"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina.
Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi untuk percaya pada bukti. Kita akan memancingnya,’ jawab Cypher, suaranya terdengar lugas. Drrt… Ponsel Seraphina bergetar. Sebuah panggilan baru saja masuk, dari Cassian, tapi langsung tertolak. Seraphina mengernyit. Seingatnya ia tidak pernah mengatur panggilan “Otomatis Ditolak” di ponselnya. ‘Panggilan tak penting. Aku sudah mengaktifkan mode panggilan prioritas di ponselmu. Jadi, panggilan Cassian akan secara otomatis ditolak dan memprioritaskan komunikasi denganku. Untuk menjaga kestabilan sinyal.’ jelas Cypher tanpa diminta. Seraphina hanya menaikkan kedua alisnya, lalu mengangguk-angguk mengerti. Ia tidak tahu kenapa — dan mungkin perasaannya bisa saja salah — tapi seperti ada nada cemburu di suara Cypher. “Dia tidak punya emosi, Seraphina. Tidak mungkin dia cemburu.” gumam Seraphina dengan suara sangat pelan. Beruntung Cypher di seberang earphone tak mendengarnya. Seraphina menghela napas. “Tapi… gimana kalau, tiba-tiba dia menemukanku di sini? Dia pasti kesal banget sekarang karena aku tiba-tiba menghilang di kantin dan nggak kasih kabar sama sekali.” ‘Aku sudah mengamankan lokasi. Tidak ada orang yang akan mengganggumu. Percayalah padaku,’ jawab Cypher, suaranya meyakinkan. Bel kafe berbunyi, saat seorang pria masuk. Penampilannya benar-benar membuat semua mata memandangnya tanpa berkedip. Pria berstelan jas biru navy, rambut style rapi yang memperlihatkan dahinya, matanya yang tajam dan terkesan cuek, wajah bersih dan mulusnya, jam tangan berkilauan di tangan kanannya dan sepatu pantofel mengkilap dengan alas sol luarnya yang merah. Ia berjalan dengan langkah percaya diri, kaki yang panjang dan gesit menyusuri lantai kafe dengan elegan, seolah-olah ia memiliki hak untuk berada di sana. Tampak seperti seorang dewa Yunani yang baru saja turun dari tahta Olympus nya, dengan aura yang memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri. “Dia selalu berpenampilan mencolok,” Seraphina bergumam, matanya menatap sosok Adrian dari ujung kepala hingga ujung kaki, “bahkan dari jauh sudah tercium aroma uang.” ‘Adrian memang pengusaha muda yang kaya raya, bahkan di tahun ini dia sudah berhasil menjadi finalis di The London Tech Summit : Innovator of the Year. Kau tahu itu.’ ucap Cypher dari seberang. Seraphina terdiam. Matanya bergerak ke kiri atas, seakan sedang mengingat-ingat sesuatu. “... Aku nggak tahu.” jawabnya kemudian. ‘Hubungan kalian memang seburuk itu.’ kata Cypher, seolah mengkonfirmasi. Adrian berjalan ke arah meja Seraphina. Wajahnya tegas, rahangnya keras, dan matanya dingin. Ia tidak melihat sekelilingnya. Seraphina menelan ludah, ia melihat Adrian yang kini duduk di depannya. Ia berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terasa kaku. "Adrian," sapa Seraphina, suaranya bergetar. "Sera," jawab Adrian, nadanya formal dan dingin. Ia duduk di seberang Seraphina, tanpa senyum. "Apa yang mau kamu bicarakan? Aku sibuk." Seraphina terdiam. Ia melihat Adrian, menyadari betapa jauhnya mereka. Ia tidak tahu bagaimana harus memulai. ‘Mulai dengan hal yang personal. Sesuatu yang hanya kalian berdua yang tahu,’ bisik Cypher di telinganya. Seraphina mengangguk kecil. Ia membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar. "Aku... Aku minta maaf," bisik Seraphina, suaranya parau. Adrian mengernyit. "Minta maaf untuk apa?" "Karena selalu ganggu kamu," jawab Seraphina. "Kamu selalu sibuk, dan aku selalu meminta perhatianmu. Aku tahu kamu muak sama aku." Adrian menatapnya, matanya terlihat aneh, seakan ia sedang memikirkan sesuatu. “Sera, aku nggak pernah muak — mungkin kesal, iya, tapi nggak semuak itu.” "Tapi kamu nggak pernah ngobrol sama aku," bantah Seraphina. "Aku nggak punya waktu," jawab Adrian, suaranya terdengar lelah. "Aku sibuk dengan perusahaan Papa. Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar." Seraphina menghela napas. ‘Sekarang, Seraphina. Katakan padanya,’ bisik Cypher. "Aku tahu kamu sibuk, Adrian. Kamu selalu sibuk. Kamu bahkan nggak peduli dengan proyek augmented reality yang kamu kerjakan di tahun 2017," kata Seraphina, suaranya terdengar tenang. Adrian menatap Seraphina, matanya membelalak kaget. Tatapannya yang dingin berubah menjadi penuh keheranan, seolah ia baru saja melihat hantu. "Kamu… ingat itu?" bisik Adrian, suaranya nyaris tak terdengar. "Kamu sangat frustrasi waktu itu," Seraphina melanjutkan, "karena kamu nggak bisa menemukan bug di dalam kode. Dan justru aku yang menemukannya, kamu kaget banget ‘kan?” Tiba-tiba, pandangan Seraphina menjadi buram. Bukan hanya penglihatannya, tetapi seluruh inderanya terasa seperti diubah. ======= • • • ======= Flashback 2017 Seraphina yang berusia lima belas tahun berdiri di ambang pintu kamar Adrian. Matanya menangkap Adrian yang sedang duduk di meja kerjanya, rambutnya acak-acakan dan matanya merah karena kurang tidur. Di layarnya, barisan kode yang tidak masuk akal terpampang di sana. "Adrian?" panggil Seraphina, suaranya pelan. "Sera, jangan ganggu," Adrian menjawab tanpa menoleh. "Aku sibuk." Seraphina melangkah masuk. Ia berjalan ke belakang Adrian, menatap layar. Pandangan matanya langsung tertuju pada baris yang salah. "Itu salah," bisik Seraphina, menunjuk layar. "Titik koma itu seharusnya tidak ada di sana. Ada kesalahan dalam sintaks. Tanda kurungnya juga." Adrian terdiam. Ia membalikkan kursinya, menatap Seraphina. “Kamu bilang apa?” "Bug," jawab Seraphina. "Ini bug-nya." Adrian menatap layar, lalu menoleh ke Seraphina. Mata mereka bertemu. Adrian terkejut. "Gimana kamu tahu?" Seraphina hanya mengangkat bahu. "Aku nggak tahu. Aku cuma pernah lihat di internet." Adrian kembali menatap layar. Tangannya bergerak cepat, menghapus dan menambahkan baris kode seperti yang Seraphina katakan. Sesaat kemudian, kode yang bermasalah itu tiba-tiba berfungsi. Adrian menoleh ke Seraphina, senyum tipis terukir di wajahnya. "Ayo kita beli es krim. Aku bakal beliin berapapun yang kamu mau," katanya, "Kamu sangat berbakat." 2019 Selama dua tahun berikutnya, Seraphina sesekali membantu Adrian dengan masalah teknisnya. Adrian dengan senang hati memberikan proyek-proyek kecil untuk dikerjakan Seraphina. Seraphina mengerjakannya dengan baik, meskipun ia tidak pernah menunjukkannya kepada orang lain. Adrian mulai menceritakan rencana besarnya tentang teknologi waktu, tentang penciptaan sahabat AI, kepada Seraphina. Seraphina sangat tertarik. Tapi ia merahasiakan ketertarikannya. Suatu hari, di sebuah pesta penyambutan mahasiswa baru Sixth Form, Adrian sedang diwawancarai oleh seorang wartawan, ia sedang menjelaskan tentang rencana robot AI nya. "Aku senang kamu akhirnya tertarik sama IT," kata Adrian, tersenyum. "Papa pasti bakal bangga." "Kebetulan aja," jawab Seraphina, "Aku cuma coba-coba yang aku pernah baca dari internet. Ternyata lumayan seru." "Coba-coba aja hasilnya begini, gimana kalau kamu serius? Kamu bakal jadi pengusaha hebat, sama kayak aku," kata Adrian. Seraphina terdiam, ia tidak mengaminkan walaupun ia melihat Adrian sangat bersemangat. Ia senang karena kemampuannya itu bisa membuat ia lebih dekat dengan Adrian, tapi mengingat betapa sibuknya Adrian selama ini, juga