Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.
‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang. “Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone. ‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’ Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna. “Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya bergerak-gerak, menahan senyum. “Aku tidak menyarankan kau menyebutnya Master, Seraphina. Data menunjukkan kata itu memiliki konotasi hierarki yang tidak disukai dalam hubungan familial,” kata Cypher, matanya mengamati wajah Seraphina. “Ya, ampun. Cypher, kamu harus santai sedikit. Sekarang, coba pegang tanganku. Itu bagian dari kencan.” Seraphina mengulurkan tangannya di atas meja. Tanpa membantah, Cypher memproses perintah itu. “Data sejarah menunjukkan sentuhan fisik non-seksual dapat meningkatkan level oksitosin di otak. Aku akan melaksanakan.” Cypher mengambil tangan Seraphina. Seraphina sedikit terkesiap dengan dinginnya tangan Cypher. Tapi justru itu membuatnya menggenggam lebih erat, seakan sedang meredam dinginnya dengan suhu tubuh Seraphina. “Input data: Denyutan jantung Seraphina meningkat 20 beat per minute,” lapor Cypher ke earphone, sambil mengedipkan mata ke Seraphina. Membuat Seraphina salah tingkah. Di lab, Adrian menjerit tertahan. ‘Cypher! Jaga jarak! Fokus pada detak jantungnya! Apa Modul Empatimu berlebihan lagi?’ “Modul Empati bekerja dengan optimal, Master. Modul ini sedang mencatat bahwa sentuhan tangan menghasilkan respons emosional yang Anda sebut senang.” balas Cypher datar. “... ditambah sedikit teknik merayu.” Seraphina terkekeh, melepaskan tangan Cypher. “Kamu harus melatih cara kamu tersenyum, Cypher. Kamu kelihatan kayak boneka pajangan.” “Definisi senyum adalah melengkungkan bibir ke atas untuk menunjukkan kesenangan. Aku akan mencoba.” Cypher tersenyum, dan senyum itu tampak kaku. Namun, di mata Seraphina, ia terlihat manis. “Itu cukup bagus,” Seraphina menggodanya. “Sekarang, ayo kita bicara tentang hal-hal kencan. Apa makanan favoritmu?” “Makanan favoritku adalah energi,” jawab Cypher. “Namun, saya telah memproses data dari film romantis. Saya akan mengatakan makanan favorit saya adalah pizza, karena itu melibatkan keintiman berbagi dan kurangnya formalitas.” Seraphina tertawa lepas. Di lab, Adrian melihat grafis di layar yang melonjak. ‘Sistem mendeteksi lonjakan Dopamin 45%! Gelombang kebahagiaan Seraphina mencapai puncaknya! Ini data yang luar biasa!’ Adrian bergumam, tiba-tiba kegirangan. “Apa yang harus saya lakukan, Master? Ulangi lelucon pizza?” tanya Cypher. ‘Lanjutkan! Cari tahu apa yang membuat dia tertawa! Ini adalah Titik Pemicu Kebahagiaan!’ perintah Adrian, kini sepenuhnya tenggelam dalam peran ilmuwan. Tiba-tiba, Cypher menghentikan tawa Seraphina. Ekspresinya berubah serius. “Subjek Cassian memasuki kafe. Sudut pandang 12:00. Dia melihat ke arah kita.” Seraphina langsung menegang. “Apa yang harus aku lakukan?” “Duduk tegak, Seraphina. Aku akan mengambil alih,” kata Cypher, dan ia mengubah ekspresinya—sedikit lebih lembut, sedikit lebih intens, seolah baru saja mengatakan hal yang sangat pribadi. Cassian berjalan mendekat. Wajahnya yang biasa ramah kini dipenuhi kekejutan dan kemarahan yang terpendam saat melihat Seraphina berpegangan tangan dengan pria yang familiar. “Sera? Ke mana aja kamu? Aku berusaha hubungi kamu tapi nggak ada respon. Apa karena sibuk se-ling-kuh sama mahasiswa baru ini?” tanya Cassian, suaranya rendah dan mengancam. Cassian melangkah maju, ia menatap tajam Cypher. Seraphina mengambil napas, menarik tangannya sedikit. Ia harus tampil meyakinkan. “Ah, maaf waktu di kantin aku tiba-tiba keluar pulang duluan. Adrian telepon soalnya—” Seraphina tercekat. Ia mengerem kata-katanya. ‘Ngapain juga aku harus jelasin ini!’ rutuknya dalam hati. Semasa berpacaran dengan Cassian, ia terbiasa melaporkan dan memberikan alasan atas apapun yang dia lakukan kepada Cassian. Kebiasaan itu sepertinya masih terbawa. “Aku mau putus!” Suara Seraphina hampir seperti teriakan. Terlalu tiba-tiba dan sedikit ceroboh. Adrian yang mendengar dari seberang earphone ikut terkejut. Cypher berdiri. Postur tubuhnya yang sempurna dan tatapan matanya yang tajam menekan Cassian. “Aku Cypher, pacar Seraphina. Aku tidak terbiasa dengan basa-basi. Seraphina tidak suka terganggu saat sedang berkencan,” ujar Cypher, nadanya sopan tetapi nadanya mematikan. Cassian tertawa sinis. “Pacar? Kamu