"Me-Menikah?!" pekikku hingga menarik tubuh.
'Dengan monster sepertimu?!'
"Aku mengundangmu ... bukan hanya karena akan membeli aset dan membebaskan dirimu dari utang. Tapi ... karena aku ingat namamu, Anya Levitski."
Wajahku terkejut. Aku masih belum percaya pada apa yang barusan dia ucapkan.
Menikah dengannya?! Yang benar saja! Laki-laki itu bisa memotong-motongku hingga tiga puluh bagian dan menyimpan cuilan-cuilannya di perkakas rumah. Apa dia tidak dengar putusan pengadilan tadi?! Kau menganiaya Putri Sofia, kawan!
"Kau tidak ingat padaku?" tanya Lord Korzakov.
Alisku mengerut. Aku meraba ke sudut kepalaku yang paling dalam. Aku tidak mungkin pernah bertemu orang ini. Pria seeksklusif Lord Korzakov, mana mungkin bangsawan kelas rendah sepertiku pernah bertemu dengannya.
Kepalaku hanya bisa menggeleng pelan.
"Kita bertemu di Debyutanka, dua belas tahun lalu. Di istana kekaisaran. Gaun itu ... kau memakainya juga," ia menunjuk gaun zamrudku yang kuno. "Aku tidak mengira akan melihatnya lagi."
'Dua belas ... tahun? Dia masih ingat?'
"I-ini ...," aku terbata saking tidak percaya. "Saya memperbaiki baju ini beberapa kali," lirihku dengan malu. Mungkin kedua kulit pipiku telah memerah. "Jadi masih muat." Yah. Dengan tambalan di bagian dalam.
"Kau tak ingat padaku?" tanyanya mengulang.
Aku menggeleng pelan. "Maaf ... saya tidak ingat."
"Tentu saja. Semua laki-laki mengerumunimu, menanti giliran untuk berdansa denganmu. Sedangkan aku telah bertunangan dengan Sofia. Setelah pesta, para ksatria dan putra-putra bangsawan membicarakanmu. Anya Levitski, gadis idaman semua orang. Sampai-sampai ... aku cukup lelah mendengar nama itu."
Aku tak tahu bagaimana. Tapi ada sedikit perasaan menyanjung dalam hatiku. Aku bahkan tak tahu kalau jadi bahan obrolan para ksatria. Aku pernah ada di posisi seperti itu? Luar biasa.
"Kudengar ayahmu juga menolak-nolak setiap pemuda yang melamar. Mungkin dia terlalu ambisius ingin mendapatkan menantu berstatus tinggi."
"Itu benar ...," kataku pelan.
"Setelahnya kau tidak pernah muncul lagi di Debyutanka. Seperti lenyap ditelan bumi. Apa yang terjadi?"
Aku menarik nafas lesu. "Setelah ayah sakit, saya harus mengurus pabrik. Saya ... tidak punya waktu untuk pesta dan hal-hal semacam itu, my lord," ucapku pelan. "Saat itu saya juga punya adik perempuan yang masih kecil."
Selanjutnya ... kami tak bicara lagi. Kami berdua cuma memandangi langit yang mulai gelap di luar jendela. Hatiku semakin kelu. Seva adikku yang kuserahkan pada orang asing untuk dinikahi. Aku bahkan tidak sempat bertanya bagaimana perasaannya.
"Bagaimana? Kau mau?" pria itu menggugahku dari lamunan. Aku kembali beralih padanya. "Menikah denganku?" tawarnya
Dengan sebuah tarikan nafas, aku menolaknya. "Ti-."
"Aku tidak pernah memukuli Sofia. Dan aku ingin membuktikannya," potong pria itu. Hingga suaranya berhasil menenggelamkan jawabanku. "Aku tidak pernah memukul istriku. Aku difitnah!" tepisnya dengan keras.
Sebelah alisku telah naik.
"Hanya itu? Hanya untuk membuktikan tuduhan itu? Lebih baik Anda mengajak wanita lain saja."
Tubuh pria itu mencondong padaku.
"Apa kau pikir ... dengan kondisiku sekarang ini, akan ada wanita yang mau menikah denganku?"
Tanpa menjawab sepatah katapun, aku memandangnya enggan. Harusnya dia paham.
"My lord," aku menegakkan tubuh. "Pernikahan bukanlah hal main-main. Lagi pula, jika Anda sudah pernah menikah dan bercerai, lalu Anda menikah lagi, Anda akan dianggap berzina seumur hidup!" ceramahku. Sedikit menaikkan nada bicaraku seharusnya bisa membantu keluar dari masalah ini.
