Alana yang tidak mampu mengutarakan tawarannya membuat waktu bergerak lambat menciptakan atmosfer yang tidak nyaman. Kendrik memutuskan keluar agar dapat berpikir jernih dengan menghirup udara segar.
Alana yang terdiam di dalam mobil melihat koper hitam di tempat duduk Kendrik sebelumnya. Dia sudah memulai, otomatis harus berani menyelesaikan, termasuk mengambil risiko sebesar apa pun.
Wanita dengan kulit wajah pucat dan tatapan mata sayu itu mencibir dirinya sendiri yang malah ragu-ragu dalam bertindak. Alana ikut keluar. Dia berdeham lalu berkata, “Ada banyak rencana besar bahkan gila yang sudah tersusun rapi di kepalaku. Sayangnya, aku terlalu pengecut.”
Kendrik berpangku tangan. Rambutnya yang sedikit panjang lagi ikal diterpa angin sore. “Aku tahu kamu pasti sangat muak dan marah atas segala hal buruk yang terjadi. Tapi, itu bukan berarti kamu boleh menjadi orang yang kehilangan hati nurani.”
Alana terdiam.
Kendrik mengembuskan napas panjang, tangan kanannya menyugar rambut yang kian acak-acakan. “Tenang saja, Lana. Aku akan melakukan apa pun untukmu, untuk Nathan. Tapi, bukan berarti aku akan menyetujui semua yang kamu mau.”
Alana menunduk, perasaan asing muncul di dadanya. Benar apa yang Kendrik katakan. Semua kemalangan dalam hidupnya bukan berarti membuat Alana boleh berlaku semena-mena. Kalau seperti itu, dia tidak ada bedanya dengan orang-orang yang mengkhianatinya.
“Maaf, Ken.”
Kendrik menoleh, senyuman tulus dia perlihatkan pada Alana. Kendrik mengikis jarak lalu merangkul bahu Alana dan mengelusnya sebagai bentuk dukungan.
Alana tidak berkutik. Dia tidak menolak ataupun merapatkan diri. Kendrik tahu, Alana masih butuh waktu untuk benar-benar bisa menerimanya. Untuk itu, Kendrik tetap menjaga batasan.
“Aku sudah merasa lebih baik sekarang, Ken. Thanks,” ucap Alana. Dia mengangkat wajahnya dan tersenyum samar.
Kendrik mengerti. Dia sedikit menjauh dari Alana.
“Kalau aku meminta kamu untuk tetap menerima uang itu, apa kamu akan tersinggung?”
Sepasang mata Kendrik menyipit. Alana tertawa kecil, dia menepiskan tangan di udara. “Tidak. Aku tidak akan memintamu melakukan pembunuhan atau apa. Aku hanya mau kita saling diuntungkan.”
Kendrik berpikir sejenak. Sampai akhirnya dia menebak, “Apa kamu sudah tahu tentang keadaan keluargaku?”
Alana mengangguk. Wajahnya berubah getir. “Kamu egois, Ken. Kamu berusaha membantuku sementara keluarga kamu sendiri sedang terpuruk,” ungkapnya. “Yang lebih menyebalkannya lagi, kamu tidak mengatakan apa pun tentang itu. Jujur, aku merasa … ini nggak fair.”
“Nyonya Alana memang cerdas. Aku berusaha menutupi semua itu serapat mungkin. Kerennya, kamu tetap bisa mendapatkan informasinya.” Kendrik bertepuk tangan di akhir kalimatnya.
Kini dia sedikit mengerti kenapa Alana tiba-tiba menyodorinya sekoper uang dan sepucuk senjata. Alana ternyata sudah tahu bahwa keadaan ekonomi keluarga Kendrik sedang jatuh bahkan beberapa kali orang tua Kendrik didatangi Debt Collector yang bersikap kasar.
Beberapa tahun terakhir, semenjak keluarga Kendrik bersitegang dengan keluarga Lukas karena memiliki pandangan yang berbeda tentang bisnis dan kehidupan, maka secara perlahan usaha keluarga Kendrik mengalami penurunan. Dan tahun ini semua semakin buruk.
“Kalau kamu tidak bisa menerimanya, setidaknya ambil uang itu untuk kedua orang tuamu. Dan ya, senjata api itu juga tetap harus kamu ambil. Aku tidak mau berlindung di balik punggung seorang pria yang tidak memegang senjata.” Nada bicara Alana tenang dan penuh penekanan. Dia tidak menerima penolakan.
