"Apa, menikah?" Ratih, ibu Mia terkejut mendengar ucapan pemuda yang baru saja diperkenalkan oleh putrinya.
"Maaf Bu, kami sudah ---" Gilang menunduk takut.
"Ada apa ini, Mia?" Wanita itu menatap putrinya yang malah tersenyum bahagia.
"Aku dan Gilang mau menikah, Bu. Tolong restui saja kami." Mia memohon pada sang ibu yang terlihat kecewa.
Ratih membesarkan Mia seorang diri setelah kepergian suaminya. Dia putri satu-satunya yang menjadi harapan hidupnya, belum juga lulus kuliah dan mendapatkan kerja sekarang malah meminta restu untuk menikah.
Meski penampilan Gilang terlihat baik dan mapan, Ratih ingin putrinya menjadi wanita mandiri. Bukan seperti ini yang ia rencanakan sebelumnya.
Ratih meminta waktu untuk membicarakan hal ini berdua dengan putrinya, dia menyuruh Gilang pulang, dan akan memberi keputusan nanti.
Setelah Gilang pergi, Ratih menatap putrinya dengan lekat, mencoba memahami apa sebenarnya yang dia inginkan.
"Apa yang membuatmu ingin menikah secepat ini, kamu tidak hamil 'kan Mia?" tatapan Ratih penuh selidik, dia memperhatikan perut putrinya yang terlihat rata.
"Ibu, aku hanya ingin hidupku berubah. Gilang anak tunggal dan aku ingin hidup bahagia bersamanya," rengek Mia.
"Mia, apa kamu pikir bahagia itu hanya karena banyak uang?" Ratih terlihat geram.
"Ya, jelas. Ibu menyuruhku kuliah agar aku mendapatkan kerja yang baik demi apa, demi uang 'kan?" Mia menatap ibunya.
"Bukan begitu maksud, Ibu!" Ratih tersinggung dengan ucapan Mia.
Dia geram dengan sikap anaknya yang mata duitan, padahal bukan seperti itu yang Ratih harapkan, dia ingin putrinya menjadi wanita bermartabat mendapatkan harta dari jerih payah sendiri, karena itu lebih menyenangkan dan membanggakan.
"Ibu, Mia lelah hidup begini-begini terus, Mia ingin hidup bahagia," suara Mia memelas.
Mendengar rengekan putrinya, pertahanan Ratih mulai goyah, sekeras apa pun dia melarang tetap saja kebahagiaan Mia yang paling utama.
"Kalau itu sudah menjadi pilihanmu, Ibu bisa apa," sahut Ratih pelan.
"Ibu setuju?" Mia melonjak girang, Ratih mengangguk pelan dengan senyum dipaksakan.
"Ibu, terima kasih. Mia janji akan membahagiakan Ibu setelah aku menikah, nanti kita akan tinggal di rumah mewah. Ibu tidak perlu bersusah payah mencari uang buat Mia."
Gadis itu mulai berkhayal akan impiannya setelah menikah dengan Gilang. Ratih hanya tersenyum kecut mendengarkan putrinya membicarakan impiannya.
***
Setelah mendapat persetujuan dari Ratih, Mia sering mendatangi rumah Gilang. Sore itu dia datang dengan membawa rendang buatan ibunya.
"Sore, Om," sapa Mia saat bertemu Dirga yang baru saja pulang dari kantor.
"Eh ... Mia, baru datang?" balas Dirga ramah.
"Iya, Om." sahut Mia dengan senyum tak kalah ramah.
"Ayo masuk," ajak Dirga diikuti Mia di belakang.
Mia langsung menuju dapur mengambil tempat untuk meletakkan rendang lalu menaruhnya di meja makan.
"Bi, mau bikin apa?" tanya Mia pada pembantu di dapur.
"Kopi buat Tuan, Mbak mau dibuatin kopi apa teh?" tanya pembantu itu dengan sopan.
"Sini biar aku yang buatin, ajarin ya." Mia meraih cangkir dari tangan Bibi.
"Kopinya satu setengah, gulanya satu saja, Mbak," ucap Bibi saat Mia menuang bubuk kopi.
Setelah membuat kopi dan teh kemudian dibawa ke ruang keluarga, di sana Dirga tengah duduk sambil memeriksa pekerjaan melaui ponselnya. Dia terkejut melihat Mia datang dengan membawakan kopi.
