แชร์

Chapter 2 : Keanehan Dimulai

ผู้เขียน: Ivy Morfeus
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-16 20:08:44

BRRR! BRRR!

 Alarm ponsel Seraphina berdering nyaring, merobek kesunyian pagi. Ia tersentak, dengan mata setengah terbuka, meraba-raba meja di samping ranjang. Jemarinya menekan tombol snooze dengan malas. Selimut tebal ditarik kembali menutupi wajahnya, seolah bisa menghalanginya dari dunia luar.

 "Hari ini, aku nggak akan ke kampus," gumamnya pada diri sendiri, suaranya serak. Hatinya masih terluka, terjebak dalam bayang-bayang malam tadi: pesan kejam Cassian, teror gengnya di toko gelap, dan pria misterius berambut perak yang menangkapnya dari kematian.

 Seraphina menarik napas panjang, membayangkan bertemu Cassian di kampus adalah mimpi buruk untuknya saat ini. 

 “Mungkin aku bisa cuti kuliah selama setahun? Atau bagaimana kalau pindah kampus saja? Sepertinya itu ide bagus.” gumam Seraphina.

 Tapi bayangan Adrian, kakaknya yang seorang CEO kaku dan perfeksionis, langsung muncul. Ia pasti akan memandang Seraphina dengan raut tak suka, mengomel tentang betapa rumitnya proses pindah kampus. Adrian benci ketidakefisienan, dan Seraphina tahu permintaannya akan ditolak mentah-mentah. Tapi ia tak peduli. Jika Adrian tak mengizinkan, ia akan memohon pada ayah dan ibunya, bahkan meminta dipindahkan ke luar negeri. Apa pun, asal jauh dari Cassian dan kenangan pahit ini.

 TOK! TOK! TOK!

 Ketukan di pintu kamar tiba-tiba menginterupsi. Seraphina mengabaikannya, lebih memilih menyelami selimut lebih dalam. Ia tak ingin bertemu siapa pun. Hatinya masih perih, meski keinginan untuk mengakhiri hidup semalam kini telah digantikan oleh ketakutan yang mengakar. Bayangan geng Cassian, tawa kasar mereka, dan tangan-tangan yang nyaris menghancurkan hidupnya masih menghantui.

 Ketukan itu bertambah keras, disertai suara tak sabar yang sangat dikenalnya.

 “Sera! Buka pintunya!” suara Adrian menggelegar dari balik pintu. “Kenapa kamarnya dikunci, sih? Cepat keluar! Suruh Cassian matikan motornya yang berisik itu! Pagi-pagi udah ganggu tetangga!”

 Seraphina membuka mata lebar-lebar. 

 ‘Cassian?’ Nama itu seperti petir di kepalanya.

 ‘Cassian ada di rumahku? Kenapa? Bukannya semalam dia kirim pesan putus? Bahkan dia menghinaku dengan kata-kata yang kasar!’

 Dengan jantung berdegup kencang, ia bangkit dan bergegas ke jendela, mengintip dari balik tirai. Benar saja, di depan rumah, Cassian berdiri di samping motornya, helm di tangannya, ia tersenyum santai seolah tak pernah terjadi apa-apa.

 Sebelum Seraphina bisa memproses pemandangan itu, ponselnya berdering. Nama Cassian terpampang di layar. Tangannya gemetar saat mengangkatnya, ragu tapi tak bisa menahan rasa ingin tahu.

 “Halo?” suaranya serak, nyaris tak terdengar.

 “Tuan Putri, sampai kapan kamu mau tidur?” Suara Cassian riang, penuh canda, seperti dulu. “Kamu nggak lupa hari ini kita ada presentasi, kan? Kamu bilang nggak mau dapat nilai D di mata kuliahnya Mr. Hudson.”

 Seraphina tersentak, ponselnya nyaris terlepas dari tangannya.

 ‘Presentasi mata kuliah Mr. Hudson?’ Pikirannya berputar. ‘Bukannya presentasi itu sudah aku lakukan semester lalu?’

 Ia ingat betul, betapa gugupnya ia di malam sebelum presentasi, dan bagaimana Cassian menenangkannya dengan candaan.

