Share

Aku Bukanlah Prioritasmu
Aku Bukanlah Prioritasmu
Author: Tujuh

Bab 1

Author: Tujuh
Setelah mengurus semua hal untuk pergi, aku menutup telepon dan meletakkan kembali dokumen rahasia itu ke tempat semula.

Dari luar, aroma tembakau yang begitu familiar perlahan masuk.

Aku mendongak, ternyata dia.

Evan mendorong pintu dan masuk, setelan jasnya masih melekat hawa dingin malam

Dia memelukku dari belakang, napas hangatnya menyapu lembut sisi leherku. Suaranya tetap rendah dan lembut seperti biasa.

“Kok belum tidur?”

“Nggak apa-apa, aku hanya sedang memikirkan lelang perhiasan baruku.”

Aku tersenyum, berusaha membuat nadaku terdengar normal seperti biasanya.

Dia menyandarkan dagunya di bahuku, jari-jarinya menyusuri rambutku pelan-pelan, “Sayang, kamu terlalu sering begadang belakangan ini demi acara itu. Aku sudah menyewa konsultan gizi terbaik di dunia untukmu. Dia bakal datang besok.”

Lima tahun menikah, Evan benar-benar sangat memanjakanku.

Aku takut dingin, jadi dia selalu membawa tempelan penghangat di sakunya.

Aku takut gelap, dia baru akan mematikan lampu setelah memastikan aku tertidur.

Semua orang iri padaku. Mereka bilang pewaris Grup Somanta yang terkenal dingin itu rela menurunkan seluruh gengsinya hanya demi diriku.

Sangking sering mereka mengatakannya, aku bahkan sampai memercayainya.

Hingga malam ini, barulah aku sadar, semua perhatian itu hanya untuk menutupi siapa sebenarnya yang ingin dia lindungi.

“Oh iya.”

Ujar Evan dengan santai setelah menjatuhkan beberapa kecupan lembut di belakang leherku.

“Ayah dan ibumu mengundangku ke jamuan makan, untuk merayakan kehamilan Meisy, adik tirimu.”

Dia terdiam sejenak, lalu menambahkan lagi dengan tenang,

“Sekalian, acara lelang perhiasanmu itu sudah kuserahkan padanya. Kamu nggak perlu datang. Aku yang akan mengirimkan hadiah ucapan selamat, lalu segera pulang untuk menemanimu.”

Seketika, aku membeku di tempat.

Lelang perhiasan amal itu adalah hasil kerja kerasku sebagai desainer selama tiga tahun penuh.

Setiap desain, setiap rencana, setiap undangan tamu, semuanya kuurus sendiri.

Tampaknya, itu adalah lelang amal yang bergengsi.

Sebenarnya, itu adalah jaringan relasi penting yang kupersiapkan untuk masa depan bisnis Grup Somanta.

Aku mengerahkan semua kemampuanku demi acara itu.

Dan sekarang… dia memberikannya begitu saja pada orang lain?

Aku menahan suara agar tidak terdengar bergetar, “Kenapa? Itu acara lelang produk baruku, semua tahapnya sudah siap. Dewan direksi pun sudah menyetujui aku yang mengurusnya….”

Dia memotongku dengan suara lembut,

“Aku sudah bicara dengan dewan direksi, biarkan Meisy yang lanjutkan saja. Akhir-akhir ini dia sering mual karena hamil, suasana hatinya nggak bagus. Membiarkannya mengurus lelang itu bisa jadi hiburan. Kamu juga bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat di rumah, menjaga kesehatan.”

Aku menunduk, menyembunyikan perasaanku yang hancur.

Dia menjadikan hasil kerjaku sebagai hiburan untuk Meisy.

Dan lebih parahnya, dia bahkan tidak menyadari betapa tersakitinya diriku dan terus membicarakannya.

“Lusa itu hari ulang tahunmu, aku sudah siapkan kejutan untukmu. Oh iya, kamu kelihatan selalu murung sendirian di rumah akhir-akhir ini, aku membawakan teman baru untukmu, dia ada di ruang tamu bawah,” ujarnya dengan sedikit gembira, seolah mengharapkan pujian, “Seekor kucing yang sangat penurut. Aku tahu kamu paling suka binatang kecil.”

Kucing.

Iya, benar. Aku memang suka binatang kecil… kecuali kucing.

Aku alergi parah terharap bulu kucing dan Evan tak mungkin tak tahu.

Dalam sebuah pertemuan bisnis setelah menikah, klien membawa kucing peliharaannya.

Hanya karena tanganku tersentuh oleh kucing itu, kulitku langsung muncul ruam dan dadaku terasa sesak.

Evan yang biasanya sangat tenang, benar-benar panik saat itu.

Dia memanggil namaku dengan suara bergetar. Sangking paniknya, dia langsung menggendongku, bahkan melupakan kliennya.