"Lo, Bibi mana?" Dirga menoleh kebelakang.
"Bibi sibuk, jadi Mia bantuin buat kopi." Mia duduk setelah meletakkan kopi buatannya di meja.
"Wah ... jadi ngrepotin, bagaimana rencana kalian selanjutnya?" Dirga membahas rencana pernikahan Mia dengan putranya.
"Soal itu, terserah Gilang, Om. Ibu sudah setuju." Mia menunduk malu.
Lelaki tua itu menyeruput kopi dari cangkir dengan pelan, terasa aneh di lidah tak seperti buatan bibi. Mia memperhatikan wajah calon mertuanya sambil meminum teh yang ia buat.
"Kopinya nggak enak ya, Om?" Mia menyadari perubahan ekspresi di wajah pria itu.
"Ini kamu yang buat?" tanya Dirga, Mia mengangguk malu.
"Kamu perlu latihan sama Bibi, biar bisa membuat kopi yang lebih enak lagi," ucap Dirga sambil tertawa.
Mia tersipu malu, tapi juga merasa senang ternyata Dirga lebih mudah bersahabat dari pada Gilang yang kaku. Meski umurnya sudah tua, wajah pria itu juga masih terlihat ganteng dan menawan.
Mereka berdua berbincang santai dan semakin akrab, Dirga lebih banyak bertanya tentang keluarga Mia. Gadis itu menceritakan kalau ayahnya sudah meninggal dan hanya tinggal bersama ibunya.
Mendengar kisah Mia tentang keluarganya hati Dirga yang lembut mulai tersentuh, dia kagum dengan ibu Mia yang membesarkan putrinya seorang diri. Kalau ibunya wanita tangguh pasti anaknya juga memiliki sifat yang sama pikirnya.
Sampai malam Gilang tak kunjung pulang, Dirga mencoba menghubungi anaknya agar cepat pulang, akan tetapi yang ditunggu tak kunjung datang.
"Mia, ayo kita makan duluan, Gilang pasti sudah makan di luar," ajak Dirga.
Mia menemani calon mertuanya makan malam, dia melayani Dirga menyiapkan makan di piring. Dirga semakin kagum pada Mia sudah lama dia tidak dilayani seperti ini, sejak istrinya meninggal dia lebih sering makan sendiri.
"Ini rendang buatan Ibu, Om." Mia menambahkan rendang di piring Dirga.
"Enak, dagingnya lembut, boleh nih sering-sering bawain rendang." Dirga menikmati makan malamnya dengan nikmat.
"Nanti Mia bawain lagi kalau Om suka."
Setelah selesai makan, Mia membawa piring kotor ke dapur membantu bibi membersihkan piring, kemudian dia pamit pulang.
"Kamu naik apa?" tanya Dirga.
"Taksi, Om," jawab Mia.
"Ayo Om antar, sekalian Om mau bertemu dengan ibumu." Dirga mengambil kunci mobil di lemari, Mia melonjak girang akhirnya dia bisa merebut hati pria ini.
Sepanjang jalan mereka berbincang, membicarakan banyak hal, ternyata Mia cukup menyenangkan untuk teman ngobrol. Tiba lah mereka di rumah Mia yang kecil tapi terlihat nyaman.
"Ini rumah Mia, maaf ya Om rumah Mia kecil dan jelek," ucap Mia malu.
Dirga berjalan bersama Mia masuk ke rumah, kemudian Mia memanggil ibunya yang tengah sibuk di dapur menyiapkan bumbu untuk berjualan besok di warung.
"Bu, ada Om Dirga, papanya Gilang." Mia memeluk ibunya dari belakang.
"Hah ... kok kamu gak bilang, aduh gimana ini mana kita nggak ada makanan lagi." Ratih tak enak hati kedatangan calon besan saat tidak ada apa-apa untuk dihidangkan.
Mereka berdua bergegas ke ruang tamu menemui Dirga yang telah duduk di sana menunggu.
"Duh ... maaf Pak, nggak tahu kalau mau kedatangan tamu." Ratih menyalami Dirga.
"Tidak apa-apa, saya antar Mia sekalian mampir, terima kasih rendangnya enak," ucap Dirga ramah.
Mereka bertiga berbincang membicarakan tentang rencana pernikahan, Ratih sudah pasrah dia menyerahkan semua persiapan pada keluarga laki-laki.
