"Aku titip ini, Mas. Tolong berikan untuk Nessa,"ujar Arindi sembari menyerahkan satu bungkus kado kecil. Wajah Arindi tidak bisa berbohong. Ia kecewa dengan keputusan Arfaaz yang hanya mengajak Naina untuk datang. "Kamu harus mengerti. Begitulah yang namanya berbagi," jawab Arfaaz. Naina tertawa sumbang. "Pantas saja tidak diajak oleh Mas Arfaaz. Mau memberi hadiah ke pengantin kok sekecil itu? Mau mempermalukan diri sendiri Mbak?" sindir Naina.Arindi tetap tegar menghadapi. "Aku berbicara dengan Mas Arfaaz bukan denganmu. Lagipula aku sudah biasa diajak Mas Arfaaz ke pesta orang kaya seperti ini. Ke pesta pernikahan anak Presiden pun aku pernah. Jadi kalau hanya segini mah kecil. Ndeso sekali kamu," balas Arindi yang membuat Naina bertambah cemberut. Arfaaz tampak merapikan lengan kemeja yang dipakainya."Sudah, jangan terus menerus kamu tampakan muka masammu, Nan. Aku sudah bilang bahwa keluarga Tante Riana bukan orang sembarangan. Dia punya perusahaan tambang terbesar seant
"Kamu ini buat malu saja sih Nan. Ahh."Arfaaz bersungut marah. Sesekali tanganya memukul setir bundar di depanya. Naina hanya bergetar di tempat duduknya. "Ku kira kamu adalah sosok sosialita yang bisa bersosialisasi dengan baik disana," lanjut Arfaaz."Mas, aku sudah berusaha menjadi baik. Namun mereka yang tidak mau menerima hadirku. Jangan salahkan aku. Tapi salahkan Arindi!" balas Naina tak kalah marahnya. Arfaaz tertawa kecil. "Kenapa Arindi? Justru ia membuatku bangga. Walaupun ia tidak hadir, tapi ia tau bagaimana menghormati dan menghargai yang punya acara. Kamu itu istri dari Arfaaz Khairul Hartanto. Memberi kado kok bed cover murahan. Ya Tuhan. Seperti tidak punya muka aku dihadapan keluarga Tante Riana. Masih untung tertolong dengan Arindi yang memberi hadiah Nessa berupa kalung berlian.""Berhenti kamu membandingkan aku dengan istri pertamamu itu mas. Aku tidak suka,""Kalau kamu tidak suka, semestinya kamu juga tau diri bagaimana bersikap di depan keluarga besarku,
Pertahanan Pak Asmat sedikit mulai goyah dengan apa yang disampaikan Herman barusan. Ia pun tida habis fikir, mengapa ia sebegitu mudahnya mempercayai lelaki yang juga sempat membuat putrinya hancur tersebut. Namun siapa kiranya ayah yang akan baik-baik saja jika mendengar sang menantu telah menduakan putri yang dijaga serta dikasihinya sedari kecil tersebut. Juga tak terbayang bagaimana hancurnya perasaan Arindi waktu itu. Meskipun itu belum tentu menjadi kebenaranya."Pak tenanglah Pak," ujar Herman menenangkan Pak Asmat. Pak Asmat tampak sempoyonyan sembari memegangi dadanya. Sang istri juga tampak berlarian dari dalam menemui suaminya yang terlihat lemas. Namun Herman telah berhasil mendudukan Pak Asmat di kursi terlebih dahulu. "Ayah, kenapa?" tanya Bu Asih panik. Herman tidak berani menjawab. Pun tidak berani untuk berucap kalimat yang sama. Nafas Pak Asmat tampak naik turun. Ia seperti kesusahan untuk mengatur nafas. "Ayah, kita ke Rumah Sakit sekarang ya," pinta Bu Asih
"Kenapa hanya segini mas?" tanya Naina dengan ketus yang mengagetkan Arfaaz yang telah termenung di sofa sepeninggal Arindi ke kamar. Arfaaz menoleh dengan malas. Perdebatanya dengan Arindi seolah sudah membuat otak mendidih. Kini ditambah lagi dengan Naina yang datang dengan wajah masamnya. "Memangnya maumu berapa?" Naina menghela nafas pelan. Ia yang masih berdiri di anak tangga lalu turun mendekat kepada suaminya. "Mas, aku ini istri bos. Istri konglomerat. Yang kekayaanya masuk dalam jajaran orang terkaya dalam negeri. Apa tidak salah kamu hanya memberiku sejumlah ini? Apa aku masih dalam masa training menjadi istrimu? Tidak kan?" tanya Naina dengan berapi-api. "Tidak ada yang salah Nan. Aku pun memberi Arindi senilai nominal yang sama. Jadi letak salahnya dimana?" Naina tertawa kecil. "Letak salahnya ada pada nominal Mas. Apa cukup dengan uang dua juta bertahan hidup selama sebulan? Uang segitu hanya cukup untuk perawatanku saja. Ahh," gerutu Naina. Arfaaz bangkit. Nafasny
