Share

Bab 5

Author: Sarisha
Talia memutuskan sambungan telepon, lalu menenangkan diri sebelum membereskan kekacauan dalam kamarnya dalam diam.

“Visa Pak Gary sudah kedaluwarsa. Dia sudah terlalu tua untuk pergi bolak-balik. Jadi, dia suruh aku bantu mengurusnya.”

Tristan bertanya dengan bingung, “Bukannya putri Pak Gary tinggal di dalam negeri? Kenapa dia nggak suruh putrinya yang urus?”

Talia menjawab dengan kesal, “Gimana kalau kamu telepon dan tanyakan langsung sama putrinya?”

“Aku nggak sesenggang itu.”

“Kalau begitu, jangan banyak tanya.”

Talia menghabiskan waktu semalaman untuk membereskan kekacauan di kamarnya. Dia juga tidak berencana untuk bawa pergi semua pakaian dan sepatu yang telah dirusak Helena. Dia pun terlebih dahulu menaruhnya di ujung lemari.

Ada beberapa film negatif yang berhasil diselamatkan Talia. Hanya saja, semua film negatif itu telah terendam air. Kualitasnya pun menurun drastis dan tidak bisa digunakan lagi.

Di antara kosmetik-kosmetiknya, yang berbentuk cair sudah habis karena tumpah, sedangkan yang berbentuk bubuk sudah terendam air dan tidak bisa digunakan lagi.

[ Helena: Kejadian hari ini cuma sekadar peringatan. ]

Helena mengirim pesan WhatsApp kepadanya. Namun, pesan itu hanya bertahan dua menit sebelum dihapus. Dengan begini, dia bisa memastikan Talia membacanya, tetapi juga tidak meninggalkan bukti.

Namun, setelah insiden sebelumnya, Talia sudah berhati-hati. Begitu menerima pesan itu, dia sudah langsung mengambil cuplikan layar. Dia pun mencibir dan mengirim cuplikan gambar itu kepada Helena.

Kali ini, Helena tidak membalas apa-apa untuk waktu yang sangat lama.

Talia pun sangat ingin tertawa. Apa Helena mengira jebakannya akan berhasil berulang kali, sedangkan dirinya akan terus-menerus lengah? Jika begitu, Helena terlalu meremehkannya.

Sekitar 10 menit kemudian, Helena baru membalas.

[ Helena: Apa maksudmu? ]

[ Talia: Nggak apa-apa, cuma sebuah peringatan. ]

Seusai membalas pesan itu, Talia langsung menonaktifkan ponselnya tanpa berpikiran untuk menghapus pesannya. Dia juga tidak peduli apa yang akan terjadi setelah pesan itu terlihat oleh Tristan. Dimulai dari hari dia memutuskan untuk pergi, dia sudah tidak menaruh harapan apa pun terhadap Tristan.

Keesokan pagi saat sarapan, Sherly menyadari raut wajah Talia yang agak aneh. Dia pun bertanya dengan penuh perhatian, “Tally, kamu bergadang semalaman? Kenapa raut wajahmu kelihatan kurang baik?”

Talia mengiakannya, “Iya, aku nggak bisa tidur. Tapi, nggak apa-apa. Habis istirahat beberapa hari, aku akan baikan.”

Sherly berujar, “Iya, kamu harus banyak istirahat akhir-akhir ini. Di pernikahan Tristan nanti, kamu akan sibuk banget.”

Talia mengangkat kepalanya dan bertanya, “Mereka sudah tetapkan harinya?”

“Iya, di akhir pekan depan. Tristan nggak kasih tahu kamu? Dasar anak itu! Dulu, dia bersikeras mau kasih tahu kamu hal sekecil apa pun. Sekarang, dia malah nggak kasih tahu kamu soal hal sebesar ini. Entah apa yang dipikirkannya!”

Akhir pekan depan. Talia memeriksa kalender. Hari itu bertepatan dengan hari kepergiannya.

Pada saat ini, Tristan dan Helena baru keluar dari kamar.

Helena bersikap layaknya tidak ada yang terjadi dan menyapa Talia sambil tersenyum, “Tally, aku dan Tristan sudah diskusi. Kami mau kamu jadi fotografer utama di pernikahan kami. Kamu harus ambil fotoku yang cantik, ya!”

Talia langsung menolak, “Aku ada urusan hari itu. Aku nggak bisa hadir.”

Helena langsung berkata dengan tampang cemberut, “Kamu masih marah gara-gara hal kemarin? Jangan marah lagi, dong. Maaf .... Kalau kamu masih marah, a ... aku akan berlutut sama kamu ....”

Seusai berbicara, Helena pun hendak berlutut. Namun, Tristan segera menariknya. “Kamu nggak usah berlutut. Dia nggak layak untuk menerimanya.”

Melihat situasi ini, Sherly juga buru-buru menengahi. “Helena, kamu nggak usah begitu. Tally memang sangat menghargai film negatifnya, wajar saja dia marah. Tapi, kamu juga nggak perlu sampai berlutut.”

Helena menjawab dengan tampang sedih, “Aku memang nggak becus dalam melakukan apa saja. Aku benar-benar merasa bersalah pada Tally.”

