"Ya, Lucas udah gak takut," jawab Lucas tanpa beralih dari mainannya. Tangannya sibuk membongkar pasang mainan susun yang baru saja dibelikan Axel untuknya.Lucas memang sudah tidak takut bertemu dengan Ruslan setelah berbagai usaha pendekatan yang dilakukan Ruslan. Hati Lucas masih bersih, pikirannya masih lurus. Tidak seperti para dewasa yang melapisi pikiran dan perasaan mereka dengan berbagai ego dan pemikiran yang mendalam.Axel beralih mengamati Sofia yang menatap Lucas dengan muram kemudian matanya bergeser lagi pada Lucas. "Kapan Lucas bertemu dengan papa?" "Kemarin." Lucas terkekeh kecil dan menatap Axel dengan mata berbinar. "Papa udah baik, papa bilang gak akan marah-marah lagi sama mama."Mata Sofia semakin berkaca-kaca mendengarnya, ingin meneteskan air mata. Masalahnya dengan Ruslan memberi dampak besar pada kedua anaknya, terutama Lucas. Namun disisi lain ia bersyukur, berkat adanya masalah 'itu', Sofia bisa kembali pada kedua orangtuanya dan kedua anaknya bisa bebas d
Mata Ruslan memelototi Riana lalu tertawa kecil sambil berkata, "Jangan becanda! Aku sedang tak ingin bermain-main.""Sebenarnya apa yang ibu sukai dari dirimu? Kenapa ibu selalu mencarimu? Kenapa dia tidak mencariku saja yang sudah lelah seharian menungguinya? Kau bahkan tak menjawab panggilanku berkali-kali. Ibu kritis pada waktu itu dan kau malah pergi entah kemana!" Reynald memuntahkan semua isi yang berada di kepalanya dengan muak. Air mata mulai mengalir deras membasahi pipi dan lehernya. Suara tangisan dari Reynald sungguh menyayat hati yang mendengarnya. Ia sungguh muak melihat kedatangan kakaknya yang sudah sangat terlambat. Tadi malam ibunya berkali-kali mencari keberadaan Ruslan, ibunya bahkan sama sekali menggubris keberadaan Reynald dan Riana. Yang ibunya inginkan hanyalah Ruslan. Semua itu berlangsung selama berjam-jam, sebelum garis naik turun yang ditampilkan di monitor detak jantung berubah menjadi lurus. "Gak mungkin... gak mungkin," lirih Ruslan berucap. Berulang
Dentingan singkat yang berasal dari ponsel Rosa membuat Reynald tergerak untuk iseng mengintip pesan. Reynald menutupi tubuhnya yang polos dengan selimut sampai ke bagian atas perutnya, lalu meraih ponsel Rosa yang digeletakkan di atas nakas. Saat Reynald sudah memegang ponsel Rosa, dentingan singkat kembali berbunyi. Manik kehitaman Reynald membelalakkan mata kala membaca nama kontak dari layar depan, tertulis 'pak Axel'. Dengan cepat Reynald mengusap layar untuk membuka pesan.[Kita akan bertemu di kafe star, kebetulan aku sehabis bertemu dengan seseorang disini.][Kita juga akan membicarakan kelanjutan hubunganmu dengan Reynald.]Kening Reynald mengernyit dalam saat ia membaca namanya di sebut oleh Axel. Reynald yakin kalau nama Axel yang tertera di kontak adalah Axel si atasan sekaligus musuh keluarganya.'Apa dia tahu hubunganku dengan Rosa? Kenapa dia bisa tahu?''Tentangku? Ini aneh!' Serentetan pertanyaan terus mengerubungi pikirannya, dengan tangan bergetar Reynald segera m
Mata Reynald terus mengeluarkan air mata yang entah mengapa sulit untuk ia tahan. Amarahnya bergejolak dalam dada. Sesekali ia memukul setir kemudinya, kemudian dia menginjak pedal gas lebih dalam untuk melajukan mobilnya terus membelah jalan. Pikirannya sangat kalut, ia tak bisa berpikir akan menuju kemana. Yang terpenting saat ini ia ingin pergi sejauh-jauhnya untuk menenangkan diri.Pengecut memang, ibunya meninggal dia memilih untuk bercinta dengan seorang perempuan. Lalu mendengar sebuah pernyataan mengejutkan dari seorang perempuan tersebut, dia memilih untuk kabur lagi entah kemana. Yah, pada dasarnya dia memang sejak dulu selalu melarikan diri dari apapun yang menimpa dalam hidupnya. Hidupnya terlalu dikendalikan, emosinya pun sama. Pengendali hidupnya sudah tiada, lalu membuatnya kehilangan arah untuk sekedar menyelesaikan satu masalah."Ibu... ini semua gara-gara kau!" teriaknya penuh kesal. Matanya masih fokus menatap jalanan tapi tidak dengan pikirannya. Pikirannya berlari
