Alvaro menapak menuju sisa reruntuhan vila Yohan."Yohan! Dasar berengsek!" teriak Alvaro."Jangan bilang kau sudah mati di reruntuhan ini, dasar lemah. Gimana kau bisa menginginkan takhta kalau kau hancur di atas tumpukan batu?"Yohan tidak sekuat Satria, si monster tua. Tidak ada orang yang sekuat itu.Walaupun begitu, Yohan termasuk di antara lima petarung terbaik di negeri ini. Dia bangkit dari reruntuhan, debu dan kain compang-camping menempel pada tubuhnya, separuh bajunya sobek, dadanya terbuka seperti menantang maut."Siapa kau? Beraninya menghancurkan rumahku!" teriak Yohan, suaranya serak antara marah dan ketakutan."Kau tahu siapa aku." Alvaro melangkah maju hingga mereka berhadapan."Alvaro?" Yohan mencibir sambil menyeka debu dari bibirnya."Bukankah kau orang yang menghabisi Keluarga Gunawan, bagian dari Organisasi Kujaya? Kau telah dibuang. Apa yang kau lakukan di sini?""Anggap saja Raja nggak tahan sama kelakuanmu dan mengutusku kembali ke Organisasi Kujaya untuk membe
"Alvaro, kau kenal Jumadi Kusuma?" tanya Joselin, wajahnya berseri-seri, campuran antara harapan dan kebahagiaan.Sebelum Alvaro sempat menjawab, Jumadi menyela dengan cepat, "Joselin, pria ini pernah merawat adik perempuanku, Jasmin Kusuma. Karena itulah kami saling kenal."Mata Alvaro menyipit."Jumadi Kusuma," katanya perlahan. "Aku nggak tahu penipuan apa yang kau lakukan, tapi sebaiknya kau menjauh dari Joselin.""Alvaro! Apa yang kau lakukan?" bentak Joselin, terkejut dengan sikap permusuhannya yang tiba-tiba."Percayalah, Joselin," ujar Alvaro dengan suara rendah dan tajam. "Pria ini berniat jahat."Jumadi meraih Joselin, wajahnya tampak lelah dan putus asa."Joselin, sudah kubilang nggak ada yang percaya padaku," katanya, suaranya bergetar. "Semua orang membenciku karena hal-hal yang bahkan nggak kulakukan. Kumohon, lepaskan aku sebelum mereka juga berbalik melawanmu. Sejak aku lahir dengan nama Kusuma, aku diperlakukan seperti penjahat atas dosa-dosa yang nggak pernah kulakuka
Tembakan itu mengoyak bahu Febrian. Dia terkulai, jeritan parau meledak dari dadanya.Jeritan Jesika menggelegar di udara, serak dan panik, matanya terpaku pada suaminya saat rona merah menyebar di kemejanya bagai kebakaran hutan."Beraninya kau menembaknya? Dia ayah Jasmin Kusuma, Gubernur Kota Rosia."Bibir penjaga itu menyeringai. Dia kembali menembak bahu Febrian yang lain tanpa ragu."Kau masih bilang aku nggak berani?" katanya."Bilang sekali lagi, dan aku akan terus menembak sampai dia mati. Satu-satunya alasan aku belum membunuh kalian berdua adalah karena kalian keluarga Gubernur Jasmin. Kalau nggak, kalian pasti sudah mati."Wajah Jesika memucat karena marah dan malu."Beraninya kau!" semburnya, menerjang penjaga itu dengan tangan yang menggapai-gapai.Penjaga itu tidak ragu. Dia menembak lengan dan kedua paha Jesika. Dia ambruk, anggota badannya tak berdaya, jeritan tercekat di tenggorokannya."Sudah kubilang, jangan bergerak.""Kau menembak seorang wanita?" Febrian tersenta
"Yohan kecil," kata Kartono, bibirnya membentuk seringai. "Jaga mulutmu. Aku bukan pemimpin pemberontak. Aku pemimpin rakyat. Sedangkan Febrian Kusuma? Dia pemimpin kaum elite."Kartono melanjutkan, "Jadi, menurutmu siapa yang akan didukung Raja? Pemimpin rakyat atau pemimpin kaum elite?""Kau cuma pemimpin pemberontakan," sembur Yohan. "Seorang teroris. Kau nggak akan pernah diakui sebagai gubernur.""Ngomong dengan orang bodoh memang butuh kesabaran, terutama orang terbodoh di negeri ini." Kartono memutar matanya, seolah-olah hinaan itu membuatnya bosan."Sejak kapan aku butuh persetujuanmu untuk menjadi gubernur Kota Rosia? Jangan berlagak seolah-olah kau orang penting."Melisa tertawa tajam dan angkuh. "Sudah kubilang selama berbulan-bulan, dia orang terbodoh di seluruh negeri. Akhirnya orang-orang melihatnya."Yohan berdiri lebih tegak. Postur militernya yang dulu kembali seakan dia sedang memakai baju zirah. Dia pernah menjadi komandan terkuat kedua di negara ini, dan dia tidak t
Para gubernur duduk di ruang sidang, layar lebar masih menyala karena sesi online.Kursi Febrian Kusuma kosong, dia keluar di tengah rapat, membiarkan siaran tetap menyala tetapi tidak menunjukkan apa pun.Para gubernur yang tersisa melanjutkan agenda."Kalau Febrian meninggalkan Kota Rosia," ujar salah satu suara, memecah keheningan. "Siapa yang akan menggantikan dia sebagai gubernur?"Mata beralih ke layar, kecurigaan menggantung di udara.Julian mencondongkan tubuh ke depan. "Sudah jelas. Pemimpin pemberontakan seharusnya menjadi gubernur. Rakyat yang memilihnya."Dia sendiri pernah diangkat menjadi gubernur melalui proses pemberontakan."Aku nggak setuju," balas Yohan. "Kota Rosia selalu menjadi wilayah kekuasaan Febrian Kusuma. Dia akan merebutnya kembali dari para pemberontak. Dia satu-satunya gubernur yang sah."Satria tertawa sinis. "Sah? Febrian nggak pernah benar-benar menjadi gubernur. Dia diangkat oleh Raja setelah gubernur terakhir Kota Rosia tewas mendadak.""Sekarang? Ak
"Yohan, egomu mulai membesar. Gimana kalau kita selesaikan ini malam ini, di tempatmu?" terdengar suara parau dari salah satu gubernur.Yohan menoleh ke arah si pembicara. "Dasar orang tua bodoh. Kukira kau sudah lama pergi. Terakhir kudengar, kau cuma berani mukul wanita muda.""Pria atau wanita, siapa pun yang egonya sebesar itu harus diberi pelajaran," kata Satria, tawanya kering seperti kayu tua."Yohan kecil, kita sudah bergulat ratusan kali. Kau belum pernah mengalahkanku. Tapi harga dirimu itu ... sepertinya memang harus dikasih pelajaran."Wajah Yohan memerah, amarahnya berusaha menutupi rasa takut yang muncul.Dia memikul beban pasukan yang kuat, kekuatannya dikenal di seluruh kota, tetapi Satria berbeda.Satria adalah legenda, seorang pria yang namanya saja cukup membuat para prajurit gelisah. Dan jauh di lubuk hatinya, Yohan tahu itu.Peringatan Yohan terdengar lirih dan tajam. "Hindari saja hal-hal yang nggak penting. Kau terlalu tua untuk cari gara-gara.""Terlalu tua?" ge