"Kesalahanmu? Kesalahanmu itu sangat banyak, bahkan sampai esok pun tak akan selesai untuk menjabarkannya!" Reynald menatap Sofia dengan penuh kebencian. Kebenciannya pada Ruslan sangat mendalam, hingga Sofia yang tidak bersalah apa-apa pun menjadi sasaran amuknya, hanya karena Sofia pernah menikah dengan Ruslan.Sia-sia Sofia kesini, berharap mendapatkan hal yang mungkin akan mengubah rasa dendam dihatinya. Sofia datang karena ingin memberi kesempatan pada Riana dan Reynald yang notabene hanya pengikut saja, bukan pelaku utama. Namun ternyata sifat mereka masih sama, membenci Sofia tanpa alasan yang jelas. "Aku akan memaafkan kalian, kalau kalian mengakui kesalahan kalian masing-masing."Riana tertawa mengejek, baginya ucapan Sofia hanyalah lelucon disiang bolong. Ancaman Sofia tak ada apa-apanya dibanding ancaman Stephanie yang terdengar lebih menakutkan. "Daripada kau kesini hanya untuk mengigau, lebih baik kau pulang dan bawa simpananmu pergi!"Tangan Sofia mengepal erat di sampin
Dengan suasana hati yang semakin memburuk, Ruslan terus mengemudikan mobilnya tanpa arah. Ia hanya ingin terus melaju tanpa berpikir hendak kemana tujuannya sekarang. Kepalanya semakin pening dengan serangkaian masalah tak terduga yang semakin menambah setiap harinya. Hingga Ruslan merasa, bisa jadi kepalanya ini akan meledak suatu saat nanti jika kedepannya masih akan ada masalah yang terus berdatangan. Ruslan memukul setir kemudinya dengan keras, mengeratkan giginya dan menggeram rendah. Seharusnya bukan seperti ini yang berada dalam angan-angannya. Seharusnya tak membutuhkan waktu yang lama untuknya, berada diposisi puncak di perusahaan seperti yang diimpikan ibunya. Lalu dia bisa bersenang-senang kembali dengan kedua anaknya, atau mungkin kembali menerima Sofia disisinya. Tapi siapa sangka, jika Sofia sekarang malah berani memukulnya mundur setelah dilepas mentah-mentah olehnya?Seharusnya pula Stephanie berada di belakangnya, selalu mendukung atas setiap langkah yang ia pilih.
Degup jantung Stephanie berdetak lebih kencang setelah dia mendengar kabar Zen kecelakaan. Tangannya terus meremas blouse yang ia kenakan, membuatnya kusut tak karuan. Bibirnya memucat dengan dahi yang penuh dengan keringat."Tenanglah, aku yakin Zen tidak apa-apa." Tangan Hendra yang kiri meremas tangan Stephanie untuk menenangkan. Sedang tangan kanannya fokus untuk memegang setir kemudi. Beruntung jalanan sedikit lengang saat mereka lewat karena memang waktu sudah menunjukkan dini hari. Belum banyak orang-orang yang turun ke jalanan untuk memulai aktivitas. Tadinya mereka sedang dalam perjalanan pulang sehabis bertemu dengan salah satu pengacara, rencananya mereka akan diskusi perihal hukum. Hendra ingin memanipulasi kasus Rianti agar Axel yang nantinya menjadi tersangka. Usaha apapun akan Hendra tempuh, untuk melengserkan Axel dari posisinya sekarang."Tolong dipercepat lagi, Pa. Aku sudah tak sabar ingin melihat keadaan Zen." Sesuai permintaan Stephanie, Hendra pun melajukan mob
Mendengar itu, membuat Stephanie tertawa geli. Menertawakan sikap Ruslan yang tidak tegas. Terlihat jelas masih ada rasa di kilatan matanya, bahwa dia belum sepenuhnya merelakan Sofia. "Aku tidak peduli dia jalang atau bukan, yang terpenting jaga jarak antara dirimu dengan kedua anakmu.""Apa masalahmu? Aku hanya ingin bertemu dengan darah dagingku." Sengaja Ruslan menekan kata 'darah daging' untuk menyinggung Stephanie.Stephanie meninggikan salah satu alisnya, menatapnya dengan menantang. "Apa kau sudah lupa tentang tujuanmu kemari?" Lalu dia menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. "Kupikir, hanya kedua adikmu saja yang melenceng dari tugas. Nyatanya kamu pun berbuat sama!"Ruslan memicingkan matanya, mencerna perkataan Stephanie tentang kedua adiknya. "Apa yang sudah kau lakukan pada kedua adikku?""Tak banyak... hanya mengancam agar mereka patuh dan kembali menjalankan tugas." Stephanie bahkan enggan menatap suaminya, dia malah merentangkan tangannya di udara dan memeriksa kuk
"Ya, Lucas udah gak takut," jawab Lucas tanpa beralih dari mainannya. Tangannya sibuk membongkar pasang mainan susun yang baru saja dibelikan Axel untuknya.Lucas memang sudah tidak takut bertemu dengan Ruslan setelah berbagai usaha pendekatan yang dilakukan Ruslan. Hati Lucas masih bersih, pikirannya masih lurus. Tidak seperti para dewasa yang melapisi pikiran dan perasaan mereka dengan berbagai ego dan pemikiran yang mendalam.Axel beralih mengamati Sofia yang menatap Lucas dengan muram kemudian matanya bergeser lagi pada Lucas. "Kapan Lucas bertemu dengan papa?" "Kemarin." Lucas terkekeh kecil dan menatap Axel dengan mata berbinar. "Papa udah baik, papa bilang gak akan marah-marah lagi sama mama."Mata Sofia semakin berkaca-kaca mendengarnya, ingin meneteskan air mata. Masalahnya dengan Ruslan memberi dampak besar pada kedua anaknya, terutama Lucas. Namun disisi lain ia bersyukur, berkat adanya masalah 'itu', Sofia bisa kembali pada kedua orangtuanya dan kedua anaknya bisa bebas d
Mata Ruslan memelototi Riana lalu tertawa kecil sambil berkata, "Jangan becanda! Aku sedang tak ingin bermain-main.""Sebenarnya apa yang ibu sukai dari dirimu? Kenapa ibu selalu mencarimu? Kenapa dia tidak mencariku saja yang sudah lelah seharian menungguinya? Kau bahkan tak menjawab panggilanku berkali-kali. Ibu kritis pada waktu itu dan kau malah pergi entah kemana!" Reynald memuntahkan semua isi yang berada di kepalanya dengan muak. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipi dan lehernya. Suara tangisan dari Reynald sungguh menyayat hati yang mendengarnya. Ia sungguh muak melihat kedatangan kakaknya yang sudah sangat terlambat. Tadi malam ibunya berkali-kali mencari keberadaan Ruslan, ibunya bahkan sama sekali menggubris keberadaan Reynald dan Riana. Yang ibunya inginkan hanyalah Ruslan. Semua itu berlangsung selama berjam-jam, sebelum garis naik turun yang ditampilkan di monitor detak jantung berubah menjadi lurus. "Gak mungkin... gak mungkin," lirih Ruslan berucap. Berulang
Dentingan singkat yang berasal dari ponsel Rosa membuat Reynald tergerak untuk iseng mengintip pesan. Reynald menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut sampai ke bagian atas perutnya, lalu meraih ponsel Rosa yang digeletakkan di atas nakas. Saat Reynald sudah memegang ponsel Rosa, dentingan singkat kembali berbunyi. Manik kehitaman Reynald membelalakkan mata kala membaca nama kontak dari layar depan, tertulis 'pak Axel'. Dengan cepat Reynald mengusap layar untuk membuka pesan.[Kita akan bertemu di kafe star, kebetulan aku sehabis bertemu dengan seseorang disini.][Kita juga akan membicarakan kelanjutan hubunganmu dengan Reynald.]Kening Reynald mengernyit dalam saat ia membaca namanya di sebut oleh Axel. Reynald yakin kalau nama Axel yang tertera di kontak adalah Axel si atasan sekaligus musuh keluarganya.'Apa dia tahu hubunganku dengan Rosa? Kenapa dia bisa tahu?''Tentangku? Ini aneh!' Serentetan pertanyaan terus mengerubungi pikirannya, dengan tangan bergetar Reynald segera m
Mata Reynald terus mengeluarkan air mata yang entah mengapa sulit untuk ia tahan. Amarahnya bergejolak dalam dada. Sesekali ia memukul setir kemudinya, kemudian dia menginjak pedal gas lebih dalam untuk melajukan mobilnya terus membelah jalan. Pikirannya sangat kalut, ia tak bisa berpikir akan menuju kemana. Yang terpenting saat ini ia ingin pergi sejauh-jauhnya untuk menenangkan diri.Pengecut memang, ibunya meninggal dia memilih untuk bercinta dengan seorang perempuan. Lalu mendengar sebuah pernyataan mengejutkan dari seorang perempuan tersebut, dia memilih untuk kabur lagi entah kemana. Yah, pada dasarnya dia memang sejak dulu selalu melarikan diri dari apapun yang menimpa dalam hidupnya. Hidupnya terlalu dikendalikan, emosinya pun sama. Pengendali hidupnya sudah tiada, lalu membuatnya kehilangan arah untuk sekedar menyelesaikan satu masalah."Ibu... ini semua gara-gara kau!" teriaknya penuh kesal. Matanya masih fokus menatap jalanan tapi tidak dengan pikirannya. Pikirannya berlari