Share

Ajari Aku Salat
Ajari Aku Salat
Penulis: Meyyis

Prahara Rumah Tangga

Siang itu sangat terik. Azahra menyibak kerudungnya karena sangat kegerahan. Dia sudah sampai di rumah. Rumah sederhana yang dihuni oleh ibu dan putri kecilnya yang sangat istimewa. Azahra adalah seorang single parent dengan satu anak. Suaminya meninggalkannya tiga tahun lalu. Wanita dua puluh sembilan tahun itu harus menerima kenyataan ditinggalkan sang suami ketika putrinya Jelita menderita kelainan. Usia Jelita pada waktu itu masih tiga tahun. Kini gadis istimewanya Azahra sudah berusia enam tahun.

Azahra bukan wanita biasa. Dia lulusan luar negeri dengan gelar istimewa. Ijazahnya diraih juga dengan perjuangan dan beasiswa. Namun semua itu tidak berarti ketika menikah dengan Raehan. Lelaki tinggi tegap dengan kulit sawo matang khas keturunan Jawa itu, tidak memperkenankan Azahra untuk bekerja. Alasannya sungguh klasik. Wanita itu sudah kodratnya dapur, sumur dan kasur. Sebagai istri yang luar biasa, Azahra mengubur dalam-dalam seluruh cita-citanya tersebut. Dia memilih mengabdikan diri untuk sang suami.

Awalnya, kelahiran Jelita disambut suka cita. Meriah dan bertabur hadiah. Segala macam upacara adat digelar untuk keselamatan sang buah hati. Tiap sesi diadakan upacara adat. Hingga malapetaka itu terjadi. Pada suatu malam, diadakan sebuah pesta di rumah mewah itu. Gadis berusia tiga tahun itu merajuk meminta sesuatu dan tidak ada yang tahu yang diinginkannya. Memang, hanya Azahra saja yang mengetahui cara komunikasi Jelita. Namun, saat itu Azahra sedang melayani beberapa tamu.

Gadis berusia tiga tahun itu menangis dan mengamuk karena keinginannya tidak dituruti. “Nyonya Zahra, Jelita mengamuk!” Seorang pelayan berpakaian hitam putih memberi tahu Zahra. Maka Zahra segera berlari menuju tempat Jelita mengamuk.

“Sayang, Jelita. Ini Bunda, Nak. Ada yang Zahra inginkan?” Anak itu memeluk bundanya dengan sangat erat. Ternyata ada yang menjahili Jelita sehingga anak malang itu histeris.

Pesta berlangsung seperti biasa setelah kericuhan itu dapat diatasi. Namun, Zahra tidak bisa melanjutkan melayani tamu. Hanya suaminya sendiri.

“Re, kamu yakin anakmu tidak kenapa-napa? Kayaknya dia bisu, deh.” Perkataan salah satu temannya membuat lelaki itu tercenung. Dia merasa tidak nyaman dengan perkataan sahabat kantornya itu.

“Kamu yakin, Jer? Tapi dari keluarga kami tidak ada yang menderita kebisuan.” Jeri mengangguk-anggukkan kepala. Akhirnya pesta selesai. Dengan muka masam Reihan masuk kamar. Namun tidak ada istrinya di sana. Reihan tahu di mana harus mencari Zahra. Dia melangkah menuju kamar putrinya yang ada di sebelah.

“Tinggalkan dia! Bukannya sudah tidur?” Zahra dengan hati-hati meninggalkan tubuh mungil yang sudah terlelap itu.

Zahra masuk kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, maka wanita itu mendekati suaminya. Namun berbeda, suaminya sedikit dingin padanya.

“Ada apa, Ayah?” tanya Zahra.

“Kita periksakan Jelita. Sepertinya ada kelainan.” Zahra setuju dengan ide itu. Namun tetap saja malam ini Zahra merasakan hal yang aneh dengan suaminya itu. Wanita bibir tipis itu tidak mengerti alasannya. Suaminya tersebut berbaring dan membelakanginya. Ingin rasanya Zahra menanyakan alasannya. Tapi keberanian terkungkung dalam tenggorokannya. Nyatanya, dia tidak sanggup untuk melafalkan semua yang ada di kepalanya.

Zahra memilih untuk mengikuti jejak suaminya menatap dinding. Dia juga membelakangi suaminya. Ini adalah awal bencana itu. Hingga tiba prahara demi prahara tidak berujung.

Seorang gadis menarik gaunnya, membuat lamunan Zahra terhenyak dan dia menoleh ke arah sang penarik itu. 

