Share

Part 5

Bab 5 

 

Selama satu jam Ibu tidak sadarkan diri. Mungkin beliau sangat terkejut. Bagaimana kalau tahu perusahaan tempat anaknya bekerja adalah milikku. Pasti sikapnya akan berubah seratus delapan puluh derajat. 

"Ayu maafkan Ibu, Nak. Selama ini selalu bersikap kasar. Sebetulnya Mila sudah hamil. Jadi, Ibu menyetujui karena ingin menimang cucu," ujarnya dengan lembut. 

 

Aku tidak akan luluh dengan kata-katanya. Enak saja setelah apa yang dilakukan selama ini padaku dengan entengnya meminta maaf. Apalagi wanita yang telah merebut suamiku tengah hamil. Jadi, mereka sudah melakukan hubungan terlarang. 

 

"Aku bukan wanita baik, Bu. Jadi, untuk saat ini simpan saja kata-kata itu." 

 

"Yu, apa kamu tega mengusir kami di saat malam begini?" ucap mas Aldi dengan sendu. 

 

Aku tidak akan terpedaya dengan wajah sendu itu. Selama ini kalian tidak pernah tega sama aku. Dia mengambil uang perusahaan sampai milyaran apa memikirkan aku? ibunya juga selalu meminta uang dan ternyata dia sawer kepada tamu undangan pernikahan anaknya. Apa mereka memikirkan perasaanku? Tak kubayangkan sudah berapa ratus juga dihamburkan dengan mudahnya. Biarkan saja mereka pergi malam ini juga. 

 

"Maaf Mas, sesuai surat perjanjian. Siapa yang berhianat harus pergi dari rumah tanpa membawa apapun." 

"Cih, kamu juga selingkuh dengan pria itu," ungkap Ibu. Tuh kan keluar juga sifat aslinya. Beruntung tidak terpedaya dengan air mata buayanya. Ternyata seperti itu kelakuan Ibu apabila ada maunya baik dan sebaliknya. 

 

"Terserah yang jelas aku mempunyai bukti dan itu sah secara hukum karena kita mendatangani di atas matarai."

Tunggu selanjutnya mas, aku juga akan menggungat cerai. Tidak mungkin berbagi suami lebih baik mundur. Apalagi Mila sedang hamil. Aku pergi ke kamar meninggalkan mereka yang tengah kebingungan. Kenapa harus bingung? Bukannya mereka juga mempunyai rumah, oiya, Ibu bilang rumahnya tengah direnovasi. 

 

"Bu ayok kita pergi ke rumah. Enggak apa aku masih mempunyai istri yang baik dari pada dia. Sebentar lagi Ibu akan mendapatkan cucu. Mungkin selama ini yang mandul Ayu bukan aku." 

 

"Iya kamu benar ngapain hidup dengannya, walaupun selalu memberi Ibu uang, tetapi tidak bisa mempunyai keturunan buat apa?"

 

Telingaku panas mendengar mereka berbicara, koper yang berisi pakaian mas Aldi kulemparkan padanya. Tega sekali kamu mas, berkata demikian. Kurang apa aku, kalau masalah anak kita bisa bicarakan baik-baik. Bahkan, kami belum sempat periksa kandungan, ibumu sudah memvonis kalau aku yang mandul. 

 

"Dasar wanita sinting sudah jelas-jelas kamu juga selingkuh. Akan aku cari bukti ini tidak adil bagi anakku." 

 

"Cari saja sampai dapat Bu, aku tidak takut karena yang Ibu tuduhkan hanya fitnah. Ini bisa saja menjadi sebuah laporan pencemaran nama baik." 

 

Wajah mertuaku langsung pucat pasi mendengar ancamanku. Namun, bukan sekadar sebuah ancaman, tetapi peringatan agar dirinya tidak mengusik kehidupanku. 

Tidak lama mereka pun pergi sambil terus menggerutu terutama Ibu. Bahkan, sumpah serapah ia berikan padaku. Tubuh ini jatuh ke lantai, cairan bening itu tidak bisa kubendung lagi. Bukan menyesal telah mengusir mereka. Namun, aku terlalu bodoh. 

Aku terduduk lemah kedua kaki di tekuk tangan mungil ini memeluknya dengan kepala tertunduk. Membayangkan pengkhianatan yang mereka lakukan di belakang ku selama ini. Apa salahku, mas. Begini rasanya dikhianati orang terdekat sakit yang tak bernanah. Namun, sangat perih. Bulir kristal itu makin berjatuhan membasahi pipi dan berhenti sejenak di mulut. 

"Mengapa hidupku seperti ini. Andai saja Papa masih ada mungkin tak akan cengeng. Suami yang aku kira akan menjadi tempat berlindung, kini telah mengkhianati janji suci pernikahan. Kamu tega, mas!" teriakku 

Malam ini terasa sangat sepi, seperti hatiku. Tidak ada tempat untuk mencurahkan segala kepenatan di benak. Andai saja Ibu masih ada mungkin aku mempunyai tempat bersandar. 

