Home / Fantasi / Algoritma Cinta Cypher / Chapter 2 : Keanehan Dimulai

Share

Chapter 2 : Keanehan Dimulai

Author: Ivy Morfeus
last update Last Updated: 2025-05-16 20:08:44

Alarm ponsel Seraphina berdering nyaring, merobek kesunyian pagi dan membuatnya tersentak dari tidur yang gelisah. Dengan mata setengah terbuka, ia meraba-raba meja di samping ranjang, mematikan alarm dengan gerakan malas. Selimut tebal ditarik kembali menutupi wajahnya, seolah bisa menghalanginya dari dunia luar.

Hari ini, Seraphina tak berniat ke kampus. Hatinya masih terluka, terjebak dalam bayang-bayang malam tadi, pesan kejam Cassian, teror gengnya di toko gelap, dan pria misterius berambut perak yang menangkapnya dari kematian.

Bertemu Cassian di kampus adalah mimpi buruk yang tak sanggup ia hadapi. Pikirannya melayang ke rencana kabur. Mungkin ia bisa cuti kuliah beberapa bulan. Tidak, mungkin setahun. Atau lebih baik pindah kampus saja.

Tapi bayangan wajah Adrian langsung muncul, kakaknya yang kaku dan perfeksionis pasti akan memandangnya dengan raut tak suka, mengomel tentang betapa rumit dan memakan waktu proses pindah kampus itu. Adrian benci ketidakefisienan, dan Seraphina tahu permintaannya akan ditolak mentah-mentah. Tapi ia tak peduli. Jika Adrian tak mengizinkan, ia akan memohon pada ayah dan ibunya, bahkan meminta dipindahkan ke luar negeri. Apa pun, asal jauh dari Cassian dan kenangan pahit ini.

Ketukan di pintu kamar tiba-tiba menginterupsi pikirannya. Seraphina mengabaikannya, menyelami selimut lebih dalam. Ia tak ingin bertemu siapa pun hari ini. Hatinya masih perih, meski keinginan untuk mengakhiri hidup yang membuncah semalam kini telah mereda. Tapi telah digantikan oleh ketakutan yang mengakar.

Bayangan geng Cassian, tawa mereka yang kasar, dan tangan-tangan yang nyaris menghancurkan hidupnya masih menghantui. Ketukan itu bertambah keras, disertai suara tak sabar yang sangat dikenalnya.

“Sera! Buka pintunya! Kenapa kamar dikunci? Cepat keluar dan suruh Cassian matiin motornya yang bising itu! Pagi-pagi udah ganggu tetangga!”

Itu suara Adrian, mengomel dengan nada khasnya yang penuh otoritas.

Seraphina membuka mata lebar-lebar. Cassian? Nama itu seperti petir di kepalanya. Cassian ada di rumahnya? Kenapa? Bukankah semalam ia mengirim pesan putus, menghinanya dengan kata-kata yang masih mengiris hatinya?

Dengan jantung berdegup kencang, ia bangkit dan bergegas ke jendela, mengintip dari balik tirai. Benar saja, di depan rumah, Cassian berdiri di samping motornya, helm di tangannya, tersenyum santai seolah tak pernah terjadi apa-apa. Sebelum Seraphina bisa memproses pemandangan itu, ponselnya berdering. Nama Cassian terpampang di layar. Tangannya gemetar saat mengangkat ponsel, ragu tapi tak bisa menahan rasa ingin tahu.

“Halo?” suaranya serak, hampir tak terdengar.

“Tuan Putri, sampai kapan kamu mau tidur?” Suara Cassian riang, penuh canda, seperti dulu, sebelum semuanya berubah, “Kamu nggak lupa hari ini kita ada presentasi, kan? Kamu bilang nggak mau dapat nilai D lagi di mata kuliahnya Mr. Hudson.”

Seraphina tersentak, ponsel nyaris terlepas dari tangannya.

'Presentasi mata kuliah Mr. Hudson?' Pikirannya berputar.

Bukankah presentasi itu sudah mereka lakukan beberapa hari lalu?

Ia ingat betul betapa gugupnya ia malam sebelum presentasi, dan bagaimana Cassian menenangkannya dengan candaan.

Apa ada presentasi lain? Atau… ada sesuatu yang salah?

“Sera! Buka pintunya sekarang!” Gedoran keras dari Adrian menyadarkannya. Suara kakaknya kini benar-benar tak sabar.