 ‘Apa ada presentasi lain? Atau … ada sesuatu yang salah?’ benak Seraphina masih mencerna.

 “Sera! Buka pintunya sekarang!” Gedoran keras Adrian menyadarkannya. Suara kakaknya kini benar-benar terdengar tak sabar.

 “Iya, aku mandi dulu!” teriak Seraphina spontan, suaranya lebih keras dari yang ia maksud. Ia langsung menutup telepon tanpa menjawab Cassian, pikirannya kacau. Dengan langkah tergesa, ia berlari ke kamar mandi, mencipratkan air dingin ke wajahnya, berharap itu bisa menjernihkan pikirannya.

 Saat Seraphina mendongak, ia terkejut menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat segar dan bersinar.

 ‘Bukannya semalam aku terus-terusan nangis?’ pikirnya. ‘Kenapa wajahku secerah ini? Mataku kelihatan segar dan nggak bengkak. Wajahku juga bersih dari sisa make up, padahal aku lupa membersihkannya semalam.’

 Seraphina menggelengkan kepalanya dengan cepat. Entah firasatnya benar atau tidak, dia harus memastikan dulu. Saat ia berganti pakaian, pikirannya terus bertanya-tanya. Pagi ini Cassian bertingkah seolah tak pernah mengirim pesan putus itu. Tak ada nada dingin atau hinaan dalam suaranya. Sangat kontras dengan kemarin.

 ‘Dan presentasi Mr. Hudson … kenapa ini terasa seperti déjà vu?’ 

 Seraphina menggenggam ponselnya, membuka kembali chat dengan Cassian. Ia mencari pesan kejamnya semalam, tapi tak ada di sana. Sebaliknya, justru ia menemukan chat terakhir di tanggal 7 November, tentang rencana kencan karaokenya untuk merayakan selesainya tugas presentasi Mr. Hudson. Jantungnya berdegup kencang. Ia memicingkan mata, memastikan ia tidak salah baca.

 ‘Tanggal 7 November?? Itu ‘kan 6 bulan yang lalu. Bagaimana bisa – tunggu, apa aku mengulang waktu??’

 Tiba-tiba, kilasan wajah pria berambut perak dari semalam muncul di benaknya. Mata hijau hazelnya yang bersinar, senyum misterius, dan tatapannya yang seolah tahu sesuatu.

 ‘Apa itu karena dia… ?’

 Pikiran itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Setelah diingat lagi, kejadian aneh memang dimulai sejak bertemu dengan pria rambut perak itu semalam. Seraphina buru-buru menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir gagasan tidak masuk akal itu. Sekarang ia harus fokus. Cassian ada di bawah, menunggunya.

 Seraphina bergegas turun ke lantai bawah. Tangga marmer yang dingin terasa asing di bawah kakinya yang terburu-buru. Jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya terbelah antara kebingungan tentang Cassian dan kilasan aneh tentang malam tadi.

 Di ruang makan, Adrian sudah duduk di meja, tampak seperti patung dalam setelan jas abu-abu gelap yang mahal dan rapi tanpa cela. Ia sedang menyeruput kopi hitam, matanya terpaku pada tablet di samping piringnya yang berisi roti panggang dan telur. Seraphina ragu sejenak. Ia ingin bertanya tentang semalam.

 “Adrian, semalam kamu tidur jam berapa?” tanya Seraphina, mencari alasan. “Aku cuma khawatir karena lihat lampu di ruang kerjamu masih nyala di tengah malam.”

 Adrian menaikkan pandangannya, alisnya berkerut menatap Seraphina dengan tatapan menyelidik. “Kamu mabuk, ya?” tanyanya, nadanya datar tapi penuh sindiran. “Apa lagi yang kamu lakukan dengan teman-temanmu itu?”

 Adrian mendengus, meletakkan cangkir kopinya perlahan. “Sera, aku seminggu di Prancis untuk urusan bisnis. Baru mendarat pagi ini, dan langsung disambut suara motor berisik Cassian di depan rumah. Kamu beneran nggak sadar, atau cuma pura-pura?”

 Seraphina membeku, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Ia menatap Adrian dari atas sampai bawah : jasnya tanpa kerutan, rambutnya klimis, seolah baru saja keluar dari sesi foto majalah bisnis.