Netra Arfaaz langsung menoleg menatap Arindi. Namun Arindi tetap pada pendirianya, i tak gentar sedikitpun walau di tatap Arfaaz penuh tatapan tidak suka. Tak setuju dengan kalimat yang dilontarkan istrinya."Mau dengan siapapun suamimu menduakanmu Rind. Mau kamu merasa lebih hebat dari madumu. Tapi nyatanya kamu diduakan Rin. Dan itu sama saja menampar harga diri Ayah," jawab Pak Asmat.Arfaaz masih saja tertunduk. "Faaz, kamu boleh kaya. Boleh mempunyai segalanya. Tapi anakku tidak akan silau dnegn hartamu. Tak menjadi istrimu pun, ibu yakin bahwa Arindi masih bisa hidup kecukupan," tambah Bu Asih. "Saya tau, Bu. Siapa Arindi. Dan bagaimana karirnya. Saya tidak meragukan kemampuanya Bu. Tapi saya membutuhkan Arindi sebagai teman hidup saya," jawab Arfaaz. "Ayah ibu, sudahlah. Arindi tidak apa-apa. Arindi kuat. Andai Arindi menyerah tentu sudah sedari dulu," ucap Arindi meyakinkanMata Bu Asih berkaca-kaca. Siapa yang sanggup membayangkan bagaimana sakitnya dimadu. Dan kini terja
"Hallo sayang, bagaimana kabarnya? Duh Mama kangen sekali," ucap Tami saat melihat Naina. Perlakuan yang jauh berbeda dengan apa yang dilakukanya kepada Arindi. Membuat Naina seakan besar kepala dibuatnya. Dan Arfaaz tidak bisa mencegah perlakuan berbeda dari Mamanya. Tapi mental Arindi memang sekuat itu. Ia tidak iri, tidak goyah sedikitpun. Hanya saja ia sadar diri dan ia berlalu pergi begitu saja dari hadapan mereka yang tak mampu menghargainya. Naina tersenyum penuh kemenangan.'Ini baru awal. Lihat apa yang aku lakukan setelah ini. Aku jamin kamu akan nangis darah melihatnya Rind,' gumam Naina dalam hati dengan senyum menyeringai."Oh iya, Mama punya oleh-oleh buat menantu kesayangan Mama," kata Tami sembari membuka tasnya. "Wah oleh-oleh buat aku Ma?" balas Naina dengan nada suara yang sengaja ia tinggikan. Agar Arindi mendengar. Dan ia cemburu juga sakit hati. Arindi yang mengerti betul apa maksud Naina hanya tersenyum simpul. Sedikitpun ia tidak merasa iri ataupun silau
Arfaaz masih saja terngiang ucapan Herman barusan. Bagaimana ia bisa menilai rapuhnya hati Arindi jika dia terlihat tegar dan kuat menghadapi semua hal yang menyakitkanya."Mau kemana kamu Rind?" tanya Arfaaz yang melihat Arindi pergi dari meja makan. Hari ini sengaja Arfaaz melarang kedua istrinya untuk memasak. Ia ingin membawakan makanan dari luar. Karena ada sang Mama juga. "A aku makan di dapur saja, Mas. Aku takut membuat Mama tidak suka," ujarnya lirih."Tidak. Kamu juga duduk disini. Naina ada disini. Kamu pun juga harus ada disini," perintah Arfaaz dengan tegas. Arindi tetap menurut perintah suaminya walau ia juga mendapat tatapan tidak suka dari mertia dan madunya. "Oh iya Mama dengar Nessa baru saja menggelar pernikahan ya?" tanya Tami memecah keheningan."Iya Ma."Hanya Arfaaz yang mampu menjawab. Untuk apa Arindi angkat bicara jika suaminya tidak mengajaknya turut serta."Tetapi, Mama juga mendengar kabar yang tidak sedap. Ada yang bilang menantu Tami menghadiahi mem
Arindi memilih pergi meninggalkan madu dan suaminya yang sedang berdebat. Bertahun-tahun bersama Arfaaz membuat Arindi hafal betul perangai suaminya tersebut. Brakk... Pintu ditutup Arfaaz dengan keras. Ia mengikuti langkah Arindi menuju kamar. Arindi diam. Karena ia mengerti emosi Araaz saat itu. "Bisa kamu mengajarkan Naina itu Rind? Tentang bagaimana seorang wanita harus mandiri? Aku dibesarkan hanya oleh Mamaku. Dari situ aku banyak belajar. Sekaya apapun suami, suatu hal yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Kita tidak akan pernah bisa menolak bala."Arindi menghela nafas pelan. "Kenapa harus aku? Kamu yang membawa Naina masuk ke rumah ini bukan? Jadi kamu sendiri dong yang seharusnya bertanggung jawab."Arfaaz sedikit kaget dengan respon yang diberikan Arindi. Dia yang dulu bersikap lembut, kini justru terkesan acuh tak acuh. "Setidaknya agar ia belajar dari kamu Rind," ucap Arfaaz mencoba masih bersikap lembut."Passion seseorang itu berbeda, Mas. Tidak bisa kamu puk