Masuk
“Mana Amira?!” suaranya menggelegar, membuat Damini tergetar.
Belum sempat sang ibu menjawab, Amira muncul dari dalam rumah. “Pak, saya mohon ... beri saya waktu dua minggu lagi. Adik saya sedang sakit, saya masih butuh biaya untuk pengobatannya ke rumah sakit.”
Pak Herman menyeringai sinis. “Alasan! Kau boleh saja tidak membayar tapi ...."
Tangan Pak Herman tanpa permisi mencolek pipi mulus Amira dengan mata berbinar, "nurut sama Mas ya? Hahaha bagaimana?"
"Saya minta waktu, maaf pak Herman, jangan coba kurang ajar."
"Sok jual mahal! Awas aja kalau dua minggu lagi kamu belum bisa bayar, jangan salahkan aku kalau kamu bakal resmi jadi istri ketigaku.”
Deg!
Menikah dengan lelaki itu demi melunasi utang?
Secara resmi istrinya dua, faktanya rentenir itu selalu bergonti-ganti wanita-wanita seenaknya dan menambah koleksi wanita setiap saat.
“Nak, Ibu berat melepasmu hidup sendirian di kota besar. Kamu anak gadis, Ibu takut terjadi apa-apa padamu.” Damini mengelus pipi putrinya dengan mata berkaca-kaca.
“Bu, utang itu sangat banyak. Kalau hanya bertahan di desa, aku tidak yakin bisa melunasinya,” jawab Amira pelan.
Tiga ratus lima puluh juta rupiah, angka itu bergema di kepalanya, membuat dadanya sesak. Ia hanya bekerja serabutan, tak mungkin bisa melunasi dalam waktu dekat. Dengan bermodalkan tabungan lima juta rupiah dan ijazah S1, Amira berniat mengadu nasib.
Keesokan harinya, ia berangkat dengan doa dan pelukan erat ibunya. Adik-adiknya menangis dalam diam dari balik tirai kamar. Amira memeluk satu persatu kedua adiknya dan mengecup si bungsu agar kuat bertahan.
Sampai di kota, Amira masuk ke ruang ATM dengan langkah ragu. Di dompetnya hanya tersisa seratus ribu. Ia menarik satu juta rupiah untuk mencari kos-kosan, lalu menekan tombol sekali lagi. Mesin berdengung, uang muncul dan masih ada di genggamannya.
Braaak!
Pintu kaca terbuka keras. Terlalu cepat, tangan berotot itu menarik apa yang di genggam Amira. Amira terbelalak menyadari. Pria itu tiba-tiba merampas uang Amira dan kabur. Amira panik, berteriak sambil mengejar.
"Toloooong! Uang saya dijambret!"
Beberapa orang ikut mengejar, tapi pria itu terlalu cepat dan menghilang di keramaian. Amira hanya bisa terkulai lemas di trotoar, wajahnya pucat.
Pria-pria yang tadi membantunya mengejar penjambret, hanya menatap iba dan bubar tanpa bicara.
“Uangku tinggal dua juta. Apa cukup buat bertahan hidup di kota sebesar ini? Aku harus segera cari pekerjaan.”
Byuurrr!
Sebuah mobil hitam melaju kencang, menyibak genangan air jalanan yang langsung menyembur ke tubuhnya. Amira terkejut, kakinya terpeleset dan tubuhnya terpental ke belakang, kepalanya terbentur trotoar, pandangannya buram seketika.
Brugh!
"Gadis itu pingsan pak." Sopir berteriak panik, menghentikan mobil.
Dari dalam, seorang pria bersetelan rapi, Arsya turun dengan wajah tegang. Mata orang sekitarnya menunjuk dan memotret, dia tahu sosoknya pasti menarik perhatian media. “Sial, Ken pasti mencariku. Tolong bilang padanya, kalau hari ini, aku sedikit terlambat!”
***
“Eh, aku ada di mana?” suaranya serak.
“Rumah sakit, Nona.” Perawat tersenyum tipis. “Anda pingsan di jalan, dibawa oleh Tuan Arsya.”
Nama itu membuat Amira refleks menegakkan tubuhnya.
Sekelebat ingatannya langsung berkelebat, di ruang ATM, uangnya di rebut penjambret lalu mengejar dengan tas bututnya yang berat lalu gagal mengejar membuat Amira lemas dan mobil itu … Mata Amira berkedip cepat.
“Mobil itu membuat aku terpeleset. Dia yang bikin aku pingsan!” serunya parau, masih memegangi kepalanya yang berat.
