Share

Aku Memilih Mencintaimu
Aku Memilih Mencintaimu
Penulis: FJ

Bagian 1

Suara gemuruh saling bersautan. Namun, dia tetap berdiri bersama angin dingin yang mulai menusuk tubuhnya. Ponselnya terus dinyalakan seakan dia menunggu jawaban yang tak nampak. Kakinya mulai gemetar. Rasa dingin mulai menjalar ke tubuhnya. Kemudian ponselnya berdering.

"Kau ada di mana?," tanya suara berat yang menghilangkan keheningannya.

"Aku di halte dekat kampus. Aku masih menunggu Ansara," ujarnya sambil memasukkan tangannya ke kantung jaket.

"Pulanglah. Udara sedang dingin. Kau bisa sakit," ujar pria itu.

Namun, dia tidak menjawab dan malah mengakhiri pembicaraan.

Dia tetap menatap ponselnya. Lampu di atasnya mulai mati satu demi satu. Halte itu mulai gelap. 

Tiba-tiba sebuah kilatan muncul. Dia terkejut dan mulai mundur ke bagian dalam halte. Saat kilat itu hilang, dia melihat beberapa mobil melintas. Salah satunya ambulance.

Penasaran, dia melangkahkan kakinya menuju arah ambulance itu pergi.

Saat dia sampai, keramaian sudah memenuhi tempat itu.

"Aku dengar ada kejadian buruk yang terjadi," ujar wanita paruh baya.

Terlihat blitz kamera mulai memenuhi tempat itu. Garis kuning sudah melintang.

Beberapa saat kemudian, seseorang dibawa dari tempat kejadian. Saat kain penutupnya terbuka, dia menatap gelang yang dipakai orang itu.

"An..sa...ANSA," teriaknya yang membuat semua orang menoleh ke arahnya.

Polisi yang melihat hal itu langsung menghampirinya.

"Apakah anda mengenal korban?," tanya polisi.

****

Radinya tidak percaya dengan kejadian yang dia dengar. Kata-kata polisi mulai melebur jauh.

Apa yang mereka katakan?

Apa maksud mereka?

Tidak mungkin.

Radinya menatap polisi. Matanya mulai basah.

" Apa yang telah terjadi?," tanya Radinya.

"Kami menemukan namamu di pesan terakhirnya. Kapan terakhir kalian bertemu?" tanya polisi.

"Kami berjanji untuk ketemu di halte universitas. Dia mengirimiku pesan singkat. Aku menunggunya,"

"Kenapa kau tidak menyusulnya?,"

"Dia memintaku menunggu,"

"Pukul berapa dia mengirimu pesan?,"

"Pukul 5 sore,"

Polisi terus menghujaninya dengan pertanyaan. Radinya mulai merasa lelah. Kepalanya terasa berat. Hantaman ini terlalu keras untuknya.

Setelah dia diinterogasi, dia pergi ke rumah sakit. Namun, alam seakan tidak mendukungnya. Hujan menelan langkah kakinya. Dia tidak menyerah. Radinya tetap naik bus dengan bajunya yang basah.

Saat dia sampai di halaman rumah sakit, dia melihat banyak wartawan. Semua orang seakan termagnet dengan kasus yang menimpa Ansara.

Radinya melanjutkan langkahnya masuk ke rumah sakit. Dia menanyakan keberadaan Ansara. Kemudian dia mendengar keributan.

"Tolong, seorang wanita memegang pisau," teriak salah satu pasien rumah sakit.

Semua orang berlari ke tempat kejadian. Betapa terkejutnya Radinya saat dia melihat ibu Ansara. Wanita paruh baya itu memegang pisau di tangannya. Dia mengayunkan pisaunya ke arah pasien di hadapannya.

"Dasar pembunuh. Apa yang kalian lakukan pada putriku? kalian pantas mati," teriak ibu Ansara dengan histeris.

Radinya tidak tinggal diam, dia mencari cara untuk merebut pisau dari tangan ibu Ansara. Dengan langkah cepat, dia melempar benda untuk menepak pisau dari tangan ibunya Ansara.

Ibu Ansara terjatuh. Radinya menghampirinya dan dia memeluknya.

"Maafkan aku, semua akan baik-baik saja," ujarnya.

Semua orang menatap mereka. Begitu juga dengan seorang pria paruh baya. Pria itu menghampiri mereka. Tanpa aba-aba dia mendaratkan tangannya di pipi Radinya.

Bukan hanya sekali. Dia memukulnya berkali-kali. Beberapa petugas berusaha memisahkan mereka.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau memukulnya?," teriak ibu Ansara.

Radinya tidak melawan. Dia sudah tahu bahwa ayah Ansara memang pria yang seperti itu. Tentunya dia merasa malu atas kejadian yang menimpa putrinya. Satu- satunya tempat pelampiasannya adalah Radinya.