Puas berbincang Dirga berpamitan pulang, Mia mengantarkan Dirga sampai ke mobil, sebelum masuk mobil Dirga meraih tangan Mia meletakkan lembaran uang di tangan gadis itu.
"Apa ini, Om?" Mia terkejut melihat lembaran uang berwarna merah di tangannya.
"Buat belanja daging biar kamu rajin ngirimin Om rendang." Dirga tersenyum manis.
"Banyak banget ini, Om." Mata Mia melebar melihat uang banyak di tangannya.
"Lebihnya buat shoping." Dirga terkekeh sambil masuk ke mobil.
Mia senang sekali dia tidak salah pilih sebentar lagi hidupnya benar-benar akan berubah, dapat suami ganteng, kaya plus mertua yang tidak pelit. Dia berlari ke rumah menunjukkan uang itu pada ibunya.
"Bu, lihat. Calon mertuaku baik banget 'kan?" Mia menghitung lembaran uang pemberian Dirga.
Ratih tersenyum melihat putrinya bahagia, Mia membagi uang pemberian Dirga dengan ibunya, meski Ratih menolak dia tetap memaksa dengan meninggalkan sebagian uang di meja.
Masa depan cerah sudah terpampang di depan mata, ternyata lebih mudah meluluhkan hati Dirga dari pada hati Gilang. Mia tak peduli yang penting Dirga baik padanya, soal Gilang itu urusan nanti.
***
*Terima kasih sudah membaca jangan lupa likenya ya***
Empat puluh hari telah berlalu, Mia mulai menata kembali hidupnya setelah kehilangan sang ibu, sekarang bisa bebas bertemu dengan Bintang membuatnya bertahan menghadapi apapun yang akan datang. "Gilang, hari minggu aku mau ajak Bintang nonton sebelum aku balik ke panti." Mia menghubungi mantan suaminya. "Boleh, mmm... apa kamu siap ketemu sama Ali?" Hati Gilang tiba-tiba bergemuruh mendengar Mia mau kembali ke panti. "Siap-siap saja, toh dia sudah bersama istrinya.""Kalau ada apa-apa kabari aku, ya.""Tenang dia tak akan menggangguku," hibur Mia sebelum mengakhiri percakapan. Di kantornya Gilang tengah merenung sambil memainkan ponsel, ia sedang menunggu kabar dari pengacara yang mengurus perceraiannya. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan, dia merubah posisi duduk saat asisten membuka pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. "Silahkan, sudah ditunggu sama Bapak," ucap wanita cantik itu kemudian mengangguk pada Gilang memberi hormat sebelum pergi. "Ah... Pak Thomas, apa
Sesuai janjinya Gilang membawa Bintang ke rumah Mia, pertemuan itu membuat Mia sangat bahagia, kehadiran putranya mampu menghapus duka dan kecewa.Meski awalnya Bintang canggung, kesabaran Mia membuat anak itu akhirnya mulai akrab dengannya. Setelah acara doa selesai mereka berbincang di ruang tamu, Bintang menyukai pesawat mainan yang dibeli Mia untuknya. "Terima kasih sudah membawa Bintang ke sini," ucap Mia pada Gilang. "Seharusnya aku misahin kalian," desah Gilang penuh sesal. "Kamu membesarkan dia dengan baik, buktinya dia sehat.""Mmm... Aku, aku tidak pernahbersamany, karena dulu aku benci dengannya.""Aku mengerti, ucapkan terima kasihku pada istrimu yang sudah merawat anakku dengan baik."Ucapan Mia membuat Gilang membelalakkan mata, dia tidak nyaman dengan sebutan istri untuk Tini. "Om... Pulang, yuk!" rengek Bintang. Kedua orang dewasa yang pernah menjadi pasangan suami istri itu saling tatap, kemudian keduanya sama-sama tersenyum. "Bintang sudah ngantuk, ya?" Mia me
