Akhirnya Kumenemukanmu"Makasih ya, Mbak? Saya kesel sama Mas Risky, lebih mentingin kerjaannya daripada saya," keluhnya. Gurat kesedihan tersirat dari sorot matanya yang sendu. Tangan yang saling bertaut menunjukkan bahwa ia tengah cemas menunggu sang suami. Helaan napasnya terdengar jelas dan kentara.Seharusnya ini adalah malam-malam yang panjang dan menyenangkan bagi setiap pengantin baru. Tetapi sebaiknya sebagai perempuan kita belajar memahami kondisi pasangan kita masing-masing. Belajar memahami lebih dulu untuk mereka bisa memahami keadaan kita karena sejatinya pernikahan itu adalah saling berbagi."Sama-sama, Mbak. Jangan sedih," ujarku pelan.Perempuan yang tengah memakai dress selutut motif bunga-bunga itu kemudian bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan malas menuju kamar tidur miliknya. Pakaian yang tipis dan tampak feminim itu sepertinya sengaja dipakai untuk menyambut kepulangan sang suami, sayangnya persiapannya tidak menghasilkan apapun. Aku mematikan lampu ruang t
Akhirnya Kumenemukanmu "Sini Kiaa biar sama aku, Mbak," pinta Adinda dengan suara parau saat aku baru saja kembali ke halaman rumah. Ia menghampiriku dengan wajah sedihnya yang dipaksa untuk tersenyum. Bekas air mata itu masih membekas di seluruh area wajahnya. Aku terdiam menyaksikan wajah penuh kesedihan itu meraih Kiaa dari dalam stroller. Kuberikan ia kesempatan untuk menghibur dirinya dengan kehadiran Kiaa. Mungkin dengan mendengarkan suara celoteh dan tingkah menggemaskan bayi Kiaa membuatnya terhibur dan bisa melupakan kesedihan yang menderanya. Perempuan yang masih mengenakan dress yang sama seperti semalam meninggalkanku tanpa permisi. Ia pergi begitu saja setelah Kiaa dalam gendongannya. Ah malang sekali nasibnya. Tapi tunggu, aku masih harus menunggu satu hal yang kudengar semalam. Apakah sungguh terjadi di hari ini ataukah ia batalkan semuanya dan ia tetap berada di rumah bersama Kiaa. Ah mendadak hatiku cemas menanti saat-saat itu akan datang. Terbersit dalam benakku r
Akhirnya Kumenemukanmu"Sudah diperiksa, Bu?" tanyaku mencoba tenang. Dalam situasi seperti ini, aku tak boleh ikut panik agar tidak gegabah dalam mengambil sikap."Sudah. Tapi masih tinggi demamnya. Ibu ngga tau lagi harus gimana. Kayaknya dia rindu kamu. Beberapa hari ini dia murung terus," jawab Ibu panik.Mendengar suara Ibu yang panik membuatku turut merasa cemas. Maklum saja, ini pertama kali kami hidup berjauhan dan diusia Caca yang masih terlalu kecil harus kehilangan ayah dan hidup berjauhan dengan Ibu secara bersamaan."Ibu jangan panik, ya? Obat penurun panasnya jangan lupa diminumkan. Sania usahain untuk pulang hari ini juga. Ibu tenang, ya?" "Iya. Tapi beneran ya, Nduk, jangan sampai ngga pulang. Ibu ngga tega melihat Caca sakit kayak gini," jawab Ibu memohon kepastian. "Sania janji, Bu. Sania usahain untuk pulang hari ini juga," jawabku meyakinkan sambil melirik jam yang bertengger di dinding.Setelah menutup panggilan dari Ibu aku terduduk lemas di bibir ranjang. Bibi
Akhirnya KumenemukanmuHatiku nelangsa saat beberapa orang yang membantu mengejar ojek itu kembali dengan tangan hampa. Deru kenalpot bus yang keluar masuk pintu terminal tak membuat rasa nelangsaku memudar. Lidahku kelu untuk sekedar meminta pertolongan kepada sesama manusia di sekitar terminal ini. Semuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Pikiranku buntu untuk sekedar berpikir langkah kedepannya yang harus aku ambil. Yang ada dapam pikiranku hanya kondisi Caca.Di dalam tas itu ada dompet juga ponsel yang merupakan barang yang penting. Jika dua barang itu hilang, bagaimana caraku untuk pulang? Bagaimana caraku untuk mengabari Ibu bahwa aku akan terlambat pulang atas musibah ini? Seandainya saja ada Mas Risky di rumah, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi.Mungkin dia akan memastikanku masuk ke dalam bus sebelum benar-benar pergi meninggalkan terminal ini. Ah lagi-lagi aku berhayal terlalu tinggi. Jika di rumah saja dia abai, bagaimana mungkin mau mengantar apalagi menu