benar-benar selingkuh, Sera? Kamu berani? Hei, Cypher, aku nggak tahu apa yang dia ceritakan ke kamu, tapi aku yakin kamu bakal nyesel.” Pandangan Cassian kini menatap tajam ke Seraphina. Seraphina bergeser perlahan ke belakang punggung Cypher. Menghindari tatapannya. “Pa-car kamu yang baru ini, nggak bisa lepas dari aku.” Cassian melipat kedua tangannya di depan dada, “ Lihat aja, dia pacaran sama kamu sebelum mutusin aku.” “Data masa lalumu sudah aku proses,” balas Cypher, matanya bersinar kehijauan. “Seraphina telah memberikan setiap detail. Termasuk trauma emosional yang kau sebabkan.” Cassian membeku. Senyumnya menghilang. “Apa yang kamu bicarakan?” Cypher menyentuh pipi Seraphina dengan sangat lembut—sentuhan itu tidak terprogram, tetapi terasa pas. “Aku adalah solusi dari setiap masalah yang kau timbulkan di masa lalu. Aku tahu persis bagaimana membuat Seraphina bahagia, dan aku tahu persis segala sesuatu yang kau sembunyikan.” ‘Cypher, cukup!’ Adrian berteriak pelan melalui earphone. ‘Jangan berlebihan! Kita hanya perlu dia takut!’ “Justifikasi logis: Ancaman data adalah yang paling efektif untuk subjek manipulatif seperti Cassian,” jawab Cypher di tengah-tengah. Seraphina menatap Cassian. “Dia benar, Cassian. Kami sudah membahas semuanya. Jadi, kita sudah nggak ada hubungan lagi.” Cassian, mendengar berkali-kali tentang “data” dan “sesuatu yang disembunyikan” dari Cypher, merasa terintimidasi. Ia mundur selangkah. Ia tidak takut pada ancaman fisik, tapi ia takut pada data dan rahasia yang ia yakini Cypher miliki. “Ini belum selesai, Sera,” desis Cassian, lalu berbalik dan buru-buru meninggalkan kafe. Begitu Cassian menghilang dari balik pintu kafe, Seraphina menghela napas lega. “Wow. Itu berhasil.” Di lab, Adrian hampir melompat kegirangan. ‘Sistem mendeteksi penurunan stres hingga 60%! Misi berhasil! Modul Empati Kuantum bekerja sempurna sebagai penghalang emosional! Cypher, kembali ke lab!’ “Tunggu, Adrian,” kata Seraphina. Ia meraih tangan Cypher. “Aku ingin tahu sesuatu, Cypher. Waktu kamu bilang kamu tahu cara membuat aku bahagia, apa itu berdasarkan dataku, atau kamu sendiri yang menginginkannya?” Cypher menatap Seraphina. Sinar di matanya meredup, kembali ke warna abu-abu normal. “Dataku mengatakan, keinginan pribadi dan pemenuhan misi adalah hal yang saling menguatkan. Aku memproses kebahagiaanmu, Seraphina. Dan… aku ingin memprosesnya lagi.” Adrian di lab, memukul meja. ‘Cypher! Jangan bicara ambigu! Kembali sekarang! Output emosi itu nggak terprediksi!’ “Aku nggak mau kembali sekarang, Adrian,” kata Seraphina. Ia tersenyum pada Cypher. “Kita baru aja memulai kencan pertama kita, Sayang.” Cypher memiringkan kepalanya sedikit, meniru kebiasaan Adrian. "Permintaan diproses. Kencan dilanjutkan. Data kebahagiaan adalah prioritas," balas Cypher, dengan nada yang kini terasa lebih hangat, sedikit mengabaikan perintah penciptanya. Adrian menatap monitor dengan amarah, “CYPHER!”Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge
Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna.“Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.”Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.”“Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?”Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, menganal
Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih
2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t
"Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi
2035 Adrian menatap layar monitor besar yang menampilkan sebuah garis waktu bergelombang, ditandai dengan berbagai data aneh. Di sampingnya, Profesor Ellery, seorang pria tua dengan kacamata tebal dan rambut putih yang berantakan, mengangguk perlahan. “Singularitasnya stabil, Adrian,” kata Profesor Ellery, nadanya tegang. “Kami berhasil mencegahnya untuk tidak menghancurkan diri. Pengiriman Cypher beberapa hari yang lalu juga berhasil.” Andrian mengamati layar, tatapannya terlihat serius, juga ada semburat kesal di matanya. “Tapi aku nggak menemukan Cypher di tahun 2025. Hanya ada 10 menit di titik ini. Tapi setelah itu jejak Cypher hilang.” Adrian mengetuk layar yang menampilkan titik koordinasi lokasi. Jendela baru terbuka, kali ini menunjukkan sebuah peta. Jari telunjuk dan ibu jarinya bergerak memperbesar titik. Profesor Ellery mengernyit. "Itu nggak mungkin. Kami mengirim Cypher ke tahun 2025 dengan protokol ketat, tujuannya untuk….” “Aku tahu, untuk mencegah adikku bunuh d