Kendrik terkekeh. “Ini baru Nyonya Alana. Dingin dan mematikan.”
Alana refleks menepuk jidat. “Astaga ….”
Suasana canggung sudah kembali mencair. Kendrik menanyakan penawaran apa yang sebelumnya akan Alana ajukan dengan imbalan yang kini malah harus Kendrik terima cuma-cuma. Alana awalnya tidak mau mengatakannya dan memilih untuk beranjak menghampiri Nathan. Namun, bukan Kendrik namanya kalau tidak bertingkah petakilan, dia menghalangi jalan Alana, merentangkan kedua tangannya bahkan menarik-narik tangan Alana seperti bocah yang merengek pada Ibunya.
Alana jengkel tetapi lama-lama tertawa juga.
Wanita itu memegangi kepalanya dengan kedua tangan, frustasi. “Oke-oke, Kendrik. Aku akan mengatakannya,” ujar Alana, dia mendecih.
Kendrik bersorak. Mereka pun berjalan beriringan dengan santai.
“Aku sempat berpikir untuk menculik Yasmin, mengurungnya beberapa waktu di suatu tempat yang jauh.” Alana menaikkan bahunya, santai sekali dia membicarakan rencana tindak kriminal tersebut.
Kendrik geleng-geleng kepala.
“Kamu tidak berniat untuk menghabisinya, kan?”
“Aku belum berpikir sampai ke sana. Tapi itu bisa dipertimbangkan. Tentunya aku tidak mau orang-orang itu mati dengan mudah. Sebelum ajal menjemput, aku mau satu persatu dari mereka menderita terlebih dahulu.”
Kendrik menelan ludah kasar. Alana tidak seperti sedang becanda dengan ucapannya.
“Aku mengerti, Lana. Tapi sekali lagi, jangan gegabah. Langkahmu harus terarah dan tersusun rapi. Oke?”
Alana tidak menjawab. Dia berhenti sebentar lalu menatap Kendrik dan menaikkan salah satu sudut bibirnya, seolah menantang. Setelahnya, Alana berjalan lebih cepat karena Nathan sudah melihat kedatangannya.
Kendrik berkacak pinggang. Dia mengembuskan napas panjang. “Kenapa aku harus terjebak bersama wanita seperti dia? Haduh, merepotkan saja!”
“Jangan menggerutu di belakangku, Kendrik! Kamu ingat benda di dalam koper hitam itu, kan?” Tawa Alana berderai.
Kendrik tersentak. Pria berambut ikal itu yakin Alana tidak mendengar gumamannya, anehnya Alana bisa tahu kalau dia sempat menggerutu.
“Mama!” Nathan berlari menuju Alana. “Kita pulang sekarang, Mama?” Bocah itu memeluk kedua kaki Ibunya. Nampaknya dia sudah kelelahan.
Alana mengusap-usap punggung Nathan. “Iya, kita pulang sekarang, sayang.”
Kendrik sudah menyusul. Dia menekuk kedua kaki agar bisa sejajar dengan Nathan. “Kamu capek? Lain kali kita main ke taman hiburan, ya. Om salah tempat malah mengajak kamu ke tempat membosankan seperti ini,” kekeh Kendrik.
Nathan menggeleng. “Aku mau pergi sama Papa.”
Kalimat yang terlontar dari mulut mungil itu membuat suasana berubah, padahal tidak ada yang salah. Entah bagaimana nanti Alana menjelaskan segala prahara yang terjadi antara dirinya dan Lukas pada Nathan. Karena lambat laun, Alana harus bisa memberikan pemahaman pada putranya jika di masa depan keluarga mereka tidak akan sama lagi.
Kendrik melihat bagaimana ekspresi Alana yang gamang. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan apa pun.
Perhatian mereka lalu teralihkan. “Saya sudah mendapat kabar. Password laptop dan komputer Pak Bramanta sudah berhasil dipecahkan, Bu. Kapan anda ingin memeriksanya?” ungkap pria berbadan tegap.
“Bagus. Kita lihat besok. Semoga ada sesuatu yang bisa kita dapatkan dari sana,” jawab Alana cepat.
