Share

Bab 4. Ipar Somplak

Hari ini aku mulai bekerja ketika semua pekerjaan rumah sudah kuselesaikan semua. Sementara asebekum berangkat, aku pergi ke rumah Mbak Rina untuk menagih uang dua ratus ribu yang dia pinjam. Aku sangat membutuhkan uang itu untuk perjalanan ke tempat kerja.

"Mbak Rina, Mbak Rina!" sengaja aku teriak-teriak memanggil Mbak Rina di depan rumahnya. Sengaja memang, biar suaminya tahu kelakuan istrinya padaku.

Ceklek

Aku tersenyum ketika seseorang yang aku tunggu dari kemarin sudah menunjukkan batang hidungnya, siapa lagi kalau bukan Mbak Rina. Heran aku, pagi-pagi tetapi penampilannya seperti kuntilanak bangun tidur.

"Kamu ada apa sih, pagi- pagi sudah teriak seperti orang kesurupan!" Mbak Rina keluar seperti tak ada beban, rambutnya masih acak-acakan seperti penampakan wewe gombel. Bekas air ilur bahkan masih menempel di samping bibirnya. Benar-benar jorok kakak iparku ini. Aku saja jijik melihat penampilannya pagi ini.

"Mbak, aku kesini mau nagih uangku yang dua ratus ribu itu. Katanya Mas Rizwan hari ini mau dibayar. Mana?" tanyaku sambil menengadahkan tangan kearahnya. Dia seperti kebingungan namun pura-pura bersikap punya duit banyak.

"Halah! Duit dua ratus ribu aja ribut amat, pasti aku bayar deh nanti sore," masih saja berkelit kalau ditagih. Pokoknya aku tidak mau tahu, pagi ini juga aku harus mendapatkan uang itu. Tak peduli jika aku harus menagihnya kepada Mas Danu.

"Tidak bisa, Mbak. Harus sekarang!" ingin sekali aku tertawa melihat kegelisahannya yang semakin terlihat.

"Aku bilang nanti sore ya nanti sore!" masih saja menunda untuk membayar hutang.

"Tidak bisa! Lagian, aku sudah tidak minta nafkah dari adikmu yang penurut itu, karena lebih suka menafkahi Mbaknya dan ibunya, jadi cepat bayar sekarang!" perintahku tidak dapat ditotelir lagi. Jaman sekarang yang berhutang malah berlagak seperti orang kaya, aku sengaja melawannya biar suaminya segera keluar dan tahu jika Mbak Rina berhutang padaku.

"Itu karena kamu sok tidak butuh duit dari Rizwan," pungkas Mbak Rina dengan santainya sambil melipat kedua tangannya di dada disertai tatapan yang meremehkan aku.

"Mbak! Mbak Rina mikir enggak sih. Misalnya Mbak Rina diperlakukan kayak gitu sama Mas Danu, apa Mbak Rina mau?" tanyaku sembari berkacak pinggang kepadanya. Dulu aku boleh nurut tapi sekarang tidak lagi. Dia melipat tangan di dadanya dan aku berkacak pinggang di depannya.

"Ee, kenapa jadi bawa-bawa Mas Danu?" dia mendorongku dan membuatku mundur beberapa langkah ke belakang. Aku siap jika harus adu jago disini. Tak peduli lagi apa kata orang mengenai aku asalkan aku menang dan mendapatkan uangku kembali.

"Ada apa sih, Ma. Kok ribut-ribut?" tanya Mas Danu yang kebetulan keluar dari rumahnya setelah mendengar kegaduhan kami.

"Ini Mas.. anu," jawab Mbak Rina terbata-bata saat Mas Danu berada di antara kami berdua.

"Maaf Mas, pagi-pagi saya sedikit mengganggu. Saya kesini mau nagih uang saya yang dipinjam Mbak Rina. Bilangnya ke Mas Rizwan hari ini dibayar tapi saya tunggu Mbak Rina belum juga bayar. Mohon maaf Mas Danu, biarpun uang itu tidak banyak tapi saya sangat membutuhkannya, Mas." ucapku pada Mas Danu. Kujelaskan apa yang terjadi.

