Masuk“Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.
Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran. Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys. “Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban. Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi. “Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya. Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam—campuran panik dan takut kehilangan—yang hanya muncul ketika nama Eira terucap. ~ Velian membuka mata. Cahaya di sekelilingnya begitu aneh—bukan cahaya matahari, melainkan kilau kebiruan yang berdenyut seperti napas. Ia berdiri di tengah ruang kosong, permukaannya seperti cermin air yang memantulkan sosoknya sendiri. Namun pantulan itu … bukan dirinya. Wajah yang menatap balik adalah Eira Shawn. Velian terdiam, dadanya terasa berat. Suara Eira terdengar tanpa bibirnya bergerak—dalam, bergema, seolah datang langsung ke dalam pikirannya. “Gantikan semua rasa sakit yang selama ini aku rasakan … karena kamu yang mengendalikan segalanya.” Tatapan Eira berubah muram, lalu suaranya menajam menjadi amarah yang menusuk hingga ke tulang. “Cari siapa yang membuat aku mati mengenaskan … cari siapa pun dia, dan bunuh tanpa ampun.” Kata-kata itu bergema keras, menggema berulang kali hingga seluruh ruangan bergetar. Velian menutup telinga, namun gema itu tak berhenti—terus memantul di dalam kepalanya, semakin keras, semakin dekat—sampai ia tersentak dan membuka mata. Napasnya terengah. Ia kembali di kamarnya. Peluh dingin membasahi pelipis, dan di telinganya ... kata “bunuh tanpa ampun” masih terngiang, seperti kutukan yang menolak pergi. Yang paling mengejutkan bagi Velian bukanlah kenyataan bahwa ia telah terbangun, melainkan sentuhan hangat di dahinya. Telapak tangan Rhys menyentuh kulitnya perlahan. Ia menoleh. Pria itu duduk di tepi ranjang, jaraknya hanya sejengkal, dengan wajah datar tanpa ekspresi khawatir yang menonjol. Di sisi mereka, sang tabib berdiri menunduk hormat, takut mengeluarkan suara yang tidak pada tempatnya. “Dia—“ Rhys sempat berdeham, memperbaiki ucapannya. “Tabib,” panggilnya datar, sekilas melirik. “Eira tidak demam. Lalu mengapa bisa pingsan?” Tabib menjawab pelan, suaranya serak. “Maaf, Tuan ... Saya tidak menemukan penyebab pasti." “Garrick?” Rhys menoleh tajam. Sang ajudan yang berdiri di sisi pintu tampak menahan napas, berusaha mencari kalimat yang tepat. Sebelum Garrick sempat berbicara, Velian menyentuh lengan Rhys dengan spontan. “Alvie sudah tidur?” tanyanya lirih. Rhys menatap tangan di lengannya sebelum menjawab pelan, “Sudah.” Velian menghela napas lega, matanya melembut. “Syukurlah.” Rhys mengerjap kecil. “Kalian bermain bersama?” tanyanya. Velian tersenyum cerah. “Alvie pintar sekali bermain gelembung! Dia datang ke kamarku siang bolong dengan wajah sedih, jadi aku ingin menemaninya—“ Ia mendadak terhenti, menyadari lidahnya telah meluncur terlalu jauh. Ruangan seketika hening. Tabib dan Garrick menunduk lebih dalam, seolah ada gembok tak kasat mata yang mengunci mulut mereka. Rhys menatap Eira lama. “Kamu ... bermain dengan Alvie?” tanyanya perlahan, memastikan. Lalu ia menoleh ke arah Garrick. “Benarkah begitu?” Garrick menelan ludah. Ia tahu berbohong bukan pilihan. “Benar, Tuan.” Rhys kembali menatap Velian antara heran dan kewaspadaan. “Bukankah kamu tidak menyukai Alvie? Kamu...” Velian terdiam, matanya membulat. Eira tidak menyukai Alverine? Mengapa? Pikirnya bingung. Namun belum sempat menatap pikirannya, Rhys tiba-tiba berdiri. Dalam satu gerakan cepat, pedangnya terhunus. Ujungnya yang berkilap kini berada tepat di depan leher Velian.Ruangan mendadak senyap. Leona yang mendengar ucapan itu menegang; dahinya berkerut, bibirnya menahan amarah. Seandainya Rhys tidak ada di sana, mungkin ia sudah menyeret anak itu ke luar.Leona hanya bisa menatap pahit dan bingung. Apakah ia memaksa anak itu menyukainya? Tidak, kan?Rhys menatap Leona lama, mencari celah kesalahan yang membuat putrinya meledak seperti itu. “Mengapa kamu tidak menyukainya, Alvie? Kalian satu keluarga. Kamu putriku, dan Leona adalah istriku—ibu tirimu.” Alverine menggeleng keras, mata kecilnya memerah. “Ibuku hanya Dame Raven! Jangan bilang Nona Singa itu ibuku juga!”Velian yang masih di tempat duduknya hanya bisa memandangi piring kosong di depannya. Mulutnya terkatup rapat, tapi jantungnya berdentum cepat—adegan ini terasa persis seperti konflik dalam novel yang ia tulis.[Rhys tiba-tiba menggebrak meja. Suara dentuman kayu memantul ke seluruh ruangan, membuat Alverine menjerit dan menangis histeris. Raven langsung berdir