tekanan-tekanan yang dilontarkan orangtua nya, membuatnya berpikir ulang. Malam itu, Seraphina hadir di pesta kecil penyambutan siswa baru. Di tengah keramaian pesta, ia hanya sibuk mengambil beberapa cemilan yang tersedia di meja, lalu memakannya sambil memperhatikan sekitar. “Waah, Cassian! Kita satu sekolah lagi? Apa kabar?” Suara-suara riuh terdengar di meja tak jauh dari Seraphina berdiri. Seraphina yang sedang mengunyah cupcake, refleks menoleh ke arah suara. Di sana, ia melihat Cassian sedang berbicara dengan beberapa orang. Suara tawa mereka menggelegar. Cassian dengan rambut blonde nya tersenyum lebar. Matanya terlihat berbinar, membuat Seraphina jatuh cinta pada pandangan pertama. “Hari pertama langsung menemukan cinta?” Tiba-tiba seorang berbisik di sampingnya. Seraphina mengalihkan pandangan ke teman wanita sebayanya itu, “Aku Genevieve. Panggil aja Genn.” Genn mengulurkan tangannya. Senyumnya yang lebar terlihat tulus. Membuat Seraphina tanpa ragu menyambut jabatan tangan Genn. “Aku Seraphina atau Sera.” kata Seraphina, “Kamu kenal dia?” Seraphina menunjuk Cassian dengan dagunya. Genn menyesap minumannya yang berwarna merah, lalu mengangguk. “Satu kelas di Secondary School. Dia lumayan populer. Dia dan gengnya…” Genn memberi gestur melalui tangannya ke wajahnya, “punya tampang yang enak dilihat.” Pandangan Seraphina langsung menyapu teman-teman di sekeliling Cassian. Genn benar, anak pria seumurannya yang sedang berdiri di sekitar Cassian terlihat tampan. Saat ia sedang asyik memperhatikan, Cassian menoleh, mata mereka tak sengaja bertemu. Pipi Seraphina memerah. Ia segera memalingkan muka, menghadap Genn. Jantungnya berdegup dengan kencang. ‘Semoga dia nggak sadar aku perhatiin!’ doanya dalam hati. “Aku belum bilang ya kalau dia agak sulit didekati… Tapi kayaknya hari ini dia yang mendekati…” bisik Genn, menyikut lengan Seraphina. Seraphina menoleh. Ia melihat Cassian sedang ke arahnya. Seraphina menelan ludah. "Hai. Namaku Cassian. Kamu Seraphina?" tanya pria itu, suaranya terdengar lembut dan menarik. Seraphina mengangguk, dengan sedikit keberanian ia menjawab, "Aku tahu," Suaranya bergetar. Ia merasa sedikit terintimidasi oleh kharisma Cassian. Cassian tersenyum. "Kamu kelihatan sangat bosan di sini. Daritadi matamu nggak fokus. Kamu ngelihatin jam tangan terus. Gelas ini…” Cassian mengambil gelas di tangan Seraphina dengan lembut, lalu meminumnya, tepat di bekas lipstik gelasnya, “kamu nggak berhenti goyang-goyangin ini.” Semburat merah Seraphina bertambah pekat. Matanya seakan tak percaya menatap bekas lipstik yang sekarang terlihat hilang sebagian karena tersapu dengan bibir Cassian. ‘Ciuman nggak langsung!’ jerit Seraphina dalam hati. “Ehm! Em, gimana kamu tahu?” Seraphina berusaha merespon. Tapi kepalanya kosong. Ia tak dapat memikirkan satu kata pun. “Aku tahu dari buku Psikologi yang aku baca. Aku sering baca-baca buku seperti itu karena memang ingin masuk ke jurusan Psikologi. Buat aku, itu sangat menarik. Seru. Kamu mau kuajari?” Seraphina menatap Cassian, seketika hatinya tersihir. Dalam hati ia mengikrarkan janjinya. ‘Jadi, mulai hari ini, targetku adalah masuk kuliah jurusan Psikologi!’"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d