"Bener itu, Ma? Kamu hutang ke Laila? Sudah tau Rizwan memberikan jatah bulanan separuh dari gajinya untuk ibu, masa kamu ikut- ikutan pinjam uangnya Laila juga. Apa kamu tidak kasihan? Uang gajiku juga aku berikan ke kamu semua setelah kuambil jatah bensin sebulan, masih saja ngrepotin Laila," tegas Mas Danu membuat Mbak Rina menunduk malu, aku tersenyum bahagia melihatnya mati kutu begitu. Matanya Mbak Rina melotot ke arahku setelah aku mengadu kepada Mas Danu sedangkan aku menjulurkan lidahku ke arahnya sembari tersenyum meledeknya.

"Maaf ya, Laila. Ini saya bayar hutangnya kakak kamu. Lain kali kalau Mbak Rina pinjam jangan dikasi," pesan Mas Danu sambil memberikan uang kepadaku. Tentu saja aku tidak bakalan kasi pinjaman lagi ke dia. Cukup terakhir ini aku berurusan dengan orang super dalam urusan hutang.

"Baiklah Mas, saya mau pamit dulu," ucapku pamit ke Mas Danu.

"Kamu kok rapi amat, mau kemana?" tanya Mas Danu padaku, mungkin heran melihatku tampil rapi sepagi ini. Rok hitam selutut dan kemeja berwarna kuning serta blazer berwarna hitam menambah kecantikan pada penampilanku.

"Saya memutuskan untuk mulai bekerja lagi, Mas. Dari pada saya harus bertengkar masalah uang, jadi lebih baik saya mengalah saja," ucapku sesopan mungkin pada kakak ipar. Dia hanya mengangguk pelan setelah mendengar alasanku kembali bekerja.

"Ya sudah, kamu hati-hati ya," ucap Mas Danu saat aku berpamitan kepadanya. Sikap Mas Danu begitu dewasa namun aku cukup heran dengan sikap Mbak Rina yang nerneda jauh dari Mas Danu.

Terlihat mas Danu masuk ke rumah, sedangkan Mbak Rina masih bersidekap di depan pintu dan menatapku nyalang. Aku menjulurkan lidahku ke arahnya dan tiba-tiba dia mengambil sandal jepitnya untuk dilempar ke arahku. Sama sekali aku tak takut padanya, sekalipun aku harus bertengkar adu jotos dengannya.

"Heh kamu jangan macam-macam denganku ya, pakai ngadu segala sama Mas Danu," Mbak Rina mendorongku hampir membuatku terjatuh.

"Saya enggak ngadu mbak, cuma bilang yang sebenarnya aja. Lha kan tadi Mas Danu tanya, jadi aku jawab. Lagian Mbak Rina sendiri yang menunda-nunda bayar hutang," jawabku santai, dia semakin nyalang menatapku.

"Hutang dua ratus ribu saja pasti aku bayar," Mbak Rina masih ngotot namun belum ada bukti jika dia akan membayarnya sendiri.

"Tuh buktinya yang bayar Mas Danu sendiri bukan Mbak Rina," ucapku. Sengaja kubikin dia panas sekalian. Hebatkan?

"Awas kamu ya, aku adukan ke ibu biar Rizwan disuruh ceraikan kamu," Mbak Rina menggebu dengan ucapannya. Aku hanya menganggapinya santai.

"Alhamdulillah, adukan saja mbak, aku tidak apa-apa kok. Tanpa Mas Rizwan aku bisa bahagia, tidak perlu panik gitu." ucapku dan kedua mata Mbak Rina yang masih melotot ke arahku.

Gegas aku pergi ke kantor tempatku bekerja sebagai Sekretaris perusahaan. Tak berapa lama memasukkan lamaran ke perusahaan tempatku bekerja dulu. Aku mendapat kabar ada lowongan di posisi yang sama saat aku resign dulu. Aku mencoba peruntungan meski tidak langsung mendapat panggilan. Kebetulan tepat akhir bulan aku mendapat kabar dan aku cukup senang bisa kembali bekerja.