Alana menoleh pada Kendrik. “Secepatnya aku akan kembali ke perusahaan kakekku, Ken. Aku ingin memastikan siapa saja yang berada di pihak kita dan siapa orang-orang yang bermain kotor bersama Lukas.”
Kendrik sedikit terkejut. Ternyata Alana benar-benar bergerak cepat. “Apa yang bisa aku bantu?”
Alana mengigit bibir. “Aku belum yakin. Akan segera aku kabari saat sudah ada keputusan.”
“Oke.”
Mereka berpisah saat semburat jingga mulai menampakkan diri.
Nathan tertidur pulas di pangkuan Alana. Alana sendiri melihat ke luar jendela sepanjang perjalanan pulang. Mulutnya mungkin terkunci rapat, akan tetapi isi kepalanya riuh dengan berbagai hal yang terus berputar di pikiran.
Dering telepon membuyarkan lamunan Alana. Terpampang di layar bahwa Lukas menelepon.
“Kamu dan Nathan di mana? Ini gawat!”
Suara di seberang terdengar kacau, seperti sedang ada keributan.
“Ad—eh?” Panggilan terputus saat Alana belum menyelesaikan ucapannya.
Alana terdiam. Dia memegang erat-erat handphonenya. Perasaan Alana tiba-tiba tidak enak.
Kali ini, apalagi yang terjadi?
Berdasarkan hasil rapat, dewan direksi dan para pemegang saham setuju untuk melakukan pemungutan suara guna menentukan siapa yang berhak menduduki posisi CEO di perusahaan Golden Stone Corporation.Lukas sempat menampik keputusan tersebut karena CEO sebelumnya, yang tidak lain adalah Kakek Bramanta sudah memberinya mandat dengan menjadi CEO pengganti, yang mana hal tersebut sudah membuktikan bahwa Lukas layak dan berhak berada di posisinya saat ini.Akan tetapi, jajaran direksi mematahkan alibi Lukas dengan mengatakan bahwa mereka memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan.Alana puas, dia pulang dengan satu kemenangan di tangan. Dua Minggu lagi Alana dan Lukas sama-sama akan melakukan presentasi di depan orang-orang yang memiliki kendali di perusahaan.Mereka akan bertarung menentukan siapa yang memang layak menjadi penerus perusahaan batu mulya tersebut.Sayangnya, Alana masih memiliki PR yang tidak kalah penting, dia masih belum bisa meyakinkan Ketua
[Aku menemukan invoice yang agak mencurigakan. Cepatlah datang ke sini.] Membaca pesan lanjutan dari Alana, Kendrik menelan ludah, dia lalu menyalakan mesin mobil dan beranjak dari sana. Entah mengapa perasaannya tiba-tiba menjadi tidak enak.Beberapa waktu kemudian, Kendrik tiba di sebuah apartemen yang terletak di dekat perbatasan antara kota Jakarta dan Bandung.Seorang wanita muda membukakan pintu. Sejenak, lelaki itu termangu melihat wajah seorang gadis yang cukup menarik perhatiannya. Gadis dengan perawakan mungil, kulit kuning langsat, berwajah manis dengan hidung bangir dan bibir tipis.“Silakan masuk, Pak. Anda pasti Pak Kendrik, kan?” Si gadis membuat Kendrik tersadar.“Ehem.” Kendrik berdeham. “Iya, saya Kendrik. Terima kasih.” Pria itu mengatakannya sambil melangkah masuk.Begitu masuk ke ruangan utama, Kendrik melihat Alana duduk terpekur di depan komputer. Alana tampak serius dengan dua orang pemuda yang juga sedang fokus menatap layar laptop masing-masing.“Ternyata d