Tristan menghiburnya, “Kamu cuma perlu lebih hati-hati ke depannya. Ayo makan dulu. Bukannya tadi kamu bilang sudah lapar?”

Helena menjulurkan lidahnya. “Bukannya itu gara-gara kamu? Kalau bukan karena kamu bersikeras mau ... aku mana mungkin selapar ini.”

“Iya, iya, semua salahku. Ayo duduk dan makan dulu.”

Tristan menarikkan kursi untuk Helena, menunggu sampai Helena duduk, lalu menaruh serbet ke kakinya. Setelah itu, dia baru duduk di samping Helena.

Tristan mengoleskan selai ke rotinya sambil berkata, “Talia, pernikahanku akan diadakan di akhir pekan depan. Nggak peduli apa pun urusanmu, kamu harus membatalkannya dan jadi fotografer di pernikahan kami. Anggap saja itu bentuk penghormatan atas hubungan kita sebagai saudara selama lebih dari 20 tahun ini.”

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Pembantu pergi membuka pintu dan terlihat seseorang yang asing berdiri di depan pintu.

“Maaf, kamu cari siapa ya?”

Orang yang datang adalah seorang wanita paruh baya yang berpenampilan sederhana. Dia menjawab sambil tersenyum, “Permisi, apa Bu Talia ada di rumah? Aku orang dari yayasan amal. Dia hubungi aku dan bilang mau sumbang pakaian untuk orang-orang miskin yang tinggal di daerah pegunungan. Kami sudah janjian mau ambil barangnya hari ini.”

Talia langsung berdiri. “Aku Talia. Baju-bajunya sudah kukemas. Harap tunggu sebentar, ya.”

Talia naik ke kamarnya, lalu membawa turun beberapa kantong besar berisi semua pakaiannya dan menyerahkannya kepada wanita paruh baya itu.

Wanita paruh baya itu merasa sangat berterima kasih. “Terima kasih atas kemurahan hati Bu Talia. Akhir-akhir ini, cuacanya sudah mulai dingin. Anak-anak yang tinggal di daerah pegunungan nggak punya cukup banyak baju untuk lewati musim dingin. Baju-baju ini benar-benar bisa membantu sangat banyak orang.”

“Nggak masalah. Maaf harus merepotkan Ibu. Tolong segera antarkan pakaian-pakaian ini untuk mereka, ya.”

“Baik. Jangan khawatir ....”

“Tunggu.”

Tristan tiba-tiba berjalan keluar dengan bingung. Ketika melihat ada sekitar 7 kantongan besar berisi pakaian yang terletak di lantai, dia pun mengerutkan keningnya.

“Kamu mau sumbangkan semua pakaianmu?”
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 20

    Waktu adalah obat penyembuh luka yang terbaik.Pada Natal setahun kemudian, Tristan yang sudah pulang ke dalam negeri sekian lama akhirnya pergi ke rumah yang pernah ditinggali Talia dulu untuk yang pertama kalinya. Berhubung dia sudah memberi perintah, tetap ada orang yang membersihkan dan merawat rumah ini.Tristan tidak mengizinkan siapa pun mengubah bahkan hanya sebuah pajangan pun di rumah ini. Jadi, setiap sudut rumah ini masih sama seperti dulu, sama seperti sebelum Talia pergi.Tristan sudah meliburkan pembantu yang dibayar per jam itu. Dia mengambil peralatan menyapu dan berencana untuk membersihkan rumah secara pribadi.Pada saat ini, surat itu tiba. Kurir yang mengantar surat itu telah pergi. Hanya kata-kata di atas amplop yang dapat menunjukkan asal-usul surat itu.Tristan mengejar ke luar untuk mencari kurir itu dan mengonfirmasi informasi kontak pengirim. Namun, usahanya sia-sia. Dia hanya bisa kembali ke rumah dan membuka surat itu.Isi surat itu sangat sederhana. Itu ad

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 19

    Talia memandang ke arah bukit yang penuh dengan pohon berwarna-warni, lalu mengusulkan, “Sam, aku berencana mau daki gunung untuk ambil foto pemandangan musim gugur. Kamu mau ikut?”Samuel tentu saja setuju. “Oke. Nggak peduli kamu pergi ke mana, aku akan selalu temani kamu.”Talia tertawa lagi. “Aku mau tinggal di dekat Gunung Arpin untuk beberapa saat. Oke?”“Kalau begitu, aku akan kemas koper kita.” Samuel selalu memenuhi janjinya. “Kamu tidur saja dulu sebentar. Setelah beres-beres, aku akan bangunkan kamu.”Ketika Talia dan Samuel memutuskan lokasi perjalanan mereka selanjutnya, Tristan sedang duduk di dalam kamar yang gelap sambil membaca data di ponselnya. Hanya ada sebuah lampu tidur yang menyala dalam kamar. Lampu remang itu menyinari wajahnya dan membuatnya terlihat seperti seorang vampir yang tinggal di kastil tua.Asisten mengetuk pintu dan melapor, “Pak Tristan, sesuai permintaanmu, kami sudah temukan lagi beberapa orang yang memenuhi syarat.”Tristan baru menjawab, “Masuk