Aku bisa melihat mata birunya melirik ke samping. Bibir tipis pria itu terbuka sedikit. "Aku tidak akan dianggap berzina kalau ...," ia kembali memandangku. Tubuhnya mendekat di hadapanku, kemudian setengah berbisik. "Anya ... kau masih perawan?"
"Akh!" yang keluar hanya sebuah desisan lirih. Wajah Lord Korzakov kini tertengok karenaku.
Sekilas aku memasang wajah jengkel dan jijik bersamaan. Tapi itu semua segera larut. Sebuah cap tangan merah tercetak di pipi putih His Grace Lord Alexey Korzakov, The Duke of Korzakov! Jantungku rasanya mau copot! Apa yang sudah kulakukan?! Anya bodoh!
Sedetik yang lalu aku telah melayangkan sebuah tamparan hebat seumur hidupku. Kini, kedua tanganku menutupi mulut yang menganga. Mataku menatapnya dengan takut. Sedang Lord Korzakov memasang wajah buas yang ingin melumatku hidup-hidup.
Jiwaku seperti tersedot oleh kedua mata birunya. Tubuhku lemas dan tenggelam pada sandaran kursi kereta kuda.
"Ma ... Maaf! Maafkan saya!"
Aku tak bisa menyembunyikan jemariku yang gemetar.
Tangan Lord Korzakov menggenggam pergelanganku. Pergelangan tangan kanan yang telah memukul wajah bangsawannya.
"M-My lord ... Ser ... maafkan s-saya ...," suaraku bergetar hebat. Air mata mengalir dari pelupuk mataku. Aku bisa merasakannya jatuh ke kulit pipi yang telah dingin. "Tolong ... jangan potong tangan saya ...," rintihku padanya.
Jantungku sudah lepas saat pria itu merebut lenganku. Kupikir, ia akan mengeluarkan sebuah belati dari sakunya dan memutus benda itu. Lalu membuangnya lewat jendela.
Kuremas kelopak mataku rapat-rapat hingga tertutup seluruhnya. Aku takut.
Sesaat kemudian, aku merasa menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat. Ketika kubuka mata, Lord Korzakov menangkupkan tanganku pada pipinya, bekas tamparan dariku.
Aku ... menyentuh wajah pria ini. Kulitnya lembut, tapi aku bisa merasakan tulang pipi yang pejal. Sebuah kehangatan asing terpancar darinya. Tatapannya padaku begitu datar. Aku nyaris tak percaya jika amarahnya sudah lenyap entah kemana. Sementara aku yakin dia bisa merasakan jemariku yang masih gemetaran.
"Pendeta akan memeriksa darah di sprei setelah malam pengantin. Jika kau berdarah di malam pengantin, maka pernikahan kita dinyatakan suci. Aku tak akan dianggap berzina. Tapi ... jika tak ada darah ...," ia menjeda. Pandangannya kembali menghunus padaku.
Jika aku tak berdarah ... apa yang akan terjadi? Apa ... dia akan membunuhku? Apa dia akan menikam jantungku setelah menikah? Apa? Apa?!
Semua pikiranku tentangnya adalah mimpi buruk.
"... aku akan pakai darah siapapun untuk mengelabui pendeta."
Aku menelan seluruh ludah di tenggorokanku. Bulu kudukku merinding saat ia mengatakannya. Orang ini ... jelmaan iblis Lucifer mungkin.
Pria itu telah melepas lengan kurusku. Aku masih bisa merasakan genggamannya yang kuat menjalar di kulit yang tipis.
"Bagaimana jawabanmu, Levitski?"
"S-Saya ...."
Apa aku harus menjawab pertanyaan tidak sopan dan merendahkan itu?
"Kau mau menikah denganku?" tanyanya lagi.
Seharusnya ini adalah sebuah lamaran. Tapi ... pria itu menanyakannya dengan wajah dingin dan datar. Seperti bukan apa-apa baginya.
"Saya ...."
"Tidak hanya menutup isu itu. Aku juga butuh penerus," sambungnya.
Penerus? Maksudnya ... aku harus melahirkan anak untuknya?
Sekilas ... aku berpikir Tuhan sedang membalas perbuatanku pada Seva dulu. Aku membuatnya menikah supaya dia bisa keluar dari kemiskinan kami. Aku membuatnya menikah dengan bangsawan kaya hanya untuk memberi seorang pewaris. Lalu ... aku akan menelan kalimat-kalimatku sendiri yang kuucapkan pada Seva lima tahun lalu.
Ini juga terjadi padaku?
Apa aku seputus asa ini sampai-sampai harus menikahi pria iblis sepertinya?
"Apa kau tidak ingin menikah, Levitski?" Lord Korzakov memecah lamunanku.