Seraphina mengikuti Cypher ke sebuah ruangan yang terlihat seperti studio seni, dengan kanvas-kanvas kosong bersandar di dinding. Hingga sampai di tengah ruangan, matanya menangkap sebuah meja kerja baja dengan laptop futuristik yang menyala. "Duduklah, Seraphina," kata Cypher, menunjuk kursi di depan meja. "Aku harus melakukan ini sekarang. Proses ini tidak akan lama." Seraphina mengangguk, masih memproses emosinya yang campur aduk. Setidaknya ia lega, lehernya kini sudah kosong dari syal biru navy, ringan seperti beban yang telah terangkat. "Apa yang bakal terjadi kalau kamu nggak ngelakuin itu?" tanya Seraphina, duduk di kursi. Cypher mengarahkannya ke monitor. "Ada risiko data corruption. Data itu bisa terdistorsi, atau bahkan hilang. Aku tidak bisa mengambil risiko itu." "Oke," jawab Seraphina, suaranya tenang. "Terus, apa rencananya?" Cypher membuka laptopnya. Layar itu menampilkan kode-kode biner yang mengalir dengan cepat. "Rencananya akan kujelaskan setelah proses
Seraphina mengikuti Cypher dengan linglung. Mobil yang terbuka kuncinya dengan sekali sentuh oleh Cypher, bukanlah hal yang paling mengejutkan yang ia lihat hari ini. Begitu duduk di kursi penumpang, Seraphina menatap Cypher yang kini mengemudi. Di bawah sinar matahari yang bersinar terang, wajahnya terlihat sempurna. Kulitnya, gerak-geriknya, bahkan kedipan matanya, semuanya tampak alami. Tidak ada sedikitpun celah yang menunjukkan bahwa ia hanyalah sebuah mesin. "Aku tahu aku bakal terlihat bodoh kalau tanya seperti ini, tapi… kamu beneran robot?" gumam Seraphina. Suaranya terdengar tidak yakin. "Entitas," Cypher mengoreksi, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku adalah entitas yang dirancang." "Tapi... kulitmu terasa nyata. Sentuhanmu. Suaramu. Bola matamu… ah, aku pernah melihatnya menyala waktu kamu tangkap aku di taman malam itu. Tapi hanya itu satu-satunya yang terlihat aneh," kata Seraphina, teringat malam saat ia mencoba terjun dari balkon rumahnya, dan Cypher berhasil m
Seraphina berjalan melewati trotoar kampus, syal wol biru navy melingkar di lehernya. Sepanjang langkahnya ia tersenyum, sesekali bersiul. Syal itu terasa hangat di lehernya, bukan hanya dari bahannya, tetapi juga dari kenangan yang menempel pada malam sebelumnya. Ia menghela napas panjang, ia menyukai hadiah dari Cassian, tapi tak dapat dipungkiri di lubuk hatinya masih ada sedikit rasa kegelisahan. Tapi sejak bangun tidur pagi ini, dia sudah bertekad untuk menyingkirkan jauh-jauh rasa gelisahnya. Ia akan mencoba memperbaiki hubungannya dengan Cassian. Dan memberitahu Cassian tentang watak asli geng-nya yang bejat. “Rico dan teman-temannya yang melakukannya. Bukan Cassian. Mungkin Cassian juga nggak tau tentang kejadian malam itu. Jadi, aku akan mempengaruhinya untuk meninggalkan geng nya itu.” gumam Seraphina bertekad. Tak lama, sosok Genn muncul dan langsung merangkul pundaknya dengan akrab. Di sisi lain, Cassian mendekat dan menggenggam tangan Seraphina dengan lembut. "Wow! S
Seraphina duduk di bangku taman yang sepi, di bawah lindungan pohon ek besar. Angin musim semi menerbangkan beberapa helai rambutnya. Di sampingnya, Cassian duduk dengan bahu tegap dan senyum menenangkan. Ini adalah tempat yang sering mereka kunjungi, tempat yang seharusnya terasa nyaman. Namun, bagi Seraphina saat ini, ia justru merasa gelisah."Aku tahu ini aneh, Sera. Kamu tiba-tiba menghilang, lalu mengirimiku pesan seperti itu," Cassian memulai, suaranya lembut. "Tapi aku senang kamu menghubungiku. Aku cemas setengah mati.""Aku… aku cuma butuh seseorang, Cassian," gumam Seraphina. Ia tidak berani menatap mata Cassian.Cassian tersenyum, lalu menyentuh tangan Seraphina dengan lembut. “Aku selalu di sini untukmu. Kamu tahu itu, kan?”Seraphina mengangguk pelan. Sentuhan Cassian terasa seperti listrik yang mengalir di kulitnya, tetapi bukan kehangatan. Melainkan getaran yang aneh.Cassian kemudian mengeluarkan tas kertas dari sisinya. "Ini," katanya sambil menyodorkannya pada Serap