Pintu kamar terbuka. Lelaki bersetelan hitam masuk dengan wajah tenang namun dengan tatapan tajam.
Pria itu adalah Arsya.
“Kamu sudah sadar,” ucapnya datar, menatap seolah Amira adalah pengganggu.
Bagaimana tidak mengganggu, harusnya ia sudah ada di kantor. Namun karena tuntutan semua orang di jalan, Arsya harus bertanggung jawab pada gadis ini, dan membawanya ke rumah sakit.
Amira menatap galak dari ranjang. “Kamu! Kamu yang membuat aku pingsan! Tanggung jawab! Ibuku bisa marah kalo aku terluka, tahu nggak?!” ketus Amira, tapi sebenarnya ia masih sangat lemah.
Arsya menahan tawa, ia menutup mulutnya. "Kamu bilang pingsan karena aku? Kamu yakin bukan karena keletihan?”
“Jelas karena mobilmu nyipratin lumpur! Aku terpeleset!” suaranya masih pelan dan wajah gadis itu pucat.
Arsya malah kasihan. Arsya menyilangkan tangan, lalu meletakkan selembar kertas hasil pemeriksaan di meja. “Ini, hasil pemeriksaan dokter.”
Amira membaca lembaran yang diberikan ke tangannya.
“Kamu pingsan karena lambung kosong, dehidrasi, dan shock. Tidak ada luka benturan serius, hanya kelelahan berat.”
Amira melongo, lidahnya kelu. “Jadi aku pingsan karena … eh, tapi tadi aku kaget sama mobilmu yang nyipratin lumpur jalan. Tuh lihat baju aku kotor begini. Pasti aku pingsan karena terkejut lalu-.”
“Mobilku hanya kebetulan lewat. Kamu dehidrasi, letih, lalu pingsan saat lumpur mengenai bajumu?" Arsya menatap dengan menahan senyum saat mendengar bunyi perut Amira.
Arsya mengambil sekotak makan dari meja dan menaruhnya di pangkuan gadis itu. “Makanlah, Dokter bilang kamu belum makan, ya? Ini aku order dari restoran terdekat.”
Amira masih diam, malu, bingung tapi terlalu gengsi untuk mengambil kotak makan itu. Padahal bau harum aroma makanan itu membuat Amira menelan salivanya.
“Atau aku harus menyuruh suster menyuapi kamu?” kini tatap dingin lagi membuat Amira tak berkutik.
“Tidak perlu.” Amira berusaha bangkit perlahan lalu mengambil kotak makanan tersebut.
Arsya berbalik hendak pergi, tapi sempat menaruh amplop di meja samping. “Gunakan untuk mengganti pakaianmu yang kotor karena lumpur mobilku, yang katanya membuatmu pingsan.”
Pintu tertutup.
Amira menatap amplop itu dengan penasaran. Tangannya gemetar saat membukanya. Segepok uang rapi di dalamnya.
“Dua juta untuk ganti baju?” bisiknya terkejut.
Satu malam di rumah sakit, Amira kini dengan tas kopernya keluar dari rumah sakit dengan bingung. Menatap jalan raya dan lalu lalang orang di depan sebuah cafe.
“Amira?” Sebuah tangan menepuk pundaknya, menyapa dengan nada ceria dari belakang membuatnya menoleh.
“Sisil?” keduanya berjingkrak saling memeluk.
Mereka saling tersenyum, berpelukan singkat. Menuntaskan rindu lama sambil terus berceloteh.
"Astaga, kamu sekarang cantik sekali, Sil? aku pangling."
“Aku kerja di stasiun TV, liputan terus di lapangan harus selalu on untuk menghadap kamera. Kamu sendiri, kok disini? Sejak kapan ada dikota ini?” tanya Sisil cepat.
“Baru datang. Mau cari kerja dan tempat tinggal. Nahasnya aku kecopetan kemarin. Untung masih ada uang walau tidak banyak.” sekelebat wajah Tuan ganteng tapi dingin itu terlintas.
Sisil menatap koper di samping Amira lalu menghela napas. “Kebetulan banget, aku tahu kok kamar kosong harga miring yang lumayan layak dekat tempatku. Yuk, aku antar.”
Beberapa menit kemudian, Amira sudah memiliki kamar sederhana yang hangat. Setelah membereskan barang, Sisil pamit untuk kembali bekerja.
“Terima kasih, Sil,” ucap Amira pelan. memeluk sahabatnya yang lama terpisah itu.
Di warung bakso depan jalan, Amira menatap gedung tinggi menjulang bertuliskan ARKANA GROUP. Sisil baru saja menelponnya memberi tahu, besok pagi ada penerimaan karyawan di gedung itu. Atas saran Sisil ia siap mengajukan lamaran besok disana.
Dua hari pasca kejadian itu, Arsya menatap layar televisi 85 inchi yang biasa ia gunakan untuk conference, yang menampilkan berita terkini model cantik, Cassandra tersenyum di depan kamera, mengenakan gaun tipis dan perhiasan berkilau.
“Ken,” suaranya tajam. “Kamu dengar obrolan Mama soal Cassandra?”
“Ya, Tuan.”
“Aku mau kita batalkan rencana perjodohan Mama. Aku tidak akan menikah dengan wanita itu.”
“Baik, Tuan.”
Arsya kemudian menarik nafas berat. “Carikan aku wanita yang berbeda. Bukan yang suka kehidupan malam, bukan yang berpakaian untuk memancing sorak penonton. Aku tidak menyukai Cassandra meskipun aku dijodohkan.”
“Sepertinya, wanita yang kemaren Anda tabrak, sangat cocok dengan Anda.”
"Amira Anastasya?" Arsya tersenyum, melihat foto di map yang ia pegang.
Ken melihat nama calon karyawan itu, kemudian menanggapi. "Ini rencana saya, Tuan. Perjodohan aku dan Cassandra selesai karena aku memilih si 'wanita dehidrasi ini' lalu Cassandra marah dan Mama tak bisa berbuat apapun karena tuntutan dia hanya menikah. Aku menikah selama enam bulan lalu bercerai?"
“Dan bagaimana ketika aku benar-benar mencintainya?” Arsya menghela nafas, lalu menyunggingkan senyum sebelum pergi meninggalkan Ken.
Saat ini semua orang yang ada diruangan makan sedang memperhatikan sikap Arsya terhadap Amira saat menuruni tangga tadi.Cassandra terlihat menundukkan kepalanya setelah melihat sikap Arsya pada Amira."Selamat malam Arsya," sapa Cassandra.Riana menyentuh tangan manta kekasih anaknya itu. "Arsya, Mama yang mengundang Sandra. Nggak apa-apa kan?""Lakukan aja yang Mama mau," jawab Arsya dingin."Bawakan makanan ke ruang kerjaku."Pak Heru mengangguk dan segera memberikan instruksi kepada para pelayan untuk segera menyiapkan makanan ke troli.Arsya melangkah sambil terus menggandeng tangan Amira meninggalkan keheningan di ruang makan itu. Ruangan itu semakin hening, hanya terdengar suara langkah kaki Arsya dan Amira saja saat ini.Terlihat Pak Heru sedang mendorong troli makanan mengikuti langkah Arsya memasuki ruang kerja.Arsya menarik tangan Amira untuk segera keluar dari ruang kerjanya.Begitu pintu ruang kerja terbuka, atmosfer di ruang tengah seketika berubah mencekam. Keheningan
“Tunggu, kalian malam pertama beneran?” serunya sambil menunjuk Amira, yang berada dibawah Arsya seolah menunjuk setan.“Astaga! Kalau jadi cucu gimana? Ya Tuhan, Mama pusing!” Ia memijat pelipisnya dramatis.Dikamar Amira dan Arsya menghela napas panik di bawah selimut yang sama.Arsya baru-buru mengenakan celana, sementara Amira memeluk bantal tameng seakan senjata itu adalah hidup dan matinya, sedangkan Riani yang sudah kepalang tidak habis pikir dengan kelakuan anak dan menantunya, seketika meninggalkan ruangan itu.Keduanya kini merebahkan tubuhnya. “Tuan, kamu curang, kamu sengaja jatuhin diri!”Arsya memandang Amira seolah ia korban “Amira, kamu yang tarik handuk aku! Kamu yang nodai tubuhku, terus mau ambil kesucianku!”"Buaya buntung, sorry ya? Timbang ganteng secuil pake merasa ternoda. Kamu jujur sama aku, kamu punya kelainan eksibisionis ya, suka pamer-pamer begituan?”Arsya melotot mendengar tuduhan Amira. ”Itu kamu yang jatuhin pake nuduh aku kelainan! Kamu pikir aku sen