Di ruang tunggu rumah sakit, dia terus mendesak dokter, “Dia dalam bahaya, nggak? Bisa segera diobati? Kalau kekurangan darah, ambil darahku saja!”

Dokter bahkan berulang kali meyakinkan bahwa aku akan baik-baik saja.

Setelah gejala alergi mereda, dia juga menjagaku sepanjang malam dan tidak berani memejamkan mata.

Namun sekarang, dia malah memberiku kucing?

Aku teringat dokumen rahasia yang kulihat sebelumnya.

Hal yang paling Meisy sukai adalah kucing.

Orang yang sebenarnya ingin di senangi dengan hadiah ini bukanlah diriku.

Aku berusaha keras memaksakan senyuman.

“Terima kasih, tapi nggak perlu. Aku takut nggak bisa merawatnya dengan baik. Kamu bisa kosongkan jadwalmu di hari ulang tahunku? Aku sudah mengatur kegiatan, semoga kamu bisa merayakannya bersamaku.”

Dia mengangguk, lalu berbisik lembut di telingaku, “Tentu saja, istriku yang menentukan.”

Malam itu, aku tak bisa tidur.

Evan memelukku erat-erat, aku perlahan melepaskan diri dan ingin mencari udara segar di balkon.

Tepat pada saat itu, ada sesuatu yang tergelincir keluar dari saku baju tidurnya.

Aku membungkuk untuk mengambilnya dan ternyata itu adalah botol parfum kecil.

Setelah tutupnya dibuka, aroma unik langsung masuk ke hidung.

Aku pernah mencium aroma ini di badan Meisy.

Banyak orang yang iri bertanya pada Meisy di mana dia membeli parfumnya dan dia selalu tersenyum misterius, mengatakan itu adalah ‘rahasia manis’.

Ternyata, ini adalah aroma unik yang dipesan khusus dari Evan untuknya.

Seketika, aku benar-benar menyerah.

Dua hari kemudian, aku juga akan memberikan hadiah yang diinginkan Evan….

Yaitu menghilang selamanya dari dunianya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 9

    Di ruang rawat VIP rumah sakit, dokter sudah menangani luka Andi dengan baik.Aku duduk di sisi ranjang, menatap wajahnya yang terlelap dan tenang. Barulah aku bisa menghela napas lega.Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan.Aku membuka pintu, ternyata orang itu Evan.Dia berdiri sendirian dengan kepala tertunduk. Tidak ada lagi jejak keangkuhan dan percaya diri yang dulu dia miliki.“Melinda….” panggilnya dengan suara serak.“Bolehkah… kita bicara sebentar?”Aku menoleh melihat Andi yang masih tertidur, lalu menutup pintu perlahan dan berjalan keluar bersamanya.“Melinda, aku salah.”Dia mendongak menatapku, matanya tampak penuh garis merah, “Setelah kamu pergi, aku baru sadar betapa besarnya kesalahanku.”Suaranya dipenuhi penyesalan.“Aku ingat seberapa malamnya aku pulang dari jamuan bisnis, kamu selalu menungguku hanya untuk menyeduhkan teh penghangat untukku. Aku ingat kamu belajar memasak sup khusus untuk menyehatkan lambungku….”“Aku terlalu bodoh, dibutakan oleh Meisy. Aku meng

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 8

    “Meisy.” Aku berbicara dengan tenang, nada suaraku tanpa gelojak, “Ini tempat kerja pribadiku. Silakan keluar.”“Suruh aku keluar?!” Dia tertawa terbahak-bahak dengan gila, “Melinda, dasar jalang!”“Kamu menghancurkan semua milikku! Pernikahanku dan reputasiku! Sekarang kamu berlagak seperti nyonya yang begitu angkuh?”“Kalau bukan karena kamu, mana mungkin aku berakhir seperti ini?!”Tatapannya penuh kebencian, seolah ingin mencabik-cabikku.“Bahkan Evan… demi dirimu, dia mengabaikanku! Dasar jalang! Kamu pikir kamu sudah menang?”Usai bicara, dia langsung menerjang maju seperti orang gila, kukunya mengarah langsung ke wajahku.Belum sempat aku bereaksi, sosok tubuh berdiri di depanku.Dia adalah Andi, pelanggan tetap di kafe yang dulu mengundangku ke sini dan juga pemilik workshop ini yang sebenarnya.“Nona, tolong jaga sikapmu,” ujarnya sambil mencengkeram pergelangan tangan Meisy dengan tenang dan kuat.Meisy menjerit sampai meronta-ronta dengan gila.Tepat pada saat itu, pintu ke