Adzan subuh membuat Mia terbangun, ia baru sadar ada orang yang tidur di sampingnya, pelan-pelan ia turun dari ranjang agar tak membangunkan Gilang yang tertidur pulas. Setelah mandi Mia melakukan salat subuh, lalu ke dapur membuat teh, sambil menunggu tehnya dingin ia mengecek ponsel dan menghapus nomor Ali dari penyimpanan nomor kontak. Dia tak mau mengulang kesalahan yang sama lagi, saat ini dia hanya ingin sendiri menjalani hidup ini dengan damai, menenggelamkan waktu dengan mengurus panti. Sambil menyeruput teh hangat pikiran Mia berkelana, sepertinya Tuhan belum mengijinkan ia untuk bahagia, setelah kehilangan ibu kini ia menelan pil pahit saat tahu kenyataan saat pria yang ia anggap bisa membuka hati ternyata mempunyai istri. "Kamu baik-baik saja kan?" suara Gilang mengagetkan Mia. "Yah... Aku gak apa-apa, kamu nggak pulang?" Gilang ikut duduk, Mia langsung mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Gilang. "Tadi malam aku mau pulang tapi kunci mobil nggak tahu nyelip di m
Ali memacu mobilnya seperti orang kesetanan, dia tak peduli kalaupun mobil mereka nanti menabrak sesuatu, harga dirinya telah diinjak-injak dan rasa cemburu membakar dadanya melihat Gilang memeluk Mia dan mengakui sebagai istrinya.Puspita yang duduk di samping bergidik ngeri menahan napas sambil berpegangan erat pada kursi, dia benar-benar takut mati, perjalanan itu seperti perjalanan terakhir baginya. Ali tak bicara sepatah katapun dia hanya fokus pada jalanan dan emosi yang mendidih di kepala.Sementara itu Mia berbaring dengan tubuh meringkuk membelakangi Gilang yang masih duduk menemani, pria itu berencana pergi kalau Mia sudah tertidur.Jam dua belas malam Gilang memeriksa ponsel dan mendapatkan sebuah pesan dari Robi yang ternyata sudah pulang duluan, dalam hati ia mengumpat kesal karena ditinggal pulang.Mia sudah tertidur dengan tenang, pelan-pelan Gilang berdiri lalu mematikan lampu kamar sebelum pergi, dia terkejut saat membuka pintu semua sudah gelap. "Hah... gelap semua
Acara berlangsung kidmat, Mia juga sudah bisa mengendalikan diri kedatangan Fatimah menjadi penyejuk sekaligus penenang buatnya.Usai acara tamu satu persatu pulang, tinggal Robi, Gilang, Ali, Yusuf, Fatimah dan Ani. Mereka pun bahu membahu menyusun kursi dan meletakkan di teras, agar mobil bisa parkir di dalam, tenda dan kursi memang dipinjamkan sampai acara tahlil selesai setiap ada warga yang membutuhkan.Ke empat pria itu kembali berbincang di teras, sementara Mia, Fatimah dan Ani berada di ruang tamu."Mbak Ani baiknya istirahat, kamu sudah capek seharian bantuin, pakailah kamar belakang buat tidur," ucapa Mia."Baik Mbak, kalau begitu saya istirahat dulu. Oh... ya besok Mbak Mia mau dimasakin apa? Saya mau ke pasar sekalian ambil baju di warung.""Ah... apa aja, tolong ambilkan tas di kamar saya," pinta Mia."Pakai ini aja." Tiba-tiba Ali berada di pintu mengeluarkan dompet lalu mengambil lima lembar uang berwarna merah."
Sebelum memulai percakapan dengan Gilang, Mia menghela napas, mencoba mencairkan suasana canggung di antara mereka."Terima kasih atas kedatanganmu, andai Ibu melihat dia pasti sangat senang.""Ibu orang baik, aku tidak bermasalah dengannya, ini sebagai wujud penghormatan terakhirku pada beliau.""Aku ikut senang mendengar kamu sudah menikah, semoga kamu berbahagia." Mia tersenyum."Itu... hanya sebuah kebetulan, tidak ada yang tahu soal itu, bahkan Robi juga tidak tahu." Gilang menghela napas kemudian berjalan ke jendela memandang keluar."Kenapa bisa begitu?" Mia memandang punggung Gilang yang sengaja membelakanginya."Apa dia tidak cerita, pria yang bersamamu waktu itu?""Dia hanya cerita kalau kamu menikahi calon istri yang dijodohkan oleh orang tuanya, hanya itu.""Memang begitu, pengasuh Bintang tiba-tiba pulang, kamu ingat waktu aku menuduhmu membawa Bintang, saat itu Bintang pergi dari rumah mencari pengasuhnya jadi aku