Arsya segera meraih microphone dan mengucapkan kalimat yang membuat para tamu kecewa."Kami tidak akan melakukannya disini karena istri saya adalah orang yang sangat pemalu. Dia sangat menjaga, dan saya harus menghargai itu. Silahkan kalian menikmati hidangan yang sudah kami persiapkan," ucap Arsya tegas tanpa ekspresi.Arsya dan Amira kini sudah duduk di atas pelaminan."Kita udah sah jadi suami istri ya?"Arsya mencondongkan tubuh, suaranya nyaris berbisik namun cukup membuat jantung Amira berdetak cepat."Sudah, dan jangan lupa, hanya satu tahun sebagai istri pura-pura, paham?” kata Arsya tersenyum, berakting seakan bahagia dan mesra bicara pada istrinya. "Tentu suamiku, sayang." Amira melingkarkan tangannya pada Arsya erat. Sementara di sudut ruangan pesta itu seorang wanita sedang bicara dengan Riana."Aku akan membuktikan kalau itu bukan istri sesungguhnya Arsya. Dia pasti wanita yang disewa Arsya. Beri aku kesempatan mengambil kembali Arsya dari wanita kampung itu!" Cassandra
Hening.Bahkan David tak berani bernapas.Arsya memandang Amira antara kaget, geli, dan tak percaya gadis itu berani berucap begitu di depan umum, sementara Cassandra memelototinya, seperti singa betina yang terusik. “Kamu tak tahu dengan siapa kamu bicara, hah?”Amira hanya menatapnya dengan mata bulat, lalu tersenyum tipis. “Saya tahu. Mbaknya model sabun mandi dan iklan berlian, kan? Saya sering lihat wajah Mbak di halte bus. Cantik kok, Mbak, tapi nggak malu pake handuk gitu, terus dilihatin banyak orang?”David menunduk dalam-dalam, pura-pura mengatur hanger.Ken menatap langit-langit, menahan tawa.Sedangkan Arsya menoleh ke arah lain, bibirnya terangkat sekilas, sepertinya dia makin menyukai Amira yang ceplas-ceplos dan polos, menunjukkan kalau gadis itu benar-benar lugu ala gadis desa.Cassandra menghela napas keras dan melangkah pergi dengan langkah panjang, meninggalkan wangi parfum yang menyengat."Silahkan ikut Nona, semua pakaian untuk Anda sudah disiapkan bibi di rumah T
"Saya utusan dari Arkana Group. Bisakah kita bertemu sekarang di Cafe Victoria?""Ehm, apa ini benar tentang lamaran kerja? kok bicaranya di cafe ya, bukan di gedung Arkana seperti saat tes," jawab Amira hati-hati."Ya, saya Ken dan anda akan bicara dengan pimpinan Arkana Group untuk penempatan Anda. Jika Nona bisa, saya bisa mengatur jadwal dengan pimpinan untuk membicarakan kontrak kerja ini?" "Bisa Pak. Kalo bukan penipuan, tentu saja saya bisa." Amira tersenyum sampai melompat kegirangan hingga lupa dirinya sedang berada di jalan. Beberapa orang menatap dengan tatapan aneh, tapi ia tidak peduli.Tanpa pikir panjang, Amira memesan taksi online menuju cave Victoria. Begitu masuk, Amira merasa minder dengan penampilannya yang sederhana.Seorang staf cafe menuntunnya ke ruang VVIP.Matanya terpaku ketika melihat lelaki muda tampan menunggunya. Ia berdiri kaku saat lelaki itu menarik kursi. "Silakan duduk, Nona. Sebentar lagi tuan Arsya akan datang.”Tak lama, pintu terbuka.Seorang l
“Mana Amira?!” suaranya menggelegar, membuat Damini tergetar.Belum sempat sang ibu menjawab, Amira muncul dari dalam rumah. “Pak, saya mohon ... beri saya waktu dua minggu lagi. Adik saya sedang sakit, saya masih butuh biaya untuk pengobatannya ke rumah sakit.”Pak Herman menyeringai sinis. “Alasan! Kau boleh saja tidak membayar tapi ...."Tangan Pak Herman tanpa permisi mencolek pipi mulus Amira dengan mata berbinar, "nurut sama Mas ya? Hahaha bagaimana?""Saya minta waktu, maaf pak Herman, jangan coba kurang ajar.""Sok jual mahal! Awas aja kalau dua minggu lagi kamu belum bisa bayar, jangan salahkan aku kalau kamu bakal resmi jadi istri ketigaku.”Deg!Menikah dengan lelaki itu demi melunasi utang?Secara resmi istrinya dua, faktanya rentenir itu selalu bergonti-ganti wanita-wanita seenaknya dan menambah koleksi wanita setiap saat. “Nak, Ibu berat melepasmu hidup sendirian di kota besar. Kamu anak gadis, Ibu takut terjadi apa-apa padamu.” Damini mengelus pipi putrinya dengan mata