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 18

    Helena merasa sangat takut, tetapi juga tidak berani kabur. Utangnya begitu banyak. Jika dia tidak mendapatkan uang dari Tristan dan orang-orang itu menemukannya, dia pasti mati.Tristan mendengar pembantu melaporkan nama Helena. “Nona Helena yang sengaja oleskan lipstik ke tubuhnya dan buat Nona Tally salah paham.”Setelah mendengar sampai di sini, segala sesuatu sudah terungkap dengan jelas. Mereka semua adalah orang dewasa. Lipstik yang dioleskan di tubuh paling mirip dengan bekas ciuman.Helena melihat Tristan memutuskan sambungan telepon, lalu berbalik lagi dan mengisyaratkan sesuatu pada asistennya yang berada tidak jauh di sana. Tristan berkata, “Tangani hal ini. Aku nggak mau ketemu sama dia lagi.”Asisten itu langsung memahami maksud Tristan. Dia segera membawa orang untuk menyeret Helena pergi dan mencegah Helena yang menangis mendekati Tristan.Tristan naik ke mobil sendiri, lalu pergi ke tempat tinggal Talia secepat mungkin. Dia harus menemukan Talia dan mengklarifikasi sem

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 17

    Tristan melirik Talia dengan tidak percaya. Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi polisi sama sekali tidak memberinya kesempatan itu.Talia masih berdiri di tempat dalam diam. Sampai dia memastikan Tristan sudah dibawa pergi polisi untuk diinterogasi dan tidak dapat mengganggunya lagi, dia baru menelepon Samuel. “Kamu bisa datang jemput aku?”“Kamu di mana? Aku ke sana sekarang juga.” Samuel sama sekali tidak menanyakan alasannya. Dia hanya pergi mencari Talia secepat mungkin.Talia berdiri sendiri di pinggir jalan. Dia terlihat sangat lemah dan rapuh, seolah-olah embusan angin ringan sudah bisa menerbangkannya. Setelah melihat Samuel, dia bertanya dengan pelan, “Pak Gary baik-baik saja?”“Dia baik-baik saja, cuma merasa agak bingung.” Samuel menghibur, “Jangan khawatir. Aku sudah jelaskan semuanya kepadanya.”Talia mengangguk. “Oke.”Samuel hendak bertanya kenapa Talia terlihat makin sedih, tetapi mengurungkan niatnya. Setelah tiba di rumah Talia, lalu menuangkan secangkir teh hangat

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 16

    “Meski kamu sudah dewasa, kamu tumbuh besar di sisiku. Orang tuamu sudah meninggal. Aku tentu saja harus menjagamu. Aku nggak akan biarkan kamu ditipu sama orang nggak jelas!”Tristan juga sudah marah dan menatap Samuel dengan sangat dingin.Talia mana mungkin lanjut bersabar. Dia akhirnya tidak peduli lagi dan berkata, “Aku bukan bersama Samuel karena ngambek sama kamu. Aku benar-benar merasa dia adalah orang yang baik. Selama aku menghabiskan waktu dengannya belakangan ini, aku merasa sangat gembira dan nyaman ....”“Kalau aku bilang nggak boleh, ya nggak boleh!” Tristan langsung menyela dengan marah. Dia bahkan membanting sumpitnya ke meja hingga menimbulkan suara yang nyaring. “Talia, ikut aku pulang.”Kali ini, Talia juga tidak lagi bersabar demi menjaga perasaan Gary. Dia bangkit dan menjawab, “Ini bukan kediaman Keluarga Howard, bukan tempat kamu bisa pamer kekuatan atau semua orang harus patuh padamu!”“Talia, aku khawatir kamu ditipu!”“Kamu nggak berhenti bilang kamu harus me

  • Aku Pernah Mencintaimu, Sebatas Itu   Bab 15

    Setiap patah kata yang diucapkan Jeff bagaikan pisau yang menyayat hati Tristan. Entah sejak kapan, ekspresi Tristan menjadi sangat suram dan sepertinya akan menjadi makin suram lagi. Sebelum Jeff selesai memperkenalkan pasangan serasi itu, Tristan menyela, “Aku ada urusan mendadak siang ini. Kita ganti jadwal makan siang hari ini ke lain hari saja.”“Oke. Kalau begitu, hati-hati di jalan, Pak Tristan.” Jeff hanya berpesan, “Kalau sudah nggak sibuk, jangan lupa kirimkan gambar pemotretan yang kamu inginkan padaku. Nanti, aku akan kirimkan ke Bu Talia.”Jeff mengira ini adalah pertemuan pertama Tristan dan Talia. Entah Tristan tidak mendengar ucapan itu atau memang sengaja tidak mau menjawab, dia langsung melangkah pergi dengan cepat tanpa menoleh lagi.Sebelumnya, Jeff dan Tristan termasuk dapat mengobrol dengan akrab. Sekarang, Tristan malah tiba-tiba seperti orang yang berbeda. Jeff pun merasa kebingungan. Jelas-jelas, tidak ada seorang pun di lokasi yang menyinggung Tristan.Pada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status