Radinya meninggalkan pria itu. Dia bersama ibu Ansara pergi ke ruangan Ansara dirawat.

"Maafkan kami, hanya keluarga yang boleh mengunjunginya," ujar polisi.

Radinya terpaku di sana. Dia hanya bisa melihat pergerakan di dalam ruangan. Seseorang yang dia cintai sedang terbaring lemas di sana. Tanpa suara atau ringisan.

Ibu Ansara meninggalkan ruangan. Dia memegang tangan Radinya.

"Maafkan aku, Ansara tidak mau menemuimu," ujar ibunya Ansara.

Kemudian Radinya mulai melangkah jauh dari ruangan itu. Sementara Augus, temannya baru datang. Dia menghampirinya. Kemudian dia memberikan minuman pada Radinya.

"Kau harus berganti pakaian," ujar Augus sambil memegang tangan Radinya yang mulai dingin.

Akhirnya mereka pergi dari rumah sakit. Radinya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Pikirannya mulai berkecamuk saat dia mengingat pernyataan dari polisi tentang kejadian yang menimpa Ansara.

Ponselnya mulai berdering. Namun, Radinya berusaha mengabaikannya. Dia tidak mau mendengar ocehan di waktu yang buruk ini.

Dia kembali mendengar langkah kaki.

"Untuk apa kau meneleponku jika kau sudah di depan pintu?," tanya Radinya pada pria di hadapannya.

Pria yang berpakaian jas kantoran itu hanya diam. Dia menaruh tasnya di kursi. 

"Apa yang mau kau lakukan sekarang?," ujar pria itu.

"Apa maksudmu?,"

"Tentang Ansara,"

"Aku tidak akan membatalkannya,"

"Jangan bodoh. Kau harus memikirkan perasaan ibu,"

"Lalu aku harus meninggalkannya? Di saat dia mengalami hal buruk itu?,"

Pria itu diam. Dia tahu Radinya bukan orang yang mudah mengalah. Dia tidak berusaha menasehatinya. Namun, dia memilih pergi.

Radinya juga tahu bahwa pria sekaligus kakaknya itu memang tidak akan mendebat pernyataannya. Mereka memiliki karakter yang hampir mirip.

Di sisi lain, kakak Radinya yaitu Resian menghela nafasnya. Dia tahu adiknya adalah orang yang keras kepala. Namun, dia tidak mau adiknya mengambil keputusan yang salah.

Dia ingin adiknya meninggalkan Ansara yang memberikan efek buruk padanya. Dia tahu Ansara bukan gadis yang baik.

Besoknya, Radinya menemui Resian di apartemennya. Dia memasang wajah yang cukup serius.

"Kak, aku ingin membicarakan sesuatu," ujar Radinya.

"Ada apa?," tanya Resian dengan wajah khawatir.

"Aku akan pindah jurusan,"

"Apa maksudmu? Kau sudah semester tujuh,"

"Aku harus menemui Ansara. Aku akan mengambil jurusan psikologi,"

Resian tidak percaya dengan yang dia dengar. Radinya yang hampir sampai di akhir perjalan tetapi dia memilih kembali untuk Ansara.

"Aku pasti bisa melakukannya, waktuku masih banyak," ujar Radinya percaya diri.

"Bukan masalah waktumu masih banyak. Kau harus meninggalkan banyak hal," ujar Resian.

Radinya tetap pada pendiriannya. Dia meninggalkan kakaknya. Kemudian dia mencari informasi pindah jurusan di universitasnya.

"Aku pasti bisa menemui Ansara," ujar Radinya.

****

Di rumah sakit, Ansara sudah siuman. Dia masih terkejut dengan kejadian buruk yang menimpanya. Tak ada satu pun teriakan atau tangisan yang keluar dari mulutnya. Dia hanya menatap ibunya yang tertidur sambil memegang tangannya.

Ansara menatap langit-langit. Dia merasa raganya mulai lepas dari tubuhnya. Dia tidak bisa merasakan apapun. Bayangan kejadian buruk itu terus melintas.

Akhirnya air matanya mulai mengalir. Ansara memegangi seluruh bagian tubuhnya dan tanpa sengaja menarik salah satu selang yang terikat di tubuhnya. Warna merah mulai mengalir dari tubuhnya.

Ibunya Ansara mulai membuka matanya. Dia tidak berteriak dan malah menangis.

"Ansa ibu di sini, kamu harus bertahan," ujar ibunya sambil memeluk Ansara yang berteriak dalam diam. Kemudian ibu Ansara memanggil suster melalui bel.

Ibu Ansara meninggalkan ruangan. Dia menemui petugas kepolisian. Mereka memberikannya sebuah formulir. Formulir yang akan mengantar Ansara ke pusat rehabilitasi.

"Semua akan baik-baik saja bukan," kata ibu Ansara sambil mengisi formulir dengan tangan yang gemetaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status