Setelah sambungan telepon terputus Lukas mengirimkan lokasi sebuah rumah sakit. Alana memberitahu ke mana tujuan mereka saat ini pada pria yang duduk di kursi kemudi.Setengah jam kemudian, Alana sampai. Dia menggendong Nathan yang masih mengantuk. Lukas ada di luar, sepertinya dia tidak sabar menunggu Alana. Begitu mereka bertemu, Lukas langsung memeluk Alana berikut putranya.Alana mematung. Dia sampai harus menahan napas karena Lukas memeluknya begitu erat.Merasa terhimpit, Nathan bangun. Dia mengucek mata dengan punggung tangan. Lukas merenggangkan pelukan. Dia mengecup pipi Nathan, lalu Alana. Sialnya, Alana refleks menjauhkan wajahnya.Lukas mengernyitkan kening. “Kenapa?”Lidah Alana kelu. Bodoh, pikir Alana. Dia mestinya bersikap biasa saja, bahkan seharusnya dia sedikit berakting dengan pura-pura khawatir karena Lukas tiba-tiba memintanya datang ke sana.Nathan turun dari gendongan ibunya. “Siapa yang masuk rumah sakit, sayang?” Alana mengalihkan pembicaraan.Lukas membuan
Alana yang tidak mampu mengutarakan tawarannya membuat waktu bergerak lambat menciptakan atmosfer yang tidak nyaman. Kendrik memutuskan keluar agar dapat berpikir jernih dengan menghirup udara segar.Alana yang terdiam di dalam mobil melihat koper hitam di tempat duduk Kendrik sebelumnya. Dia sudah memulai, otomatis harus berani menyelesaikan, termasuk mengambil risiko sebesar apa pun.Wanita dengan kulit wajah pucat dan tatapan mata sayu itu mencibir dirinya sendiri yang malah ragu-ragu dalam bertindak. Alana ikut keluar. Dia berdeham lalu berkata, “Ada banyak rencana besar bahkan gila yang sudah tersusun rapi di kepalaku. Sayangnya, aku terlalu pengecut.”Kendrik berpangku tangan. Rambutnya yang sedikit panjang lagi ikal diterpa angin sore. “Aku tahu kamu pasti sangat muak dan marah atas segala hal buruk yang terjadi. Tapi, itu bukan berarti kamu boleh menjadi orang yang kehilangan hati nurani.”Alana terdiam.Kendrik mengembuskan napas panjang, tangan kanannya menyugar rambut yang
Pintu yang terbuka lebar memperlihatkan dua orang berpakaian sipil yang diikuti oleh seorang karyawan di kantor pengacara tersebut. Salah satu dari mereka mengeluarkan kartu identitas polisi.“Selamat siang. Kami dari Satuan Reskrim Polres Kota. Saudari Miranda Arvenzo, anda ditangkap atas dugaan tindak kekerasan terhadap saudari Citra Ayu,” ungkap petugas seraya memperlihatkan surat penangkapan.Seisi ruangan tersentak. Miranda nyaris kehilangan keseimbangan, untungnya Ferry sigap menahan istrinya.Lukas tidak percaya, dia membaca surat perintah penangkapan yang dibawa petugas.“Pasti ada kesalahan. Tidak mungkin,” racau Miranda. Dia bersembunyi dalam dekapan suaminya.Lukas menatap kedua orangtuanya, meminta penjelasan.Alana menyaksikan segalanya dengan kepala yang penuh tanya. Dia tidak bisa mengasumsikan apa-apa.Satu petugas yang lainnya bersiap membawa Miranda yang bersikukuh tidak mau beranjak. “Silakan ikut kami ke kantor untuk dimintai keterangan lebih lanjut.”“Saya tidak b
Miranda mengibaskan tangan. “Tidak ada, sayang. Kendrik memang jahil, dia senang membuat lelucon tentang kami. Tapi sesungguhnya ini memalukan dan tidak sopan.” “Kita selesaikan nanti, Kendrik. Jangan kekanak-kanakan seperti ini!” Sorot mata Ferry menyiratkan sesuatu yang lain.Alana penasaran video apa yang Kendrik miliki sehingga membuat kedua mertuanya berang.Kendrik meminta maaf lalu meminta handphonenya kembali.Sebelum menyerahkannya, Miranda menghapus video tersebut lebih dulu.Alana terus menatap Kendrik, meminta penjelasan. Namun, Kendrik hanya mengangkat kedua bahunya.Miranda lantas merangkul Alana, mengajaknya mendekat ke jendela ruang perawatan putranya.“Sekarang kita fokus pada keadaan Nathan. Cucu kesayangan Mama itu pasti akan baik-baik saja.” Miranda mulai tergugu, dia menangis yang justru membuat Alana risi padanya.Tangis Miranda semakin mengaung, suaminya sigap menenangkan. Kedua orang tua penuh drama tersebut lalu duduk sambil berpelukan.Kendrik memperhatikan