldean yang kekar se
Aldean mengatupkan rahang saat mendengar desahan merdu yang terus keluar dari mulut Celine. Goyangan amatir yang dilakukan Celine membuat Aldean mengeram tertahan, terhanyut oleh sensasi luar biasa yang ia rasakan. Meski masih amatir, gerakan Celine berhasil membuat Aldean kehilangan kewarasannya. Tatapannya yang penuh hasrat itu menelusuri perut ramping Celine, lalu naik ke da da sintalnya yang menggoda. Matanya berhenti sejenak di ujung merah jambu yang mengeras, kemudian menyusuri leher hingga wajah Celine yang tampak sangat menggoda dan seksi. “Engh... Om Dean... aahh ini... ini rasanya gila banget, Om,” rancau Celine tak terkendali, menikmati setiap penyatuan itu. “Ough... ahhh... kamu nikmat dan bikin aku candu, Bebi...” balas Aldean di sela desahnya. Satu tangan Aldean yang berada di pinggang Celine perlahan bergerak ke perut Celine yang rata dan mengelusnya, lalu beralih ke atas, menangkup bantalan kenyal dan besar itu. “Da da mu makin besar, Cel. Oh—kamu seksi bang
Aldean menunduk sedikit, hidungnya menyentuh pelipis Celine.“Nanti Kayra nungguin Om,” ujar Celine lirih. “Kalau Om nggak pulang, nanti dia bakal—”“Aku yang jelasin,” potong Aldean lembut, namun tegas. Tangannya mengusap punggung Celine perlahan. Menenangkan, tapi juga tak memberi ruang untuk dibantah. “Aku bilang malam ini ada urusan mendadak.”“Kalau dia curiga?”“Aku yang urus.”Celine mendongak, menatap Aldean ragu. “Om yakin?”“Aku yakin.” Tatapan Aldean mantap. “Aku mau di sini. Sama kamu. Bukan karena aku bisa, tapi karena aku yang milih.”Kalimat itu menghantam dada Celine pelan tapi dalam. Ia memejamkan mata sesaat, membiarkan hangat itu meresap bersamaan dengan rasa perih yang tak bisa sepenuhnya ia singkirkan.“Om keras kepala,” gumamnya kecil.Sudut bibir Aldean terangkat tipis. “Cuma kalau soal kamu.”Celine menghela napas, lalu mengangguk pasrah. “Ya udah. Tapi besok Om pulang.”“Iya,” jawab Aldean tanpa ragu.Ia merapatkan pelukannya. Tangannya naik ke tengkuk Celine,
Aldean mendekatkan tubuhnya rapat ke Celine, dagunya menyentuh bahu sang kekasih. Napasnya mengusap lembut tengkuk putih dan mulus itu sebelum sebuah kecupan halus mendarat di sana. Bukan terburu-buru, bukan pula menuntut, hanya penuh rasa memiliki.Celine pun refleks mendesah lirih, menutup matanya sejenak. Jantungnya berdegup tak beraturan, namun tangannya tetap sibuk mengaduk masakan di atas kompor.“Harumnya,” ucap Aldean rendah, nyaris berbisik. “Masakannya… atau orangnya ya?”“Om Dean…” Celine tersenyum malu. “Jangan ganggu. Nanti gosong.”Aldean terkekeh pelan. Lengannya mengencang sedikit di pinggang Celine, seolah enggan melepaskan.“Aku cuma kangen,” katanya jujur. “Dari tadi pengin peluk.”Kalimat sederhana itu membuat dada Celine terasa hangat dan nyeri bersamaan.“Kangen padahal baru ketemu,” balas Celine pelan.“Justru karena itu,” sahut Aldean lembut. “Aku pengin pastiin kamu ada. Baik-baik aja.”Celine menelan ludah. Senyumnya masih ada, tapi matanya mulai terasa panas
Celine tersentak. Langkahnya terhenti mendadak.Ia menoleh. Aldean berdiri tak jauh darinya. Jasnya masih rapi, rambutnya sedikit berantakan diterpa angin malam.“Om?” Celine terkejut. “Kok Om ada di sini? Bukannya tadi Om pulang?”“Nggak jadi.” Aldean mendekat beberapa langkah. Tatapannya langsung mengunci wajah Celine.“Aku kepikiran kamu.”Jantung Celine berdegup tak karuan.“Jadi... tadi habis lihat Kayra pergi, Om langsung ke sini,” ucapnya pelan.Aldean hanya mengangguk singkat.Ia berhenti tepat di depan Celine. Dari jarak sedekat itu, raut murung di wajah Celine tak luput dari perhatiannya. Mata Celine yang berkaca-kaca dan senyum yang dipaksakan.“Ada apa?” tanyanya rendah. Tidak mendesak, hanya peduli.Celine menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, Om.”Aldean tahu itu bohong. Tapi ia memilih tidak memaksa.“Oke. Kalau gitu, kita masuk, ya,” ucapnya lembut.Ia mengulurkan tangan.Celine menyambutnya dan mengangguk kecil.Genggaman Aldean hangat dan tenang. Sedikit demi sedikit, se