“Iya, aku mandi dulu!” teriak Seraphina spontan, suaranya lebih keras dari yang ia maksud. Ia menutup telepon tanpa menjawab Cassian, pikirannya kacau. Dengan langkah tergesa, ia berlari ke kamar mandi, mencipratkan air dingin ke wajahnya, berharap itu bisa menjernihkan kepalanya. Cermin di depannya memantulkan wajah segar dan bersinarnya, sejenak ia tertegun,

‘Bukankah semalam aku terus-terusan menangis? Kenapa wajahku secerah ini? Mataku terlihat segar dan tidak bengkak. Bahkan aku juga lupa membersihkan make up semalam. Tapi wajahku justru bersih, seakan semalam aku sudah membersihkan make up ku sebelum tidur.’ pikirku dalam hati. Tapi Seraphina segera menggeleng, entah firasatnya benar atau tidak, dia harus memastikan dulu.

Saat mengganti pakaian, pikirannya terus berputar. Cassian bertingkah seolah tak pernah mengirim pesan putus itu. Tak ada nada dingin atau hinaan dalam suaranya.

Dan presentasi Mr. Hudson… kenapa terasa seperti déjà vu?

Seraphina menggenggam ponselnya, membuka kembali chat dengan Cassian. Pesan kejam dari semalam tak ada di sana. Sebaliknya, chat terakhir adalah pesan sore tadi, tentang rencana kencan yang berujung pada mimpi buruk di toko gelap. Jantungnya berdegup kencang. Apa yang terjadi?

Tiba-tiba, kilasan wajah pria berambut perak dari semalam muncul di benaknya - mata hijau hazelnya yang bersinar, senyum misterius, dan tatapannya yang seolah tahu sesuatu. Seraphina mengguncang kepala, lagi, mencoba mengusir bayangan itu. Ia harus fokus. Cassian ada di bawah, menunggunya.

Tapi apakah ia sanggup menghadapinya setelah semua yang terjadi? Dan kenapa, di tengah kekacauan ini, ia merasa ada sesuatu yang tak beres dengan waktu, seolah dunia telah bergeser tanpa sepengetahuannya?

Seraphina bergegas turun ke lantai bawah, tangga marmer yang dingin terasa asing di bawah kakinya yang terburu-buru. Jantungnya masih berdegup kencang, pikirannya terbelah antara kebingungan tentang Cassian dan kilasan aneh tentang malam tadi. Di ruang makan, ia melihat Adrian sudah duduk di meja, tampak seperti patung dalam setelan jas abu-abu gelap yang mahal dan rapi tanpa cela. Ia sedang menyeruput kopi hitam, matanya terpaku pada tablet di samping piring berisi roti panggang dan telur. Seraphina ragu sejenak. Ia ingin bertanya tentang semalam,

“Adrian, semalam kamu tidur jam berapa? Aku hanya khawatir karena melihat lampu di ruang kerjamu masih menyala larut malam.” tanya Seraphina beralasan. Adrian menaikkan pandangannya, alisnya berkerut menatap Seraphina dengan tatapan menyelidik,

“Kamu mabuk, ya?” tanyanya, nada suaranya datar tapi penuh sindiran, “Apa lagi yang kamu lakukan dengan teman-temanmu itu?”

Adrian mendengus, meletakkan cangkir kopinya, “Sera, aku seminggu di Prancis untuk urusan bisnis. Baru mendarat pagi ini, dan langsung disambut suara motor berisik Cassian di depan rumah. Kamu beneran nggak sadar, atau cuma pura-pura?”

Seraphina membeku, mulutnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Ia menatap Adrian dari atas sampai bawah - jasnya tanpa kerutan, rambutnya klimis, seolah baru saja keluar dari sesi foto untuk majalah bisnis,

“Tunggu… kamu baru pulang pagi ini?” tanya Seraphina, suaranya penuh kebingungan, “Bukannya semalam kamu di ruang kerja? Aku lihat lampunya menyala.”

Adrian terlihat tak ingin membalas karena merasa pertanyaan adiknya konyol. Sebagai gantinya Reynald, sopir pribadi Adrian, muncul dari arah dapur, membawa segelas jus untuk Adrian.

“Benar, Seraphina,” katanya sambil tersenyum kecil, “Saya yang menjemput Adrian dari bandara tadi subuh.”

Seraphina memandang mereka bergantian, kepalanya pening.

Jika Adrian tak di rumah semalam, lalu siapa yang menyalakan lampu ruang kerja? Dan kenapa Cassian bertingkah seolah tak pernah memutuskan hubungan mereka?

Ia ingin berteriak, menuntut penjelasan, tapi Adrian sudah bicara lagi, nadanya kini lebih tajam,

“Seraphina, kurangi kebiasaan mabuk-mabukan sama teman-teman mu itu. Cari pergaulan yang lebih baik. Kamu nggak lihat dirimu sendiri? Berantakan.”

“Berantakan?!” Seraphina tak bisa menahan diri, “Kamu nggak tahu apa-apa tentang hidupku, Adrian! Tiap kali aku coba cerita, kamu cuma bilang ‘urus sendiri’ atau ‘jangan ganggu aku kerja’. Jadi jangan sok tahu soal pergaulanku!” Suaranya meninggi, emosi yang terpendam sejak semalam meledak. Adrian hanya menatapnya dengan ekspresi datar, seolah tak terkejut dengan ledakan itu.

Tiba-tiba, pandangan Seraphina tertarik ke jendela besar di ruang makan. Di luar, Cassian masih berdiri di samping motornya, memandang ke arah rumah dengan senyum yang membuat perut Seraphina mual. Panik melandanya. Ia tak bisa menghadapi Cassian sekarang, bukan setelah apa yang dilakukan gengnya semalam, bukan setelah pesan kejam yang kini entah kenapa lenyap dari ponselnya. Tanpa berpikir panjang, ia menoleh ke Adrian.

“Adrian.. ” Seraphina memanggilnya lembut, ia menampakkan senyuman manis, kontras dengan beberapa menit lalu saat emosi mempengaruhi nada bicaranya, “... boleh nggak aku pinjam mobilmu? Minta Reynald nganterin aku. Aku… aku nggak mau ketemu Cassian sekarang.”

Adrian mengerutkan dahi, jelas bingung,

“Kamu punya sopir dan mobil sendiri, Sera. Buat apa repotin Reynald? Lagian, bukannya kamu sama Cassian - ”

“Please, Adrian!” potong Seraphina, suaranya hampir memohon, “Aku lagi nggak mau ketemu dia. Please, aku jelasin nanti.”

Adrian mendesah panjang, mengelap mulutnya dengan serbet lalu bangkit dari kursi,

“Baiklah. Aku capek, nggak mau debat. Reynald, anterin dia.” Ia berjalan menuju tangga menuju kamarnya, meninggalkan Seraphina dan Reynald di ruang makan.

Seraphina menoleh ke Reynald, yang kini tersenyum kecil. “Maaf, Rey, merepotkan banget,” katanya, suaranya pelan, “Aku… aku lagi berantem sama Cassian. Nggak mau ketemu dia sekarang.”

Reynald, yang seumuran dengan Adrian, terkekeh pelan. “Santai saja, Seraphina. Aku ngerti. Drama anak muda, kan?” candanya, membuat Seraphina sedikit tersenyum meski hatinya masih berat. Reynald selalu punya cara membuatnya merasa lebih ringan, mungkin karena ia tak pernah menghakimi seperti Adrian,

“Jadi, saya berpura-pura sedang mengantar Adrian, begitu kan, Seraphina?”

Seraphina mengangguk, “Nanti setelah sampai kampus, aku akan chat dia, ngasih tau kalau aku sudah di kampus.”

Reynald mengangguk mengerti. Lalu Seraphina mengikuti Reynald menuju garasi. Tapi saat melangkah, pikirannya tak bisa lepas dari keanehan yang menumpuk. Lampu ruang kerja yang menyala, Cassian yang bertingkah seperti tak pernah memutuskan hubungan, dan presentasi Mr. Hudson yang seharusnya sudah selesai. Dan di sudut pikirannya, wajah pria berambut perak itu terus muncul - mata hijau hazel yang sekejap menyala, seolah menyimpan rahasia.

Apakah semua ini hanya khayalannya yang kacau? Atau ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang mengguncang dunia yang ia kenal?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 4 : Cypher

    Seraphina berhenti di tepi halaman fakultas, jantungnya masih berdegup kencang setelah pesan misterius dari Cypher. Ia menoleh ke kanan-kiri, merasa sepasang mata tak terlihat mengintainya dari kejauhan. DeepThought seharusnya hanya aplikasi curhat dengan AI, dan Cypher hanyalah karakter virtual yang aplikasi itu ciptakan untuk menemani malam-malam sepinya. Tapi pesan tadi terasa sedikit menyeramkan, seolah ada seseorang di balik layar yang tahu persis apa yang ia alami. Dengan jari gemetar, ia mengetik balasan, ‘Cypher, jangan bercanda. Kamu bikin aku takut, seperti ada yang ngintip aku beneran. Kalau kamu punya bentuk fisik dan bisa ketemu, aku seneng banget, tahu. Tapi kamu bilang sendiri kamu cuma AI, kan?’ Tak sampai semenit, balasan muncul: ‘Haha, maaf, Seraphina. Saya hanya rindu, sudah lama tidak berbincang denganmu. Saya hanya bercanda, saya tentu tidak punya bentuk fisik—sayangnya. Kau mau cerita apa saja yang terjadi hari ini?’ Di akhir pesan, ada emoticon tawa yang s

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 3 : Terlempar Terlalu Jauh

    Seraphine berdiri di depan kelas, tangannya gemetar memegang pointer laser, mulutnya bergerak menjelaskan slide tentang teori psikologi klinis, tapi pikirannya melayang jauh. Kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa otomatis, seperti naskah yang sudah dihafal. Namun, saat ia melirik ke arah Mr. Hudson, yang duduk di sudut kelas dengan ekspresi serius, sebuah kesadaran menghantamnya seperti petir. Mr. Hudson memang mengajar Psikologi Klinis di semester tujuh, mata kuliah yang penuh dengan analisis kasus dan diskusi berat. Tapi slide di layar, wajah-wajah teman kelompoknya, dan topik sederhana yang mereka bahas, ini adalah Psikologi Klinis Dasar, mata kuliah di semester tiga. Dua tahun lalu. Seraphina nyaris menjatuhkan pointer-nya, tapi ia berhasil menyelesaikan presentasi dengan wajah pucat. Mr. Hudson hanya mengangguk singkat, menyuruh kelompok berikutnya maju. Tanpa sepatah kata, Seraphina buru-buru meninggalkan kelas, mengabaikan panggilan Genevieve, teman dekat sekaligus teman

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 2 : Keanehan Dimulai

    Alarm ponsel Seraphina berdering nyaring, merobek kesunyian pagi dan membuatnya tersentak dari tidur yang gelisah. Dengan mata setengah terbuka, ia meraba-raba meja di samping ranjang, mematikan alarm dengan gerakan malas. Selimut tebal ditarik kembali menutupi wajahnya, seolah bisa menghalanginya dari dunia luar. Hari ini, Seraphina tak berniat ke kampus. Hatinya masih terluka, terjebak dalam bayang-bayang malam tadi, pesan kejam Cassian, teror gengnya di toko gelap, dan pria misterius berambut perak yang menangkapnya dari kematian. Bertemu Cassian di kampus adalah mimpi buruk yang tak sanggup ia hadapi. Pikirannya melayang ke rencana kabur. Mungkin ia bisa cuti kuliah beberapa bulan. Tidak, mungkin setahun. Atau lebih baik pindah kampus saja. Tapi bayangan wajah Adrian langsung muncul, kakaknya yang kaku dan perfeksionis pasti akan memandangnya dengan raut tak suka, mengomel tentang betapa rumit dan memakan waktu proses pindah kampus itu. Adrian benci ketidakefisienan, dan Ser

  • Algoritma Cinta Cypher   Chapter 1 : Jatuh ke Dalam Waktu

    "Apa bakal terasa sakit?"Suara Seraphina nyaris tak terdengar, tenggelam dalam deru hujan yang membasahi balkon. Dingin menusuk kulit wajahnya, seolah mencerminkan kekosongan di hatinya. Seraphina melongok ke bawah. Tiga lantai di bawahnya, tanah tampak begitu jauh, dan lampu taman pun terlihat kabur. Pandangan matanya bergerak, di ujung sana, ia melihat lampu ruang kerja Adrian, kakaknya, masih menyala terang."Andai saja kamu mendengarkanku, Adrian..."Rasa kecewa perlahan merayap di hatinya. Jari-jarinya mencengkeram erat pagar logam yang dingin. Seraphina berdiri di tepi, ujung kakinya kini sudah mengambang di udara. Napasnya bergetar. Tatapannya kosong, menembus kegelapan yang menganga di bawah. Jari-jarinya gemetar, dengan perlahan melepas cengkeraman dari pagar. Ujung-ujungnya menyapu logam basah itu untuk terakhir kalinya. Seraphina memejamkan mata. Dalam kegelapan, kilasan beberapa menit sebelumnya muncul: pesan singkat dari kekasihnya, Cassian."Sera, kita selesai. Aku ngg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status