***Meyyis***

Zahra menoleh ke arah kanan. Ternyata putrinya yang menarik gaunnya. Wanita berhidung mancung itu tersenyum ke arahnya. Putrinya menggunakan jari-jarinya untuk mengatakan sesuatu. Wanita bergaun tosca itu mengangguk dan  mengelus puncak kepala putrinya untuk mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian dengan jari-jarinya juga Zahra berkomunikasi dengan sang putri tercinta. Ya, dengan sekuat tenaga Zahra belajar bahasa isyarat. Tidak mudah memang, tapi harus bisa. Putrinya harus mengerti bahasa tersebut sebagai seorang anak yang dilahirkan dengan seluruh keistimewaan.

“Sayang, Jelita mau main?” Anak perempuan itu menggeleng. Dia berbicara dengan jari-jarinya bahwa dirinya menginginkan alat gambar. Jelita ingin menggambar. Butuh beberapa saat untuk Zahra menerjemahkan bahasa sang putri.

“Baiklah, Sayang. Besok kalau mama libur, kita jalan-jalan membeli yang kamu inginkan. Sekarang, Jelita main dulu, ya?” Gadis kecil itu berlari ke arah ruangan yang memang diperuntukkan untuk anak itu. Ruang tengah yang tidak terlalu luas, tapi menjadi favorit bocah enam tahun itu.

“Zahra, ibu sudah menyuapi Jelita tadi. Sekarang kamu makan dulu. Nanti kalau ada panggilan kerja nyelonong saja.” Zahra tersenyum kepada ibunya. Hanya ibunya keluarga yang tulus mendampingi. Bahkan mantan suaminya tidak pernah sekalipun berkunjung untuk melihat sang putri. Zahra beranjak menuju ke ruang makan. Diikuti dengan ibunya dari belakang. Hanya menu sederhana tapi mencakup semua nutrisi. Ibu Zubaidah demikian ibunya Zahra biasa dipanggil, memang jago mengolah bahan makanan menjadi masakan yang spesial.

“Zahra, kamu tidak berpikir menikah lagi? Sudah tiga tahun kamu hidup sendiri. Ibu juga tidak bisa membantumu mencari rizki.” Zahra berhenti menyuapkan makanan ke mulutnya. Dia menarik napas dalam-dalam. Seolah ada beban berat yang menghimpitnya.

“Ma, dengan kondisi Jelita yang demikian, Zahra ragu. Ayahnya sendiri saja menolak. Apalagi orang lain? Fokus Zahra pada Jelita sekarang.” Zubaedah mengangguk. Zahra menoleh ke arah putrinya tersebut yang sedang asih memainkan peran sebagai seorang ibu yang menyuapi anaknya. Zahra tersenyum melihatnya. Sejurus kemudian fokus dengan makanan yang ada di depannya.

“Tapi kamu tidak trauma ‘kan, Nak?” Zubaedah menyisihkan beberapa potongan cabai yang ada di lauknya. Zahra menatap lurus ke arah sang mama dengan pertanyaan itu. Dia sedikit ragu dengan pertanyaan itu. Akankah jawaban yang akan diberikan ini sebuah penegasan, atau bahkan rasa ingin sembunyi dari perasaan yang membelenggu. Sepersekian menit, Zahra menggeleng. Sehingga membuat wanita yang mulai beruban itu mengangguk seraya tersenyum.

Belum selesai Zahra makan siang, suara dering dari ponselnya menghenyakkan. Zubaedah yang sudah selesai menghabiskan makan siangnya bermaksud mengambilkan ponsel anaknya tersebut. “Siapa, Ma?” tanya Zahra pada sang ibu.

“Dari agent, mau diterima?” Zahra mengangguk sehingga wanita yang sudah berumur itu menggeser tombol terima.

“Halo.” Kata pertama yang diucapkan Zubaidah sebelum mengucapkan salam. Wanita senja itu memberikan telepon tersebut kepada Zahra. Wanita berambut panjang itu meminta maaf karena meminta benda pipih itu dengan tangan kiri. Sebab tangan kanannya kotor. Zahra memang suka makan dengan jari-jarinya tanpa bantuan sendok atau sumpit. Menurutnya hal itu sangat nikmat.

Zahra berdehem dua kali sebelum akhirnya mengucapkan salam pada orang di seberang sana.

“Hari ini? Baiklah Mas Ben, aku segera OTW.” Wanita akhir dua puluhan itu langsung meletakkan ponselnya dan mengangkat piring yang sudah habis isinya. Cepat-cepat dia mencucinya kemudian berganti baju untuk menemui Ruben di kantornya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status