Besok harus periksa untuk memastikan kondisi rahim ku. Apa benar aku wanita mandul seperti yang dituduhkan mertuaku. 

Tak terasa mataku terlelap saking lelah menangis. 

 Cahaya mentari menyeruak dari jendela. Mataku mengerjap silau, semalam lupa tidak menutup tirai. Aku meraba sisi ranjang, tetapi tak ada siapapun.  

 "Mas," lirih ku seketika bayangan semalam teringat. Aku sudah mengusirnya. Kuhapus jejak air mata yang kembali menetes tanpa sadar. 

Gegas ku bersihkan diri untuk pergi ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit, tubuh ini berada di depan cermin menatap wajah sendiri. Mata sembab masih jelas terlihat, ku ambil make-up untuk menutupinya. Sudut bibir dipaksa senyum walaupun kaku.

Aku harus bangkit ini sudah menjadi keputusanku. 

Perutku berbunyi sedari semalam tak kuis. Aku pun melangkah ke dapur untuk membuat sarapan. 

"Hemmm pantesan semalam mertuaku marah-marah." Ternyata tidak ada bahan masakan dalam kulkas. 

Kuputuskan untuk sarapan di luar saja. Sebelum ke rumah sakit, tentunya hari ini aku akan kembali bekerja di perusahaan Papa. Sekitar dua puluh menit aku sampai, beruntungnya perjalanan tidak macet. 

"Mbak, saya mau ke dokter kandungan," ujarku pada salah satu perawat di sana. 

"Mari saya antar," balasnya dengan ramah. Tidak lama ruangan kandungan sudah ada di depan mata. Namun, perawat mengatakan sedang ada pasien di dalam. Sehingga aku menunggu di kursi yang telah disediakan. 

Untuk menghilangkan kebosanan, aku membuka ponsel dan men scroll media sosial. 

 

"Sial," gerutuku saat tidak sengaja melihat postingan Mila dengan caption

'Suami idaman' 

 

Di sana terlihat Mila tengah memegang buket bunga mawar merah dengan senyum lebar. Namun, dia berfoto sendiri entah mengapa mas Aldi tak ikut di sana. Selama tiga tahun pernikahan mana pernah mas Aldi bersikap romantis seperti itu. 

 

Tidak lama namaku dipanggil dan menyimpan ponsel di tas.

"Mari berbaring, Mbak?" titahnya dengan tersenyum. Lalu, Dokter memeriksa rahimku dengan alatnya entah apa namanya itu. 

 

Hatiku deg-deg-an takut hasilnya tak sesuai dengan kenyataan. Karena aku yakin kalau diri ini tak mandul.

Dokter itu tersenyum hangat kepadaku dan berkata, "Mari duduk." 

 Aku pun mengikuti perintahnya. 

"Kondisi rahim Mba sangat baik, bahkan subur tensi juga normal." 

 

"Jadi, saya tidak mandul? Tetapi, sudah tiga tahun menikah belum juga  ...." 

 

"Mmm, kalau suaminya bersedia datanglah kemari biar mengetahui masalahnya dimana?" 

Aku hanya tersenyum tipis. Tak mungkin kuajak ke sini, dia telah kuusir mana mungkin mau. Syukurlah kalau aku tidak mandul mungkin Tuhan belum mempercayaiku. Aku pun pamit dan segera ke kantor karena Mira sudah menghubungi dari tadi. 

Kini, mobilku sudah berada di depan kantor yang menjulang tinggi. Pasti saat ini tengah kacau karena kondisi keuangan pasti menurun. Omset penjualan pun merosot, ada kabar barang yang ku jual tak layak pakai. 

Para karyawan menyapaku dengan ramah. Mira-- sekertaris-- langsung menemuiku. Dia tidak basa-basi dan langsung mengatakan masalah perusahaan. 

 

"Ayok ikut aku," ujarku dengan semangat.

Kmu berada di ruang meeting untuk membicarakan bagaimana caranya supaya klien tak jadi membatalkan pembeliannya. 

Pembicaraan kami sangat alot, klien meminta potongan harga jauh dari pasaran kalau masih mau pada perusahaanku. Akhirnya kuputuskan untuk mengiyakan, walaupun sebenarnya aku sangat rugi. 

"Bu, ada email masuk dari perusahaan RE Corp. Beliau ingin mengajukan kerjasama. Ini kesempatan bagus apalagi modal yang ditawarkan sangat besar. Lima puluh milyar." 

Aku membulat sempurna, siapakah orang ini. Mengapa bisa memberikan uang sebanyak itu. Apa perusahaan itu tidak mengetahui kalau perusahaan ini tengah mengalami kerugian. 

"Kapan akan bertemu?" tanyaku senang. 

"Nanti siang." 

Waktu yang ditunggu telah tiba. Degup jantugku seakan berhenti menerka-nerka siapa orangnya. Mungkin dia orang paling kaya. Pintu knop  dibuka memperlihatkan seorang pria tampan, hidung bangir. 

"Kamu?" ucapku saat melihat yang datang ternyata ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status