'Menikah ... ya?'
Oh tentu aku menginginkannya. Dulu. Dulu sekali. Aku cuma bisa membayangkan cerminan diriku dalam gaun pernikahan. Seperti apa laki-laki yang akan bersamaku. Semua itu cuma angan-angan.
Aku tersenyum miris.
"Pernikahan ... adalah hal yang sangat mewah bagi saya, Your Grace. Saya telah mengubur dalam-dalam mimpi untuk menikah. Bagi saya... pesta ... pernikahan ... cinta ... itu hanya untuk anak kecil," ucapku sendu.
"Benar. Cinta hanya untuk anak kecil. Aku sudah tidak membutuhkannya. Kau pun sama. Baguslah kalau kita punya pandangan yang sama."
Sungguh. Dari semua perkataan yang keluar dari mulut iblis orang ini, hanya kalimat itu yang kusetujui.
"Kalau begitu, kau mau menikah denganku?" tanyanya kesekian kali. "Kulunasi semua hutang dan asetmu. Kau boleh memakai semua uang atas namaku. Sebaliknya, aku ingin kau menjaga reputasiku dan memberiku pewaris."
Jelas aku menyiratkan keraguan yang besar. Kepalaku masih dipenuhi oleh tuduhan dan gosip soal orang ini. Apalah arti gunungan harta jika aku dipukuli setiap hari olehnya? Lalu aku harus berpura-pura baik-baik saja di depan orang lain? Lebih baik aku bekerja sampai mati di pabrik orang dan pulang ke gubuk kecilku setiap hari.
"Aku tidak akan melukai sehelai rambutmu. Jika itu terjadi ... kau boleh menceraikanku dan aku akan berikan seratus ribu keping Lyrac padamu," jaminnya.
Kepalaku mendongak seketika. "Bahkan aku akan tetap memberimu seratus ribu keping Lyrac meski kau memfitnahku dengan keji seperti Sofia."
'Fitnah?'
Prinsessa Sofia Romanov.Aku tak terlalu melihatnya tadi saat kami semua memanjatkan doa-doa pujian bersama para uskup. Tak tahu perempuan itu ada di mana. Tapi bagian yang menyebalkan, disinilah ia, membuat heboh satu aula pesta. Kurasa memang itulah perannya di kekaisaran ini. Membuat orang bergembar-gembor akan kecantikannya, akan kesempurnaannya, akan kepolosannya.Aku muak dengan wanita ini.Semua bangsawan terkesiap. Dansaku dan Alexey telah usai. Berbeda denganku yang telah mematri memandang si perempuan sempurna kekaisaran seperti bangsawan lainnya, Alexey tak peduli dengan apa yang ditatap oleh orang-orang."Kau lihat apa?" tanyanya sembari mengarahkan daguku agar aku berpaling padanya."Itu ... Sofia datang," lirihku.Alexey mengernyit. Air mukanya langsung berubah enggan.Sofia Romanov, ini seperti de ja vu. Aku seakan melihat lagi pesta debutanteku dua belas tahun lalu. Seperti ini. Ya ... seperti ini.Ia menuruni t
Keluarga Tsar sudah berdiri di tempat mereka di atas sebuah panggung kecil berkarpet merah. Para uskup membawa lilin-lilin, kemudian paduan suara mulai menyanyikan kidung pujaan kepada Tuhan. Diikuti oleh doa-doa dari kitab suci oleh uskup secara bergantian. Berikutnya salah satu dari uskup itu membacakan doa khusus untuk keluarga Tsar. Lagu Bozhe, Tsarya Khrani (Ya Tuhan, Lindungilah sang Tsar) menggema di seluruh aula, membuat bulu kuduk berdiri karena seluruh keagungan dan kekaguman di udara ini.Kami membungkuk, sesekali menggerakkan tangan dan menangkup untuk berdoa, mengikuti arahan uskup yang ada di depan. Itu kami lakukan berkali-kali selama doa dibacakan. Mengucap syukur dan berbagai pujian kepada Tuhan.Aku berdiri cukup pas untuk nyaris berada di depan barisan, aku bisa menyaksikan keempat dari mereka, keluarga Tsar dengan cukup jelas.Tsar Nikolai Romanov, jauh lebih tua dari Alexey dan Stepan, jenggot dan kumisnya tertata rapi. Ia terlihat bagai lel