********

Di tempat kerja lamaku ini aku teringat kembali semua kenangan bersama rekan-rekan kerja dan sahabatku. Dan juga kenangan bersama bos paling kaku serta paling pendiam ditambah suka memerintah.

"Kamu, mulai kerja lagi, Lai?" tanya Rosi teman lamaku yang bekerja di perusahaan yang sama.

"Iya Ros, kemarin aku masukkan lamaran dan kebetulan Pak Doni yang interview. Kembali lagi deh kejabatanku yang dulu, Ros. Menjadi sekretaris Pak Doni yang kaku dan dingin." tukasku pada Rosi. Pak Doni memang pemilik perusahaan ini, dia tegas dan disiplin ditambah lagi sifatnya yang kaku dan dingin.

"Rizwan tahu kalau kamu melamar pekerjaan lagi?"

"Aku diam-diam melamar dan interviewnya juga mudah. Hanya by phone saja, aku beruntungkan?" beberapa hari yang lalu Pak Doni menghubungiku dan interview menggunakan telepon. Aku bersyukur sekali karena dimudahkan seperti ini.

"Kayaknya memang Pak Doni memang menunggumu jadi sekretaisnya lagi deh. Udah delapan kali berganti sekretaris dan semuanya tidak ada yang seperti kamu dalam bekerja," jawaban Rosi membuatku terkejut. ternyata tak ada yang bisa mendampingi Pak Doni menyelesaikan tugas perusahaannya.

"Yee, semua orang sama kali kalau jadi sekretaris. Mungkin tidak ada yang betah saja sama sikap Pak Doni yang dingin. Oh ya, Pak Doni kok belum nikah ya?" tanyaku pada Rosi.

Kepo juga sih, dengan kehidupan Pak Doni yang kaku. Pasti yang jadi istrinya harus ekstra sabar dengan manusia kaku macam Pak Doni. Entah dari dulu aku belum pernah melihatnya bersama wanita lain.

"Nunggu kamu kali, Pak Doni lebih nyaman jika bekerja sama kamu," pungkas Rosi. Ucapan Rosi memang asal bunyi saja tanpa melihat situasi dan lokasi.

"Ya tidak mungkinlah! Aku kan udah bersuami tapi... Au aah! gelap! Yang penting aku bekerja untuk diriku sendiri sekarang," ucaapku pada Rosi. Lelah aku jika harus memikirkan kembali kebersamaan dengan Mas Rizwan.

Sepertinya Rosi heran dengan perkataanku. Dia mulai mendekatiku layaknya detektif rumah tangga. Kedua matanya menatapku dengan intens layaknya akan mengusut tuntas masalahku.

"Emang Rizwan tidak mampu menafkahi kamu?" tanya Rosi semakin kepo dengan keadaanku.

"Mas Rizwan lebih bangga menafkahi ibunya dari pada istrinya. Mending kerja sendiri biar bisa menikmati hidup," ucapku pada Rosi. Dia sepertinya mendukung keputusanku, terlihat dari wajahnya yang terlihat sumringah.

"Bener-bener itu si Rizwan," ucap Rosi keheranan, tangannya mengepal kuat yang mulai emosi dengan sikap Rizwan.

"Ehem ehem." suara dehem Pak Doni. Ternyata Pak Doni sudah berada di sampingku, mungkin juga sudah mendengarku curhat kepada mereka semua.

"Segera bereskan semua proposal ini, Laila!" Pak Doni memberikan perintah tanpa melihat wajahku atau bahkan menatapku. Ternyata sikapnya sama sekali tidak berubah jika bersamaku.

"Baik, Pak. Akan saya selesaikan."

"Jika sudah, langsung berikan padaku. Jangan bergosip di ruang kerja, aku tidak suka," pungkas Pak Doni tanpa menatapku kemudian kembali ke ruang kerjanya. Sebenarnya bisa menghubungiku menggunakan telepon penghubung yang sudah disediakan perusahaan namun entahlah, dia lebih suka datang langsung ke meja kerjaku.

'benar - benar pria aneh, kasihan yang jadi pasangannya'.

Apakah pembaca mau menjadi pasangan Pak Doni?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
pasangkan aja dg Laila thoer
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status