Hanya Leona yang tampak tidak terlalu peduli dengan nasib Eira di mansion ini, kecuali jika hal itu bisa menarik perhatian Rhys.Bahkan ketika siang bolong tadi seluruh penghuni mansion geger karena Rhys menghunuskan pedang pada Eira, Leona justru terusik oleh alasan yang berbeda: itu adalah interaksi terlama yang pernah ia lihat antara keduanya sejak ia tinggal di sini.Makan siangnya jadi hambar. Ia memutuskan menyendiri di sudut taman, mencari ketenangan di antara hembusan angin dan dedaunan yang bergoyang.Namun ketenangan itu lenyap begitu matanya menangkap sosok Eira dan Garrick berjalan beriringan di koridor lantai atas. Eira tampak berbicara dengan sukacita, gerak bibirnya lincah dan matanya berkilat cerah. Sedangkan Garrick tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang nyaris muncul karena berusaha menjaga wibawa.Senyum sinis perlahan muncul di wajah Leona. “Cinta segitiga, ya? Rhys, Eira, dan Garrick...” gumamnya pelan sebelum tawanya merendah getir. “Rhy
Velian menahan napas, tubuhnya menegang. Tatapannya panik, ketakutan, sekaligus tak mengerti.“Tu-Tuan Rhys!” Tabib dan Garrick langsung berlutut, berseru panik. “Mohon jatuhkan pedang, Tuan!”Velian mundur perlahan, suara gemetar ke luar dari bibirnya. “Beraninya pakai senjata pada perempuan,” desisnya getir.Tatapan Rhys tak beranjak. Ia menelusuri Eira dari ujung kaki hingga kembali ke matanya, tajam, meneliti setiap gerak. “Mengapa sikapmu berubah aneh seperti ini?” tanyanya rendah, mengandung curiga yang menusuk.Velian nyaris tak bernapas saat melihat sosok lain muncul di ambang pintu. Raven—selir pertama Rhys—berdiri di sana, mata abu-abunya membelalak lebar, menatap adegan yang nyaris tak masuk akal di hadapannya: Rhys berdiri dengan pedang terhunus, dan Velian beringsut ketakutan di ujung ranjang.“Dame Raven! Dame Raven, selamatkan aku dari pria ini!” teriak Velian keras, menunjuk lurus ke wajah Rhys. Suaranya pecah, penuh kepanikan nyata yang meng
“Panggil tabib sekarang,” perintahnya rendah, tapi cukup untuk membuat udara di sekitar seolah menegang.Garrick segera berlari, sementara Rhys tetap menahan Velian di pelukannya—menatap wajah pucat yang berkeringat itu dengan rahang mengeras, seolah menahan sesuatu yang lebih dari sekadar kekhawatiran.Velian tak sanggup lagi menahan sakitnya. Pandangannya berputar, napasnya tercekat—hingga semuanya perlahan memudar menjadi gelap. Tubuhnya terkulai, kehilangan kesadaran sepenuhnya di pelukan Rhys.“Eira!” panggil Rhys, namun tak ada jawaban.Tanpa ragu, ia langsung mengangkat tubuh gadis itu ke dalam gendongannya, melewati cahaya siang yang memantul di marmer dan kaca istana. Langkahnya cepat, penuh desakan, nyaris tak memberi ruang bagi siapa pun untuk menghalangi.“Siapkan tabib! Sekarang juga!” suaranya bergema keras di koridor mansion, membuat para pelayan spontan menunduk dan berlari memenuhi perintahnya.Namun di balik ketegasan itu, matanya memancarkan sesuatu yang lebih
Suara ketukan tiga kali di pintu kamar membuat Velian mengerang pelan. Ia masih ingin melanjutkan mimpi indahnya, tapi bunyi itu terus terdengar.Dengan mata setengah terbuka, Velian duduk, meregangkan tangan malas-malasan ke atas, lalu melangkah gontai menuju pintu. Begitu dibuka, koridor di depannya kosong melompong.Ia menggaruk rambut yang berantakan, mendengus kesal. “Siapa sih, iseng banget pagi-pagi begini…” gumamnya, kemudian menutup pintu agak keras dan berbalik menuju kasur.Namun baru beberapa langkah, suara ketukan itu terdengar lagi—masih sama, tiga kali. Tok. Tok. Tok.Velian mendengus panjang, kali ini berjalan menghentak ke arah pintu. “Kalau ini prank, gue sumpahin lu—” Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suaranya terhenti begitu pintu terbuka.“Nona Eira?” suara lembut terdengar dari bawah.Velian menunduk perlahan. Di sana berdiri Alverine, gadis kecil bergaun tidur pink, memeluk boneka kelinci berpita merah di pelukannya. Rambutnya bergelombang rapi, mata
Ketika Rhys sudah berdiri di hadapannya, Velian justru bergeser menutupi sebagian tubuh Garrick dengan tubuhnya sendiri. Garrick mengerutkan dahi, tak mengerti dengan sikap aneh itu.Jika ada yang paling mengenal Rhys, maka itu adalah Velian—karena dialah pencipta tokoh pria ini dalam dunia aslinya.“Dari kamar Eira hingga gedung utama, jaraknya hampir tiga ratus meter. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menangkapnya?” Suara Rhys datar namun mengandung tekanan. Matanya tajam menusuk Garrick.Velian terbelalak. Tatapannya langsung tertuju pada tangan Rhys yang menyentuh sarung pedang, seolah siap mencabut senjata mematikan itu kapan saja. Ia merentangkan kedua tangannya dengan panik di depan Rhys. “Tunggu, tunggu! Kamu salah paham!”Garrick kian heran. Benar ucapan Leona tentang Eira yang berteriak. Ini pertama kalinya ia mendengar gadis itu meninggikan suara.Velian justru tertawa kecil, meski jelas-jelas suasana mencekam. “Jangan limpahkan hukuman pada Garrick...” ucapnya







