LOGIN
"Apa bakal terasa sakit?"
Suara Seraphina nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru hujan yang membasahi balkon. Dingin menusuk kulit wajahnya, seolah mencerminkan kekosongan di hatinya. Seraphina melongok ke bawah. Tiga lantai di bawahnya, tanah tampak begitu jauh, dan lampu taman pun terlihat kabur. Pandangan matanya bergerak, di ujung sana, ia melihat lampu ruang kerja Adrian, kakaknya, masih menyala terang. "Andai saja kamu mendengarkanku, Adrian..." Rasa kecewa perlahan merayap di hatinya. Jari-jarinya mencengkeram erat pagar logam yang dingin. Seraphina berdiri di tepi, ujung kakinya kini sudah mengambang di udara. Napasnya bergetar. Tatapannya kosong, menembus kegelapan yang menganga di bawah. Jari-jarinya gemetar, dengan perlahan melepas cengkeraman dari pagar. Ujung-ujungnya menyapu logam basah itu untuk terakhir kalinya. Seraphina memejamkan mata. Dalam kegelapan, kilasan beberapa menit sebelumnya muncul: pesan singkat dari kekasihnya, Cassian. "Sera, kita selesai. Aku nggak tahan sama kamu lagi. Kamu menjijikkan, tahu nggak? Jangan hubungi aku lagi." Seraphina menelan ludah, pahit. Tak ada lagi alasan untuknya bertahan. Ia menyerah. Dengan satu gerakan ringan, ia melepaskan tubuhnya ke depan. Seraphina jatuh, meluncur ke bawah, menyatu dengan hujan yang tak pernah berhenti. Di antara derauan angin, ia merasa ringan, bebas dari sepi, bebas dari segalanya. 'Mungkin tulangku akan patah saat sampai di tanah... aku pasti tak akan ingat rasanya karena akan langsung mati,' pikirnya, tersenyum pahit. ‘Tapi, aku rasa itu lebih baik daripada merasakan rasa sakit pengkhianatan ini seumur hidup.’ BUKK… Baru saja Seraphina berpasrah, sepasang lengan kuat menangkapnya ,tepat sebelum tubuhnya bertabrakan dengan tanah. Seraphina tersentak, napasnya tersengal. Ia membuka mata dan mendapati wajah seorang pria di hadapannya. Hal pertama yang ia tangkap adalah rambut peraknya yang berkilau di bawah cahaya bulan, lalu matanya yang berwarna hijau hazel, terlihat cantik dan… 'Bersinar?' gumam Seraphina dalam hati. Ia jelas melihatnya. Kilau mata pria itu bergerak dengan sangat cepat. "Anda baik-baik saja?" tanyanya, suaranya yang lembut menyadarkan Seraphina. Seraphina panik, jantungnya berdegup kencang. Kesadaran pertama yang muncul di pikirannya adalah pria itu pasti salah satu anggota geng Cassian, ia pasti sengaja mengikutinya untuk mencoba mencelakainya lagi. "Lepaskan aku!" sergahnya, meronta. Pria itu langsung menuruti kemauan Seraphina. Dengan gerakan lembut, pria itu segera melepaskannya, seraya mengangkat kedua tangannya seolah menunjukkan bahwa ia tak berniat jahat. "Tenang, saya hanya ingin membantu," katanya. Tapi Seraphina tak mendengar. Ia melangkah mundur perlahan. Lalu tanpa aba-aba, ia berbalik dan berlari masuk ke rumah, meninggalkan pria itu sendirian di taman belakang. Sesampainya di kamar, Seraphina segera mengunci pintu. Ia berjalan pelan mendekati jendela, mengintip dari balik tirai. Di bawah sana, pria itu masih berdiri di taman, diterangi oleh cahaya bulan. Tiba-tiba, ia menoleh ke atas, langsung ke arah jendela Seraphina. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya yang elok, terlihat penuh makna, seolah ia tahu Seraphina sedang mengintip. Jantung Seraphina melonjak. Ia buru-buru menjauh, menutup tirai, lalu menyelami ranjang dan bersembunyi di balik selimutnya, tubuhnya gemetar, pikirannya berputar liar. 'Siapa pria itu? Kenapa ia ada di sana?' Pertanyaan-pertanyaan itu perlahan menyeretnya pada ingatan ke kejadian sebelum ia pulang beberapa jam yang lalu. Sore itu, ponsel Seraphina bergetar saat ia sedang merapikan buku-buku kuliahnya. Nama Cassian muncul di layar, membuat senyumnya langsung mengembang. Pesan W******p itu singkat: "Sera, aku mau ajak kamu ke suatu tempat malam ini. Ini lokasinya, ya." Suara notif kedua kalinya berisi tautan G****e Maps. Seraphina menatap layar dengan mata berbinar. Tanpa ragu, ia membalas, "Oke, aku datang! 