Tangan Ruslan mengepal erat, ia mengeratkan giginya untuk menahan amarah yang sudah sampai berada di puncak ubun-ubun. Pertanyaan dari Hendra entah mengapa membuatnya muak.Jika saja setengah kewarasan dalam dirinya sudah hilang, sudah pasti ia akan menghabisi Hendra karena menurutnya bermuka dua. Ruslan sudah sepenuhnya yakin, bahwa ada sesuatu hal yang besar disembunyikan dari Hendra dari dirinya. Riana sudah terus berbicara tentang Stephanie yang katanya adalah pelaku pembunuhan ibunya. Ruslan tahu, meskipun Riana tidaklah sepintar Stephanie, tak mungkin adiknya itu berbual tanpa bukti. Lagipula, sebenarnya sudah dari dulu dirinya juga merasa kalau memang ada yang janggal dengan Stephanie.Untuk saat ini ia akan memilih mengalah dihadapan Hendra dan Stephanie, demi ibunya yang membutuhkan sebuah ketenangan di peristirahatan terakhirnya.Esok, sesegera mungkin dia akan mengakhiri semuanya."Benar, Pa. Aku yakin ibu pasti tidak akan menyangka jika aku akan bersikap seperti ini." Mat
Axel masih duduk termenung diam meskipun Ruslan sudah beberapa menit yang lalu meninggalkan rumahnya. Dalam benaknya masih memikirkan alasan Ruslan yang tiba-tiba saja mendatangi kediamannya dan menanyakan dalang dibalik pembunuhan ibunya. Sejujurnya ini semua sudah melenceng jauh dari rencana dan perkiraan awal. Ia tak pernah menyangka bahwa Hendra nekat membunuh Rianti demi menutupi kepentingan dirinya sendiri.Yang lebih mengejutkannya lagi, Ruslan seperti akan berkhianat dengan papanya dan berbalik haluan untuk menyerang.Axel merogoh ponsel dalam saku celananya dan mencari nama seseorang di daftar kontak."Halo." Suara seseorang segera menyapa setelah Axel meneleponnya."Aku ingin kau mengikuti terus gerak-gerik Ruslan. Jangan sampai ada yang terlewat!" titan Axel."Baik, Tuan."Setelah menutup panggilan, Axel membuka sebuah pesan yang baru saja mendarat di aplikasi chatnya.[Mamaku membuat makan malam banyak hari ini, apa kau bersedia untuk datang dan menghabiskannya? Kebetulan
Gertakan dari Hendra cukup membuat sekujur tubuh Stephanie gemetar karena ketakutan, setelah itu Hendra pergi meninggalkan Stephanie yang masih terduduk kaku dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Dalam keheningan, Stephanie mengacak rambutnya kasar dan berteriak kencang untuk meluapkan rasa sesak yang menyiksanya. Tangisan Stephanie memenuhi seluruh penjuru ruangan milik Hendra, tidak ada seorangpun yang berada di luar memberanikan diri untuk bertanya. Semenjak kepulangannya dari tempat pemakaman Rianti, Stephanie mulai mengalami mimpi buruk yang menghantui. Sosok Rianti datang dengan wajah yang menyeramkan, mendatangi mimpi seolah meminta pertanggungjawaban. 'Ini konyol!' Begitulah umpatan Stephanie saat pertama kali mengalami mimpi buruk itu. Namun siapa sangka, kalau mimpi buruk tersebut terus terjadi berulang kali. Saat kapanpun Stephanie terlelap, mimpi itu akan selalu hadir.Stephanie bahkan merasakan trauma yang dalam karena mimpi-mimpi buruk tersebut. Pikirannya mulai
Suasana rumah yang beberapa waktu lalu masih ramai dipenuhi oleh banyak penghuni, kini terasa sepi dan begitu dingin. Ruslan menaiki anak tangga yang sedikit berdebu dengan lemas. Ia bagai tak memiliki semangat dan tenaga bahkan untuk sekedar berjalan menyusuri rumah. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak ada lagi yang utuh di dalam sana.Penyesalan demi penyesalan bermunculan seiring kakinya menaiki anak tangga. Berat rasanya masih bertahan hidup disaat tak seorangpun yang menungguinya di rumah, yang memberinya semangat dan menyokongnya untuk terus maju. "Ibu...," lirihnya saat ia sudah berada di lantai dua. Matanya berembun saat ia menatap foto yang terpajang di dinding. Tiba-tiba terdengar suara ban koper yang beradu dengan lantai, membuat Ruslan seketika menoleh. "Riana? Mau kemana kamu?" Sesaat Ruslan lupa dengan keberadaan sang adik yang masih ada.Penampilan Riana begitu kacau, wajahnya sembab dan membengkak akibat mengeluarkan air mata terus menerus. "Nyusul Reynald ke