 “Tunggu … kamu baru pulang pagi ini?” tanya Seraphina, suaranya penuh kebingungan. “Bukannya semalam kamu di ruang kerja? Aku lihat lampu di ruang kerjamu nyala.”

 Adrian terlihat tak ingin membalas pertanyaan adiknya yang konyol. Sebagai gantinya Reynald, sopir pribadi Adrian, muncul dari arah dapur, membawa segelas jus untuk Adrian.

 “Benar, Seraphina,” katanya sambil tersenyum kecil. “Saya yang menjemput Adrian dari bandara tadi subuh.”

 Seraphina memandang mereka bergantian, kepalanya pening.

 ‘Kalau Adrian tidak di rumah semalam, lalu siapa yang menyalakan lampu ruang kerja? Dan kenapa Cassian bertingkah seolah tak pernah memutuskan hubungan kami?’

 Pertanyaan baru muncul di benaknya. Ia ingin berteriak, menuntut penjelasan, tapi Adrian sudah bicara lagi, nadanya kini lebih tajam.

 “Seraphina, kurangi kebiasaan mabukmu bersama teman-temanmu itu. Cari pergaulan yang lebih baik. Kamu nggak lihat dirimu sendiri? Berantakan.”

 Seraphina meremas taplak meja. Giginya bergemelutuk seolah tak terima dengan kata-kata yang diucapkan oleh kakaknya barusan.

 “Berantakan?!” Seraphina tak bisa menahan diri. “Kamu nggak tahu apa-apa tentang hidupku, Adrian! Tiap kali aku coba cerita, kamu cuma bilang ‘urus sendiri’ atau ‘jangan ganggu aku kerja’. Jadi jangan sok tahu soal pergaulanku!” 

 Suaranya meninggi, emosi yang terpendam sejak semalam meledak. Adrian hanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tak terkejut dengan ledakan itu.

 Tiba-tiba, pandangan Seraphina tertarik ke jendela besar di ruang makan. Di luar, Cassian masih berdiri di samping motornya, memandang ke arah rumah dengan senyum yang membuat perut Seraphina mual. Panik melandanya. Ia tak bisa menghadapi Cassian sekarang, bukan setelah apa yang dilakukan gengnya semalam, bukan setelah pesan kejam yang kini entah kenapa lenyap dari ponselnya. Tanpa berpikir panjang, ia kembali menoleh ke Adrian.

 “Adrian …” Seraphina memanggilnya lembut, ia menampakkan senyuman manis, kontras dengan beberapa menit lalu saat emosi mempengaruhi nada bicaranya. “… boleh nggak aku pinjam mobilmu? Minta Reynald mengantarku. Aku … aku nggak mau ketemu Cassian sekarang.”

 Adrian mengerutkan dahi, jelas bingung. “Kamu punya sopir dan mobil sendiri, Sera. Buat apa membawa Reynald? Lagian, bukannya kamu sama Cassian—”

 “Please, Adrian!” potong Seraphina, suaranya hampir memohon. “Aku lagi nggak mau ketemu dia. Please, aku jelasin nanti.”

 Adrian mendesah panjang, mengelap mulutnya dengan serbet lalu bangkit dari kursi. “Baiklah. Aku capek, nggak mau debat. Reynald, anterin dia.” Ia berjalan menuju tangga menuju kamarnya, meninggalkan Seraphina dan Reynald di ruang makan.

 Seraphina menoleh ke Reynald, yang kini tersenyum kecil. “Maaf, Rey, merepotkan banget,” katanya, suaranya pelan. “Aku… aku lagi berantem sama Cassian. Nggak mau ketemu dia sekarang.”

 Reynald, yang seusia dengan Adrian, terkekeh pelan. “Santai saja, Seraphina. Aku ngerti. Drama anak muda, kan?” candanya, membuat Seraphina sedikit tersenyum meski hatinya masih berat. Reynald selalu punya cara membuatnya merasa lebih ringan, mungkin karena ia tak pernah menghakimi seperti Adrian.

 “Jadi, saya berpura-pura sedang mengantar Adrian, begitu kan, Seraphina?”