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 7

    Keesokan harinya, orang itu inisiatif mengirimkan pesan terakhir padaku.Itu adalah tautan berita tentang Evan.Laporan tersebut menyatakan bahwa pewaris terkaya itu telah absen dari penampilan publik selama berbulan-bulan dan pekerjaan perusahaan sepenuhnya diserahkan pada asistennya.Laporan itu juga menyertakan foto yang diambil secara diam-diam.Evan berdiri sendirian di tepi tebing, sosoknya terlihat kurus dan tatapannya kosong.Aku menatap foto itu. Dalam hatiku tidak ada benci, juga tidak ada rasa puas.Hanya ketenangan yang mematikan.Tampaknya, penyesalannya itu benar.Lalu emangnya kenapa?Aku tidak ingin lagi menjadi istri yang dia jadikan tameng, apalagi menjadi penebusan setelah dia bertobat.“Bu Linda.”Suara pelanggan tetap itu terdengar di samping.Dia datang lagi hari ini.Dia menyerahkan sebuah map dengan bingkai yang sangat rapi padaku.“Aku nggak akan pergi,” ujarku langsung menolak, tanpa melihat isinya.“Kenapa?” tanyanya.“Jangan biarkan masa lalu mengurungmu. Ba

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 6

    Meski berkata demikian, aku tetap tak bisa menahan rasa penasaran untuk meminta laporan terakhir pada orang itu.Isinya sangat singkat.Meisy diceraikan suaminya dan diusir dari Grup Somanta. Di kalangan sosialita, namanya sudah hilang ditelan bumi.Evan telah mengerahkan segala upaya, mencari ke seluruh bagian dunia… tetap saja tak menemukan apapun.Laporan itu menuliskan bahwa Evan sudah lama tidak muncul di depan publik. Seluruh kepribadiannya berubah drastis, sangat berbeda dari sebelumnya.Aku membaca habis semuanya dengan wajah datar, lalu menghapus semua informasinya.Evan mulai menyesal.Namun, aku sudah keluar dari dunianya.Semua kasih sayangnya yang datang terlambat, bagiku hanyalah sebuah lelucon.“Linda, latte artmu indah sekali!”Gadis yang baru bergabung di cafe menoleh dan memotong lamunanku.Aku mendorong kopi itu dan berkata pelan, “Hanya bentuk ombak, cepat antarkan.”“Linda.” Dia memiringkan kepalanya, “Sepertinya kamu nggak senang?”Aku terdiam, lalu tersenyum, “Ng

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 5

    Email terjadwal itu adalah surat penghakiman yang kuberikan pada Evan, sekaligus perpisahan terakhirku dengan pernikahan itu.Saat dunianya kacau balau, aku sudah berada di sebuah kota kecil di tepi pantai.Semua masa lalu sudah terisolasi ribuan kilometer jauhnya.Tidak ada Grup Somanta dan Evan di sini.Hanya ada satu kamar dan satu jendela yang menghadap ke laut.Aku mengganti identitas menjadi Linda. Melinda yang dulu harus berhati-hati dalam setiap langkah, telah kukubur dengan tanganku sendiri.Aku bersembunyi di sini, tanpa diketahui siapapun dan telah siap untuk menjalani sisa hidup sendirian.Awalnya, aku jarang berinteraksi.Hidupku sebatas antara kafe dan apartemen.Penduduk kota kecil itu menganggapku orang asing yang pendiam dan berinisiatif menjaga jarak.Inilah ketenangan yang kuinginkan.Aku pernah berpikir bahwa kebahagiaan hidup adalah perhiasan yang berkilauan dan kekuasaan di tengah dunia sosial.Kini aku mengerti, kebahagiaan juga bisa berupa menyeduh secangkir kop

  • Aku Bukanlah Prioritasmu   Bab 4

    Evan terdiam, lalu membentak sambil mencengkeram kerah baju asistennya, “Apa katamu?!”Asistennya tergagap ketakutan,“Pak Evan, nyonya… nyonya menghilang di puncak gunung! Terakhir kali ada yang melihatnya, dia ada di tepi tebing. Tim penyelamat menemukan jam tangan nyonya di dekat tebing….”“Nggak mungkin! Kok dia bisa bunuh diri?!”Evan memotong asistennya, suaranya terdengar sangat serak.“Dia mendaki sendirian? Kok nggak ada yang memberitahuku?!”Asisten itu tergagap dan menjawab dengan gemetar, “Pak Evan, aku sudah meneleponmu tadi malam, tapi ponselmu mati terus….”Evan buru-buru mengeluarkan ponselnya.Layarnya gelap, tidak menyala meski ditekan berulang kali.Dia menoleh ke arah Meisy, tatapannya tajam seperti sebilah pisau, “Kamu yang mematikan ponselku?”Meisy terkejut dengan tatapannya dan segera membela diri, “Evan, mana mungkin aku mematikan ponselmu? Mungkin kamu nggak sengaja menyentuhnya atau baterainya habis, lalu mati otomatis. Jangan salahkan aku!”Dia berpura-pura

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status