Akhirnya Kumenemukanmu"Bu!" panggilnya lagi dengan nada suara sedikit lebih tinggi tanpa menoleh ke arahku.Aku yang sejak tadi masih tak percaya akhirnya bersuara juga."Iya, Pak. Ditunggu sebentar," jawabku pelan. Aku pun berdiri. Mendadak jantungku berdebar cepat melihat dia ada di sini. Haruskah aku meminta pertolongannya untuk bisa sampai di rumah? Pikiranku berjejalan tanda tanya dan kebimbangan sambil tanganku meracik es teh manis untuknya."Ini Pak, silahkan," ujarku dengan suara sepelan mungkin dan sedikit gemetar. Aku mengulurkan segelas teh manis melalui celah meja dekat etalase."Makasih, Bu," jawabnya. Kepala yang sejak tadi menekuri layar ponsel berujar sambil menoleh ke arahku."Sania? Ngapain kamu di sini? Katanya pulang kampung? Anakmu?" kagetnya. Mata itu menatapku tak percaya. Sementara aku menatap wajah itu dengan tatapan memelas."Saya kecopetan, Mas. Tas berisi uang dan ponsel hilang dibawa tukang ojek. Saya tak tahu garus bagaimana. Lalu pemilik warung ini men
Akhirnya Kumenemukanmu 13.1Desir halus mulai terasa di seluruh aliran darah dalam tubuhku. Rasa yang melumpuhkan logikaku sebagai status perempuan baik-baik. Dinding yang sudah kubangun pun perlahan runtuh karena larutnya rasa dalam hati yang mulai menyatu dengan hangatnya telapak tangan yang tengah menggenggam lembut tanganku.Aku terlena. Aku cinta tapi terhalang status antara kami. Aku ingin tapi aku tak berhak. Aku mau tapi tak dapat. Aku membuang napas kasar. Dinginnya AC mobil tak bisa membantu mendinginkan badanku yang sedang hangat oleh sikapnya. Rasa saling mencinta antara kami tak bisa menembus status yang menghalangi. Beginilah jika takdir belum memberi kesempatan kami untuk bersatu. Rupanya Allah masih memintaku untuk terus bersabar hingga satu hari itu akan tiba. Entahlah, apa boleh aku berharap begini? Mendadak hatiku menjadi layu manakala ponselnya berdering karena sebuah panggilan yang bertuliskan nama Adinda di layar ponselnya. Ah lagi-lagi aku lupa jika lelaki di
Akhirnya Kumenemukanmu 13.2"Seperti yang Mas lihat. Aku baik-baik saja. Tetapi menjadi tidak baik saat Mas mengakuiku sebagai istri di depan bapak dan ibu pemilik warung tadi," jawabku dengan suara sengau.Mas Risky terkekeh pelan. "Seandainya kamu datang sebelum aku memberi jawaban pada Adinda, aku akan benar-benar menjadikanmu istri. Tak peduli jika Mama tak setuju, aku siap diusir dari rumah," jawabnya yakin."Tapi aku tidak akan mau," sengitku. Aku memaku pandanganku ke arahnya."Kamu sungguh tidak ingin hidup bersamaku? Bukannya saat kita masih menjalin kasih dulu kamu punya harapan seperti itu?""Iya. Tapi tidak untuk kawin lari. Bagiku menikah tanpa restu itu seperti rumah tanpa tiang. Agama tanpa ibadah. Dan saat ini, seharusnya aku tak bisa hidup tanpa kamu. Tetapi bagaimana pun keadaannya hidup terus berjalan. Aku harus tetap maju sekalipun tak ada kaki untuk melangkah."Mas Risky menghentikan mobilnya sejenak. Ia memandangku dengan tatapan penuh tanya."Tapi aku ingin hidu
Akhirnya Kumenemukanmu Adakalanya sesuatu itu harus direlakan karena keadaan yang tak memungkinkan. Adakalanya juga mereka dengan teguh memperjuangkan apa yang diinginkannya dengan sekuat tenaga. Pun sama denganku yang harus merelakan rasa ini untuknya tetap tersimpan dalam dada. Jangan bilang aku munafik, karena aku hanya berusaha menjaga diri dari sesuatu hal yang bisa berujung dengan penyesalan. Ada banyak hati yang harus kujaga sebelum aku melangkah. Ada masa depan yang sedang kupertaruhkan saat aku hendak melangkah. Aku bukan lagi wanita yang bebas memilih jalan hidup sesuka hati. Kini aku adalah seorang ibu dengan satu putri yang berstatus janda. Tanpa aku memilih hal yang buruk pun, cap buruk identik dengan status janda yang kusandang. Tidak semua memang. Tetapi status janda cukup rawan menjadi bahan perbincangan atau menjadi salah satu yang disebut namanya ketika ada sesuatu hal yang terjadi dengan rumah tangga orang lain. Apalagi aku masih tinggal di kampung yang ketika ap