 Seraphina mengangguk. “Nanti aku akan beritahu Cassian kalau aku sudah di kampus.”

 Reynald mengangguk mengerti. Lalu Seraphina mengikuti Reynald menuju garasi. Tapi saat melangkah, pikirannya tak bisa lepas dari keanehan yang menumpuk. Lampu ruang kerja yang menyala, Cassian yang bertingkah seperti tak pernah memutuskan hubungan, dan presentasi Mr. Hudson yang seharusnya sudah selesai. Dan di sudut pikirannya, wajah pria berambut perak itu terus muncul – mata hijau hazel yang sekejap menyala, seolah menyimpan rahasia.

 Apakah semua ini hanya khayalannya yang kacau? Atau ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang mengguncang dunia yang ia kenal?

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 22 : Selamat Datang di Rumah, Malafungsi Fatal

    “Kau suka bermain di sini?”Cypher menatap wajah Seraphina yang berseri-seri. Tak lama, Seraphina mengangguk.“Aku sudah lama sekali ingin ke taman bermain seperti ini. Tapi nggak pernah sempat. Orangtuaku selalu berpergian. Sedangkan Adrian—”“Adrian sibuk dengan dirinya sendiri. Tak heran jika dia belum mempunyai pacar” ucap Cypher. Seraphina tertawa terbahak-bahak. Kontras dengan suara yang terdengar di telinga mereka berdua.‘Kalian mulai kurang ajar, ya. Membicarakan orang secara terang-terangan.’ kata Adrian dari seberang earphone yang masih digunakan Seraphina, suaranya kesal.“Kalau kamu nggak mau dengar itu, kamu bisa kok menonaktifkan ‘CCTV’ mu itu dan membiarkan kami untuk menikmati kencan.” Seraphina membalasnya, suaranya seakan menantang Adrian.“Aku nggak pernah bilang menyutujui hubungan kalian. Ingat, kalian hanya berpura-pura saja. Hubungan kalian nggak akan berhasil. Jangan coba-coba!” ancam Adrian. Adrian menatap monitor dengan kemarahan yang membeku. Di hadapanny

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 21 : Kencan Pertama

    Adrian duduk di ruang kontrol lab, tangannya memegang earphone yang terhubung dengan Cypher. Di depannya, layar hologram besar menampilkan peta kota. Titik merah (Seraphina) dan titik biru (Cypher) berhenti di sebuah kafe dekat kampus. Cypher sudah mengenakan pakaian kasual yang dipilih oleh Seraphina—sebuah ketidaklaziman yang membuat Adrian kesal.‘Cypher, scan sekeliling,’ perintah Adrian, suaranya tegang.“Data menunjukkan probabilitas kehadiran Cassian di kafe ini mencapai 78% pada jam ini, Master. Subjek Cassian baru saja mengunggah foto kopi di media sosial, tag lokasi 50 meter dari posisi kami,” jawab Cypher melalui earphone.‘Bagus. Sekarang, Sera, berikan dia performa terbaikmu. Ingat, ini bukan kencan. Ini adalah pengumpulan data.’Di kafe, Seraphina tersenyum. Ia menatap Cypher, yang duduk di seberangnya dengan postur tubuh yang terlalu sempurna.“Baik, Master,” balas Seraphina, berpura-pura memasang ekspresi serius. Tapi beberapa kali Cypher memergoki sudut bibirnya berge

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 20 : Malafungsi Fatal

    Adrian memutar kursinya, kembali memunggungi Seraphina. Jeda keheningan itu terasa panjang, hanya terdengar suara fan pendingin dari peralatan lab. Matanya yang dingin kini terpaku pada layar hologram, menolak mengakui kengerian yang baru saja ia cerna. “Singularitas,” gumam Adrian, mencoba menenangkan diri dengan istilah ilmiah. “Cypher, aku butuh data processor-mu di momen benturan itu. Jangan bicara anomali, berikan aku rumus.” Cypher maju selangkah. “Penderitaan Seraphina adalah rumus yang Anda cari, Master. Itu adalah variabel energi terkuat yang mengganggu koordinat waktu. Anda mencari perhitungan logis untuk menjelaskan hal yang mustahil.” “Semua yang terjadi di alam semesta ini punya rumus!” desis Adrian, menekan-nekan tombol. “Output energi TADS-5 di tahun 2023 bahkan tidak mampu mengganggu jam digital. Bagaimana mungkin AI paling sempurna yang kubuat bisa dipengaruhi oleh… emosi?” Mata Cypher memancarkan sinar kehijauan yang intens. Ia terdiam selama beberapa detik, m