Aku tidak tahu bagaimana orang lain berpikir. Aku bukan orang yang begitu relijius. Namun Vera Durnovko, ia terlihat pucat."Kakak tidak apa-apa?"Kami baru saja selesai dan keluar dari Katedral Kazan. Pelataran Biara Alexander Nevakov saat ini cukup ramai. Para bangsawan berbondong-bondong keluar dari bangunan tua nan megah itu. Aku menggandeng Vera yang sepertinya bisa runtuh suatu ketika. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya.Ia menggeleng pelan. "Aku ... tidak tahu, Anya," Vera melirih. Pagi ini memang dingin. Aku khawatir jikalau kakak iparku itu sakit. "Sebaiknya kita lekas pulang," kataku. Kepalaku memburu kesana kemari berharap bisa segera menemukan Stepan dan Alexey."Anya ... apakah kita ini adalah orang-orang yang tersesat?" tanyanya. Itu menghentikanku. Aku menatap dalam pada Vera. Ia cemas, matanya berkaca-kaca dan takut. Aku sendiri, jujur saja, tidak tahu harus menjawab apa.Dulu kami memang sering datang ke gereja di dekat wastu, di dekat pabrik. Bersamaan dengan war
Dia adalah orang melarat. Si Rasputin itu. Konon ia datang dari tempat yang sangat jauh di timur, di dataran ini. Entah apa pekerjaannya dulu, mungkin petani miskin seperti kebanyakan orang. Yang jelas dia bukan bangsawan, atau orang terhormat macam ningrat, juga bukan pedagang. Beberapa hari di ibukota, dan aku mulai mendengar sekian rupa kabar burung tentang asal muasal lelaki yang dipanggil nabi oleh sebagian orang. Konon ia adalah orang suci, dia bisa melihat masa depan, dosa dan kesakitan orang-orang. Yang lain menyebutnya penipu. Alexey sudah jauh lebih baik. Berkat dokter, memar di tubuh dan wajahnya sudah mulai nyaris sepenuhnya hilang. Siang ini kami berempat di kediaman, minum teh. Bukannya tidak ingin pulang ke Dukedome, ada sesuatu yang menahan kami. "Perayaan tiga ratus tahun pemerintahan Dinasti Romanov ya ...," gumam Alexey. "Tiga ratus tahun. Bisa kau bayangkan? Kekaisaran sebesar ini dimiliki oleh satu keluarga. Kalau bukan karena orang-orang setia seperti ki
Aku menghela napas. Aku tidak bisa pura-pura terkejut. Aku sudah tahu betul itu. Tetapi ... mengapa mendengarnya langsung dari bibir Alexey membuatku merasa sakit hati. Aku berusaha keras menahan perasaanku ini di depan Alexey. Aku berusaha tegar."Aku bersumpah demi Tuhan, Anya. Aku tidak pernah menyakitinya. Dia memutar semua itu di pengadilan, di pergaulan kelas atas," lirih Alexey.Kemudian, suamiku itu mulai bercerita.Prinsessa Sofia Romanov. Anak dari mendiang Boris Romanov, yang seharusnya menjadi pewaris tahta Kekaisaran Levron. Ayahnya meninggal karena sakit, kemudian ibunya yang depresi pun bunuh diri. Kejadian itu menyisakan Sofia Romanov seorang. Pamannya, yakni Tsar Nikolay Romanov pun mengambilnya untuk diasuh. Seperti seharusnya, karena mereka tidak punya anak laki-laki, maka tahta pun disematkan pada Tsar Nikolay Romanov. Sedari kecil Alexey sudah mengenalnya saat berumur sepuluh tahun. Dia ingat betul gadis kecil itu. Pendiam dan polos. Sofia kecil lebih suka menyendi
Aku, Vadim dan Alfons, kami tidak tahu apa yang telah terjadi pada Alexey. Kembali ke penjara istana Tsar juga rasanya bikin mual."Aku tidak bisa diam saja!" hardikku.Alfons berusaha menenangkan dan bahkan membungkam kami. Enak saja!"Tapi, my lady ... ini terjadi di bawah istana Tsar. Jika Anda gegabah, bisa-bisa Anda berurusan dengan keluarga Tsar."Tanganku meremas erat begitu jengkel hingga buku-buku jariku memutih."Seseorang harus bertanggung jawab! Mereka sudah menganiaya Alexey!""My lady," Vadim angkat bicara. Sedari tadi hanya aku dan Alfons yang cekcok. "Saya ingin bicara berdua dengan Anda."Vadim mengangguk memberi isyarat pada Alfons, membuat bahu lelaki itu turun. Sepertinya dia merasa lega tidak perlu lagi berdebat denganku. Sesaat kemudian, Alfons meninggalkan ruang baca.Aku bersedekap, masih berkeras hati duduk di sofa. Wajahku sudah pasti pahit."My lady ... sekarang ini, Tuan sedang benar-benar membutuhkan Anda. Saya berharap agar Anda bisa berada di sampingnya."