😍" Sepulang kuliah, Seraphina berlari kecil menghampiri Jason, sopirnya yang telah menunggu di depan gedung fakultasnya. Ia mendekat dan berbisik, "Kamu bisa pulang duluan, Jason. Aku mau pergi ke suatu tempat. Cassian akan mengantarku pulang nanti. Jangan khawatir." Jason terlihat ragu, tapi melihat Seraphina mengangguk-angguk meyakinkan, akhirnya ia menurut. Sore itu Jason pulang tanpa nona mudanya. Seraphina kemudian mengambil ponselnya dan mengecek dandanannya hari ini. Lipstik oke, kulitnya bersinar oke, rambutnya oke, sepertinya itu sudah cukup. Ia lantas berjalan menuju lokasi di maps, langkahnya ringan meski langit mulai kelabu dan gerimis mengintai. Awalnya, di sepanjang perjalanan ia tak memikirkan apa-apa. Jalanan masih ramai dengan lalu lalang orang. Tapi semakin jauh ia mengikuti petunjuk maps, suasana berubah. Trotoar menjadi sepi, lampu jalan mulai jarang, dan bangunan di sekitarnya berubah menjadi tampak tua. Seraphina menoleh ke kanan dan kirinya, jantungnya mulai tak tenang. "Benar ini tempatnya?" gumamnya, membuka ponsel untuk memeriksa lagi. Ia mengambil foto jalanan sepi itu, lalu mengirimkannya ke Cassian. "Sayang, ini betul jalannya, 'kan? Aku sudah di sini." Tanpa menunggu lama, balasan Cassian masuk. "Iya, sayang, kamu sudah benar. Terus saja, aku sudah dekat." Pesan itu sedikit menenangkannya, tapi rasa cemas tetap menggerogoti hatinya. Ia melangkah lagi, tangannya mencengkeram ponselnya erat-erat. Langit semakin gelap, gerimis mulai turun. Jalanan kini nyaris tak berpenghuni. Sampai akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, ia tiba di titik yang ditunjukkan maps. Seraphina berhenti. Di ujung jalan, ada sebuah toko kecil dengan lampu neon yang menyala terang. 'Untung toko itu masih buka,' pikirnya lega. Setidaknya ia merasa tidak sendirian. Ia mengirim pesan lagi ke Cassian. "Aku udah sampai. Kamu di mana?" Kali ini tak ada balasan. Ia mencoba menghubunginya, masuk tapi tak dijawab. Tiba-tiba, suara ramai terdengar dari arah toko. Seraphina menoleh, dan jantungnya langsung berdebar hebat. Beberapa pria keluar dari toko, tawa mereka keras dan kasar, membelah kesunyian malam. Instingnya seketika menyuruhnya mundur. Ia segera melangkah ke samping, bersembunyi di bayangan tembok dengan jantung berdegup kencang. Suara ramai itu perlahan mendekat. Ia menempelkan tubuhnya ke dinding, berharap tak seorangpun dari kelompok itu mengetahuinya. Tapi kemudian, sebuah suara memanggilnya, suara yang membuat darahnya membeku. "Sera? Wah, benar! Kamu memang Seraphina Lylah Blackwood." Seraphina menoleh, dan wajah yang dikenalnya muncul dari kelompok itu, Rico, salah satu anggota geng Cassian, ia pernah bertemu dengannya di kampus. Rico tersenyum. Tapi senyum di wajahnya bukanlah senyuman ramah seperti biasanya. Seraphina hendak bereaksi, tapi tiba-tiba tangan-tangan kasar mencengkeramnya. Ia refleks meronta dan berteriak dengan kencang, tapi sebuah kain mengikat mulutnya, membungkam suaranya. “Diam! Jangan banyak bergerak!” bentak salah seorang dari gerombolan itu. Ia ditarik paksa menuju satu-satunya toko yang masih menyala, panik. Saat mereka masuk, lampu toko tiba-tiba dimatikan, kegelapan menyelimuti ruangan, menambah kengerian dalam benak Seraphina. Tawa para pria itu bergema, tangan-tangan mulai meraba tubuhnya. Seraphina berontak dengan sekuat tenaga, air matanya mengalir, antara kengerian dan jeritan putus asa ingin terbebas dari para bajingan ini. Lalu, sepintas bayangan Cassian muncul di benaknya, 'Apakah ini rencana Cassian? Apakah ia sengaja membawaku ke sini?' ======= • • • ======= Di kamarnya, Seraphina masih bersembunyi di balik selimut, ingatan itu menghantamnya seperti badai. Tubuhnya masih gemetar. Namun, di sudut pikirannya, wajah pria berambut perak itu muncul lagi, dengan mata hijau hazelnya yang bersinar. "Siapa dia? Dan matanya... apa aku salah lihat?"“Kau suka bermain di sini?”Cypher menatap wajah Seraphina yang berseri-seri. Tak lama, Seraphina mengangguk.“Aku sudah lama sekali ingin ke taman bermain seperti ini. Tapi nggak pernah sempat. Orangtuaku selalu berpergian. Sedangkan Adrian—”“Adrian sibuk dengan dirinya sendiri. Tak heran jika dia belum mempunyai pacar” ucap Cypher. Seraphina tertawa terbahak-bahak. Kontras dengan suara yang terdengar di telinga mereka berdua.‘Kalian mulai kurang ajar, ya. Membicarakan orang secara terang-terangan.’ kata Adrian dari seberang earphone yang masih digunakan Seraphina, suaranya kesal.“Kalau kamu nggak mau dengar itu, kamu bisa kok menonaktifkan ‘CCTV’ mu itu dan membiarkan kami untuk menikmati kencan.” Seraphina membalasnya, suaranya seakan menantang Adrian.“Aku nggak pernah bilang menyutujui hubungan kalian. Ingat, kalian hanya berpura-pura saja. Hubungan kalian nggak akan berhasil. Jangan coba-coba!” ancam Adrian. Adrian menatap monitor dengan kemarahan yang membeku. Di hadapanny
Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge
Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna. “Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.” Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.” “Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?” Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, m
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi