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 19 : Membuka Rahasia

    Adrian membeku. Matanya, yang biasanya dingin dan penuh perhitungan, kini melebar karena terkejut. Ia menatap Seraphina, lalu beralih menatap headset transparan yang tergeletak di meja. Benda itu berkilau perlahan, memancarkan cahaya merah muda keunguan seperti hologram. “Kamu bicara sama siapa, Sera?” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Seraphina menghela napas. Ia sudah ketahuan. Semua ketakutan dan kelelahannya tiba-tiba sirna, digantikan oleh kepasrahan yang tenang. Ia tahu ini adalah satu-satunya kesempatan. Ia tidak bisa menyia-nyiakannya. Ia menatap mata kakaknya yang tajam. “Cypher. Versi sempurna dari TADS-5 yang kamu ciptakan.” Seraphina mulai berbicara, suaranya pelan dan datar. “Aku akan menceritakan semuanya, dari awal. Tapi aku nggak akan memintamu untuk percaya sama ceritaku, Adrian. Aku cuma minta kamu untuk percaya pada Cypher.” Adrian mengerutkan dahi, bingung. “Cypher dan TADS-5?? Apa yang kamu bicarakan?” Seraphina memandang wajah Adrian, dan ia melih

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 18 : TADS-5, Pelopor Cypher

    2023 Mobil Adrian bergerak cepat melintasi jalanan London yang basah. Kaca-kaca mobil berkilauan, memantulkan cahaya lampu jalan yang buram. Di dalam, suasana terasa dingin dan senyap. Seraphina melirik Adrian yang fokus menyetir, wajahnya tegas, rahangnya mengeras. Ia tampak berpikir keras, dan Seraphina tahu Adrian masih tidak memercayai ceritanya. “Aku tahu ini susah dipercaya,” kata Seraphina, memecah keheningan. “Tapi... yang aku ceritain itu nggak bohong.” Adrian tidak menoleh. “Sera, apa pun yang kamu ceritakan tentang Cassian … aku yakin itu karena kamu lagi kesal sama dia aja kan. Akhir-akhir ini kamu berantem sama dia. Kamu sengaja bikin cerita-cerita seperti ini karena marah sama dia. Memangnya apa yang dia lakukan sampai kamu buat cerita jelek-jelekin dia kayak gini?” “Dia melakukan hal yang sangat-sangat buruk, Adrian.” Seraphina berusaha meyakinkan, “Dia beneran berbahaya. Dia bilang mau mengambil alih perusahaan kita.” Adrian menghela napas. “Aku tahu Cassian t

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 17 : Sintaks Salah

    "Cypher, kamu dengar aku?" bisik Seraphina. Seraphina sudah berada di dalam Drury Covent Garden. Kafe itu ramai, namun musik jazz yang diputar membuat suasana terasa tenang. Ia memilih sebuah meja di sudut ruangan, jauh dari keramaian. Ia duduk, meletakkan ponselnya di atas meja. Tangan-tangan Seraphina terasa dingin dan bergetar, ia merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Tangannya terangkat, menyentuh telinganya, memastikan earphone transparan itu sudah terpasang dengan nyaman. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. “Cypher?” panggilnya lagi. ‘Aku dengar. Suaramu terdengar jelas, Seraphina. Tenang. Aku di sini,’ jawab Cypher, suaranya tenang dan tanpa emosi. “Sorry,” bisik Seraphina lagi. “Aku gugup. Gimana kalau dia nggak percaya sama aku? Gimana kalau dia malah menganggap aku gila?” ‘Dia akan percaya. Ingat, Adrian tidak percaya pada orang lain selain dirinya. Kita tidak akan memintanya untuk percaya padamu, tapi

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status